Tormented
(tersiksa)
Credit
to—Neesa Jones
Translated
by—RainiLa
Kapan
jiwa ini akan diistirahatkan?
Berapa
lama lagi aku harus duduk,
Menulis
keinginanku menggunakan kata sandi?
Mendorong
dinding-dinding itu agar menampakkan kesengsaraanku.
Seorang gadis kecil
tengah tidur diatas ranjangnya. Usianya tak lebih dari 7 tahun, ia nampak
beristirahat walaupun matahari menyapanya dengan siraman sinar hangat.
“Sayang, bangun.”
Ibunya memanggil dari ambang pintu, perlahan mengetuk pintu untuk membangunkan
gadis itu.
“Aku sudah bangun.”
Katanya dari bawah selimut. Menguap, dia berdiri dan mengucap salam pada pagi.
Tapi malam itu...
Ibunya menciumnya dan
menyelimutinya.
“Tidur yang nyenyak,
jangan sampai serangga kasur menggigitmu.”
“Malam, mom.” Gadis
kecil itu tersenyum, menatap tepat ke mata ibunya. Kedua mata itu menampakkan
lebih dari satu lengkung warna, tapi mata itu menjaga seluruh jagat raya untuk
gadis kecil itu; mata yang mengerti dan mengasihi. Mata yang tak akan membiarkannya
terpuruk.
Lampu padam dan
dinding-dinding mulai bergerak.
Mereka kembali. Sekali
lagi, seperti yang pernah dia alami sebelumnya, gadis kecil itu mencoba
melakukan apa yang ibunya katakan.
“Bersembunyilah dibawah
selimutmu, hal itu akan membuat semua monster pergi.”
Dia masukkan kepalanya
kedalam selimut, lalu duduk dalam diam. Bermaksud menahan nafas, dia nyaris
tercekam dalam ketakutan. Dia bisa mendengarnya, mereka, bergerak mencarinya.
Tak berapa lama mungkin mereka akan mengendus keberadaannya, jadi dia melakukan
satu hal yang dia tau akan bekerja.
Dia menyusup diatas
kasur untuk mengambil sebuah kotak kecil dari bawah meja. walaupun dia tidak
begitu yakin kapan ide ini muncul, atau kenapa dia memutuskan untuk mencobanya,
tapi cara ini belum tentu gagal. Dia mengambil sebuah crayon merah dari dalam
kotak, hasil tulisannya bertekstur tapi konstan. Kuat seperti besi.
Secepat mungkin dia
menyelesaikannya, dia menemukan tempat di dindingnya kemudian mulai menulis.
Dibutuhkan
rasa gembira sekarang
Selamatkan
aku dari himpitan ini
Pelajari
tiap gerakanku
Nilai
hati tertulusku
Jadikan
dia surga atau neraka
Bawa
aku pergi dari sini
Dinding-dinding itu
diam saat dia menulis, tapi tak bertahan lama. Kata-katanya tak begitu berarti
bagi si penguntit. Kembali ke kotak, dia mengganti crayon dengan kuas.
Melumurinya dengan cat merah, dia berbisik. “Tulisan ini akan jadi halus tapi
tidak rapi. Garis yang tak terduga membuat catnya kemana-mana. Mengalir seperti
air.”
Seperti
itu, tangannya kembali lagi ke permukaan dinding.
Katakan
padaku lagi
Cerita
tentang bagaimana aku yang mungkin waras.
Satu-satunya hal
yang kau percayai benar
Dan
aku harap begitu.
Katakan
padaku lagi
Kenapa
tak seharusnya aku menangis pada malam hari.
Kenapa
penampakan bintang seharusnya membuatku tersenyum,
Dan
bulan itu membuatku tenang.
Katakan
lagi padaku
Kenapa
kau memperhatikan tiap gerakanku
Kenapa
rupaku tak membuatmu ngeri,
Kenapa
pikiran tentangku tak membuatmu menjerit.
Pada saat-saat terakhir
dia kembali menyerbu kotak itu, kali ini dia mengambil pensil berwarna merah. “Tulisanmu
akan jadi kecil dan terang. Nyaris tak terlihat, sangat rapuh. Aku tak ingin
kau patah dalam genggamanku. Tak dapat diraba seperti awan.” Dengannya dia
menulis.
Malam
datang lagi
Dan
mereka pun datang
Seperti
yang selalu mereka lakukan.
Aku
tak lagi terkejut
Tak
lagi khawatir.
Jika
mereka membunuhku sekarang, bunuh sajalah.
Tak
lagi aku akan merasa tersiksa.
Sekarang benar-benar
terasa sunyi. Dia tak mendengar mereka, dan nampakanya mereka tak lagi
mengendus dia lagi. pekerjaannya selesai untuk malam ini. besok pagi, semua ini
akan hilang. Dia tak yakin kenapa, tapi tulisannya bersembunyi dari cahaya.
Mereka bersembunyi dengan dinding—yang—bergerak.
Pagi berikutnya sama
saja. Seperti biasanya.
Malam datang bersama
awan hitam yang menggulung-gulung. Gadis kecil itu meringkuk tiap kali kilat
menyambar dan listrik kemudian mati.
“Tidak apa-ap—“ Ibunya
bermaksud menenangkannya, tapi dengan cepat matanya beralih ke arah dinding
yang nyaris tertutup oleh tulisan-tulisan dari gadis kecil itu, ibunya nampak
terkejut dan marah. “Bagaimana—apa ini?!” Teriaknya pada gadis kecil itu.
“Mom, itu perbuatan
monster.” Gadis kecil itu mencoba menjelaskan. “Mereka datang sekarang.”
“Aku tak ingin
mendengarnya. Aku sering mendengar tentang teman khayalan, tapi tidak pernah ku
dengar seorang anak kecil menyalahkan monster khayalan. Katakan padaku, dimana
kau menyimpan barang-barang yang kau gunakan untuk membuat ini?”
Takut dengan nada
tinggi ibunya, gadis kecil itu menunjuk sebuah kotak. “Disana.”
Ibunya kemudian mengambil
kotak itu dan berjalan keluar. “Cepat tidur.” Katanya. Tidak ada ciuman, tidak
ada menata selimut. Hanya “Cepat tidur.”
Dan kemudian
dinding-dinding itu mulai bergerak.
Gadis kecil itu
bersembunyi dibawah selimutnya. Tidak ada pilihan lain sekarang. Dia tidak
punya besi, air ataupun awan merahnya. Dia tak bisa memikirkan apapun—
Tiba-tiba gadis kecil
itu teringat satu hari saat dia sedang bersepedah dan terjatuh. Kulitnya
tergores dan benda merah—yang ayahnya sebut dengan darah—mengalir keluar. tidak
terlalu sakit, dan hal itu membuatnya sangat penasaran, jadi dia bertanya pada
ayahnya apa itu darah. Ayahnya memberitahunya, darah adalah benda yang mengalir
melalui sekujur tubuh dan hal itu sangat penting. Ayahnya menunjukkan padanya
garis-garis berwarna yang bernama urat darah, jalan untuk aliran darah.
Yang harus dia lakukan
hanyalah menyayat kulitnya. Tak masalah, dia tau cara melakukannya. Dia
melompat dari ranjang dan menyeruak melalui pintu, turun ke ruang depan dan
lalu menuju kamar mandi. Dia melewati kamar orangtuanya, tempat yang sering ia
datangi untuk meminta bantuan. Di dalam kamar mandi ia menemukan pisau cukur.
Benda yang digunakan ibunya untuk menghaluskan kulit. Dia ingat saat kulit
ibunya tak sengaja tersayat benda itu.
Hal ini akan berjalan
dengan baik. Gadis kecil itu kembali menuju kamarnya, dinding-dinding itu terus
bergerak-gerak di sekitarnya.
Dia duduk di depan
dinding yang bisa ia tulisi. Mempelajari kulitnya, dia mencari urat darah untuk
di sayat. Tak berapa lama sampai ia menemukan salah satunya di pergelangan
tangan.
Lalu dia menyayatnya.
Cairan yang hanya ia
lihat beberapa kali dalam hidupnya itu kini mulai menetes di atas lantai.
Terasa menyakitkan, lebih dari saat dia terjatuh dari sepedah, tapi dia harus
melakukan hal ini. Dia tempelkan jarinya diatas luka tersebut dan membiarkan
darah mengaliri jari-jarinya. Lalu, ia tekan jari-jarinya ke dinding, dia mulai
menulis.
Tertulis
di dinding dalam warna merah
Pikiran
dan perasaanku
Rusak
oleh kegembiraan
Terampas
jauh
Hidupku
terasa kering
Biarkanlah
memudar
Karena
kehidupan ini tak bisa ku tinggali
Jika
tak ada apapun
Sebelum ia dapat
menyelesaikan tulisannya, dirasanya dunia menjadi bertambah gelap. Kegelapan
yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, keloopak matanya menjadi berat,
lengannya jadi kaku. Dia ambruk diatas lantai.
Pagi berikutnya sebuah
jeritan terdengar oleh para tetangga, suara yang berasal dari seorang ibu yang
menemukan anaknya terbaring di lantai kamar, digenangi oleh darahnya sendiri.
Ibu itu nyaris roboh, coba menahan tubuhnya di bingkai pintu jadi dia bisa
memanggil 911, tapi saat itu juga lampu jadi padam.
Gorden belum terbuka,
ruangan itu benar-benar gelap. Apa yang dia lihat hanya bisa digambarkan secara
fisik, karena hal itu terlalu kuat untuk di tangkap oleh pikirannya. Di
permukaan dinding-dinding tertulis banyak sajak, semuanya ditulis dengan warna
merah, salah satu yang diatas ditulis menggunakan darah. Tapi suatu hal yang
paling menarik perhatian si ibu itu adalah jejak-jejak kaki. Sesuatu telah berjalan
di dalam ruangan gadis kecil itu. Diatas lantai, dinding-dinding dan
langit-langit. Mereka menginjak darah gadis kecil itu dan meninggalkan jejaknya
ke seluruh ruangan.
“Jejak kaki iblis.” Dia
akan berkata demikian.
(Gadis kecil
itu tersiksa oleh sosok-sosok iblis yang sesungguhnya, tanpa seorangpun untuk
berlindung, dia menggunakan mantra pencegahan kuno yang diletakkan pada
pengetahuannya oleh kekuatan yang lebih tinggi. Meskipun orangtuanya tidak bisa
melihat iblis-iblis itu, di dalam kegelapan, dalam kerajaan iblis, mereka bisa
melihat tulisan si gadis—karena mereka ditulis menggunakan peralatan manusia.
Akhirnya, tanpa ada tempat untuk berlindung, gadis kecil itu menggunakan
darahnya. Membunuh dirinya sendiri, dan tanpa diduga, dia meninggalkan zat
abadi bagi iblis itu untuk di injak-injak, yang meninggalkan jejak-jekak kaki
saat mereka bergerak.)
Download Ebook : 4shared / Mediafire
Tidak ada komentar:
Posting Komentar