Jumat, 26 Februari 2016

[cerita terjemahan] LOVE



LOVE
Credit : Creepypasta
Originally translated by : RainiLa
  
Cerita ini tak dimaksudkan untuk menakuti siapapun.
Menyebut ini cerita seram terdengar agak menghina, karena cerita ini tak termasuk di dalamnya.  Ini merupakan sebuah bentuk penghargaan kepada seorang teman, teman yang selalu ada untukku. Dia mengawasiku selama aku bertumbuh dan dia merupakan teman terbaik yang pernah ada.
Walaupun saat itu aku tak menyadarinya.
Dia selalu ada, meski aku tak bisa melihatnya, dan tingkahnya selalu membuatku tertarik, walau tak dapat kumengerti. Akan kusempatkan sedikit waktu untuk bercerita mengenai kisah kami, karena jika kalian beruntung, kalian juga akan mendapatkan teman seperti dia.
Menurutku kalian harus membaca surat ini lebih dulu. Pada bulan Mei 2010, aku membeli komputer baru dan membawa yang lama ke toko untuk mem-back up semua datanya. Aku membawa yang baru ke rumah dan mulai memasukkan semua file dari hard drive portabel dan menginstall kembaliprogram-programnya, saat itu aku menyadari ada sebuah file di Misc—sebuah folder yang dibuat si teksini toko untuk menempatkan file-file acak. Nama file-nya HappyBirthdayBaby.txt.
Awalnya kupikir itu pesan dari ibuku yang urung kubaca, lalu aku membukanya dan inilah yang aku temukan:
Suatu hari, barangkali kau menemukan pesan ini... aku tidak jago menyoal per-komputer-an, tapi belakangan ini aku melihatmu mengutak-atik mesin ini, dan kupikir aku pasti bisa menyimpan pesan ini dan kau bisa menemukannya nanti. Mengingat aku akan segera pergi, jadi aku ingin meninggalkan pesan pendek ini untukmu.
Aku tau kau tak pernah bertemu ayahmu, dia adalah Kolonel Marcus Andrew Stadtfleld, aku yakin ibumu mengatakan hal yang sama juga. Bagiku dia lelaki yang baik, salah satu lelaki dengan kebanggan seperti singa, kuat seperti beruang dan hati semurni emas. Kenyatannya, aku nyaris seperti anak lelakinya jauh sebelum kau lahir. Akulahtangan kanannya dan bekerja dengannya selama tiga tahun.
Aku menyaksikan ibumu menangis saat mendengar berita itu, dengan perutnya yang membesar dengan calon anak yang akan segera lahir ke dunia, dan aku berada didekatnya setiap detik, setiap hari. Sampai saat kau lahir ke dunia—dan perhatianku teralih padamu.
Aku melihat saat mereka membersihkanmu dan menyerahkanmu ke ibumu. Nampak dia menyadari kehadiranku yang berdiri diantara kalian, seolah-olah dia sudah lama tau, dan aku berani bertaruh dia benar-benar tau. Aku melihatmu tumbuh dan aku ingat semuanya, bahkan hal yang kaupun tak tau. Kau bayi yang ceria dan nampaknya kau mewarisi sifat ayahmu yang humoris. Saat kau berumur 4 bulan, kau akan melakukan apapun untuk menghindar saat ibumu akan memandikanmu, dan tertawa terus-menerus. Kau anak dengan hati pemberontak, seperti sekarang ini.
Seperti Marcus.
Saat berusia 6 bulan, kita bermain sepanjang waktu. Kita punya satu permainan favorit, dimana aku menggenggam jempolmu dan menggelitiki perutmu. Kau sangat menyukainya, walaupun aku harus berhenti saat ibumu datang. Hal itu membuat ibumu bingung kenapa kau tiba-tiba menangis—untuk sesaat, dia pikir kau tak menyukainya, sampai aku menyadari bahwa terkadang aku harus menjauh.
Saat berusia 1 tahun nampaknya kau mlai kehilangan indera keenam-mu, kau tak terlalu bisa melihatku dengan jelas lagi, tapi kau tau aku selalu ada. Aku tak lagi bisa terlalu sering bermain denganmu karena aku tau kau akan terluka, tapi aku tak pernah absen menjagamu. Aku tau kau ingat bisa melihatku karena kau punya cara untuk menguji keberadaanku, dengan melempar mainan ke pojok kamar  dimana aku berdiri dan menunggu apa aku memainkannya. Sekarang, aku tau kau tak akan mengingatnya, tapi saat kau melempar boneka beruang dan boneka kain ke arahku—saat itu ibumu sibuk di dapur menyiapkan makan malam—aku menghiburmu dengan pertunjukan kecilku. Bukan sesuatu yang istimewa, aku hanya membuat mereka menari sedikit. Kau tertawa keras sekali dan ibumu masuk ke kamarmu untuk memastikan apa ada yang lucu, tapi saat dia melihat, dia sama sekali tak tertawa. Aku bertaruh, kau masih mengingat boneka kain dan beruang yang menarisampai saat ini, dan riak wajah ibumu. Kupikir lebih baik untuk bertanya apa kau pernah melempar mainan ke pojok kamar, setidaknya—bagi ibumu—ingatan itu tak seburuk boneka yang menari.
Kau ingat kata pertamamu? Aku ingat... “Cinta”. Hahah. Ibumu meyakinkanmu betapa berharganya kau baginya, tiap waktu, tiap hari, dia akan berkata “Aku cinta kau, sayang...”. aku ingat kau pernah melakukan hal yang buruk. Saat itu ibumu memandikanmu di kamar mandi. Nampaknya kau melihat pantulanku di cermin belakang ibumu, kau menunjuk dan berkata “Sayang” (Yah, lebih dari itu,  tapi ibumu tau), ibumu tertawa dan mengangguk. Itu satu-satunya kata yang bisa kau ucapkan, tapi saat aku menjauh dari cermin kau mulai gelisah, saat itu aku tau kau harus lebih berhati-hati. Makin hari kau makin besar, dan aku tak bisa mengingkari janjiku pada ayahmu, itulah kenapa aku harus mundur sekali lagi.
Aku melanggar peraturan berkali-kali untuk menjagamu, padahal janjiku pada ayahmu adalah segalanya bagiku. Aku ingat saat usiamu 3 tahun dan sudah bisa berjalan, kau adalah anak pramuka, hahah. Kau tak bisa diam lama-lama—kedua kaki mungil itu telah membuka jalanmu menuju dunia dan sama sekali tak gentar untuk menjelajah ke dalamnya. Suatu hari kau sedang di pusat perbelanjaan dengan ibumu, seorang wanita dengan dompet mengkilat menarik perhatianmu. Kau mengejarnya saat pebelanja lain dengan trolinya berjalan buru-buru di depan wanita itu dari arah berbeda. Dia tak melihatmu, dan karena kau mengejar dompetnya, kau juga tak melihatnya.
Melanggar peraturan itu dilarang, tapi membiarkanmu terluka juga sebuah pantangan. Saat kau menyadari sosoknya, itu sudah terlambant. Kau jatuh dengan pantat lebih dulu, sebelum kau mampu menghindar. Bertindak tanpa punya pilihan lain, aku membuat troli itu melayang ke sebelah mesin pendingin, dan saat benda itu koyak, wanita itu berteriak dengan ketakutan, “Le—le—lelaki dengan seragam!” Jeritnya. Kau hanya tertawa melihat keributan itu, lalu ibumu datang. Dia melihatmu selamat, sedang menunjuk ke arah troli yang menabrak pintu mesin pendingin. Kau tau apa yang kau ucapkan padanya? “Cinta ibu”. Lalu aku bersembunyi, malu karena telah menciptakan suasana macam itu, tapi harus ku akui diam-diam aku tertawa juga.
Semakin kau besar, kau semakin mengerti, akupun begitu. Aku makin tau saat aku bisa dan tidak bisa ikut campur. Terlalu berlebihan dalam bertindak akan melukai kita berdua, jadi aku memilih waktu dengan sangat hati-hati. Kau anak yang pintar, seperti ayahmu, nyaris selalu bisa mengatasi tiap situasi. Jika ada pilihan, aku mengambilnya, walau kadang aku melakukan hal sembrono, tapi kupikir aku menjagamu dengan baik. Kulakukan hal-hal sepele untuk membuat hidupmu lebih mudah, seperti memasukkan lembaran notpiano ke dalam tas saat malam, mematikan TV saat kau ketiduran, menarik lembaran musik di malam-malam yang dingin, merapikan laci, menyetel jam alarm, menutup jendela dan pintu... beberapa kali kau memergokiku melakukan hal itu, dan sekarang akan kusempatkan untuk minta maaf padamu karena telah menakutimu.
Kali ini kau sedang mengerjakan PR dan ketiduran di atas mejamu, jadi kuisi semua soal Matematika itu. Kau mengeluh pada ibumu bagaimana gurumu terlalu disiplin soal PR dan aku bagaimanapun juga aku tau kau mengerti jawabannya, tapi kau begitu curiga, bahwa saat kau bangun setengah dari lembar soal yang kau tingalkan telah terisi dengan sendirinya. Umurmu bertambah dan mulai lupa kalau kita berteman, hal-hal di media mengenai hantu membuatmu takut—dan kau berhak untuk takut. Aku hanya ingin mengatakan aku menyesal. Aku tak bermaksud membuatmu takut. Jika saja aku tak begitu ceroboh dan meningkatkan penjagaanku, kau tak akan pernah tau. Aku hanya ingin kau aman dan bahagia.
Saat kau mulai dewasa, sosokmu seperti remaja pada umumnya, kaupun mulai mengenal sisi jahat seorang pria. Walaupun kau cerdas, tapi kau selalu mengambil resiko yang konyol dan melihatmu membuatku begitu khawatir. Perlahan, aku harus menampakkan diri sedikit demi sedikit. Yang paling kuingat adalah malam itu, saat lelaki yang tak baik itu melakuakn sesuatu padamu. Saat itu ibumu bekerja. Lelaki itu hanya menginginkan satu hal darimu—aku sadar aku tak punya hak untuk mengaturmu—kau masih muda, hanya berusia 15 tahun... saat dia berada diatasmu dan mulai melepas bajumu satu persatu, dia melepas bajunya dan mulai membisikkan omong kosong yang manis. Wajahmu mengatakan semuanya.
Kau ketakutan. Kau ingin dia berhenti tapi dia tak mau, dan saat kau mencoba mendorongnya, dia marah. Saat dia menekanmu dan berusaha meraih ke dalam rokmu, semua iblis yang coba kutahan lepas seketika, dan aku tak bisa mengontrolnya. Kemarahanku membabi buta saat aku mulai menggeram, lampu berkedip-kedip, volume TV mengeras, jendela dan pintu membuka dan menutup dengan sendirinya. Not-not piano mulai berdenting tak beraturan dan dengan raungan ayahmu, aku berteriak, “Keluar dari rumah ini, bocah!” Dia lari keluar dan kau mencoba mengikutinya, tapi aku tutup pintu di depanmu dan menguncinya sampai ibumu tiba di rumah. Maafkan aku, kejadian itu membuatmu trauma sementara waktu... kau jadi sangat takut padaku setelah itu. Aku sadar kita tak akan bisa jadi teman. Tidak setelah apa yang telah kulakukan.
Beberapa malam kau duduk semalaman, melihatku, dan aku harus meringkuk di pojok gelap, melihatmu balik, tak bisa meyakinkanmu bahwa aku tak disini untuk melukaimu.  Kau pernah berteriak, “Aku benci kau! Keluar! Tinggalkan aku sendiri!” persis sama dengan apa yang kau lakukan saat kau masih kecil, melempar sesuatu ke pojok kamar—jika dulu dengan mainan untuk kumainkan, sekarang kau melempariku dengan buku tebal, sampul CD, apapun yang bisa kau raih untuk mengusirku. Aku pernha duduk di atas kasur dan melihat ke pojok... aku selalu merasa bersalah dengan apa yang ku lakukan. Aku hampir melanggar janji yang pernah kubuat pada ayahmu tapi yang terpenting, aku nyaris melanggar janji yang kubuat untukmu.
Selalu seperti itu, sampai suatu malam kau mencoba berdamai denganku. Malam itu kau duduk di atas kasur dan berkata, “Jika kau disini, aku minta maaf. Kau hanya mencoba mengehentikan lelaki itu...” Aku ingin bilang sesatu tapi tak bisa, bahkan saat kau --bergerak dengan gugup ke sekitar kamar dan berkata, “Kau disini, kan? Bisakah kau memberiku tanda?” aku benar-benar ingin memberimu sesuatu—apapun—untuk menunjuukan padamu bahwa aku memang ada dan bahwa aku mendengarmu. Tapi aku khawatir kau takut, jadi aku tetap diam dan hanya mengangguk, di pojok gelap dimana kau tak bisa melihatku... Kau harus tau, aku tak pernah marah padamu. Kau hanya gadis kecil dan bajingan kecil itu membuatku hilang kendali... Berjanjilah, kau tak akan melakukan hal itu lagi, okay?
Hari ini ulang tahunmu yang ke 18, alasan kenapa aku menulis ini untukmu. Aku berharap untukmu sebuah ulang tahun yang bahagia. Aku yakin ayahmu muak membuat kursi bar tetap terbuka untukku. Hiduplah dengan baik, usahakan jangan lupakan aku, dan sekarang kau tumbuh jadi luar biasa.
Ayahmu pasti juga bangga padamu.
Surat ini adalah hadiah untukmu, dan jangan khawatir dengan pojok menyeramkan itu lagi, tugas terakhirku sudah selesai. Aku tak bagaimana denganmu, tapi menurutku polisi ini layak mendapat minuman; walau sedikit, hahah!
Jika suatu hari kau menemukannya, cobalah memanggilku. Baik-baik ya, hati-hati dan hiduplah dengan baik.

Penuh cinta,
Letnan Ashley Gilchrist.
Ps : jika kau memanggil namaku, panggillah aku seperti panggilanku saat kau masih kecil, aku akan segera datang.

Aku terkesima membaca surat ini; akhirnya semuanya masuk akal. Semua yang terjadi saat aku tumbuh. Kupikir aku melihat sesuatu dan sampai saat mantan pacarku hampir memperkosaku. Aku mengaku kalau aku begitu takut padanya, karena aku tak mengerti dia itu apa, kenapa dia disana dan apa yang dia inginkan, tapi sekarang aku mengerti kalau aku salah.
Beberaoa hari setelah membaca surat ini, aku bertanya pada ibuku beberapa hal soal hal-hal seram yang terjadi saat aku tumbuh, awalnya dia tak acuh sampai aku mengungkit kejadian di pusat perbelanjaan. Saat itu juga dia berhentibersih-bersih, meletakkan baju-baju, berbalik ke arahku dan tersenyum. “Kau selalu punya malaikat penjaga yang mengawasimu, sayang. Aku tak yakin dia ayahmu atau bukan, tapi apapun atau siapapun dia, kuyakinkan bahwa tak pernah ada hal buruk yang terjadi padamu.” Saat dia berbalik hendak mencuci piring, dia bertanya, “Jadi, kutebak kau bertemu dengannya, kan? Teman rohmu?”
“Tidak juga, dia meninggalkan sesuatu untukku.” Aku naik ke atas, membawa laptop kebawah dan menunjukkan surat itu pada ibu. Ibuku menangis seusai membacanya, dan dia bercerita mengenai teman ayahku.
“Dia anak yang baik... Marc pernah membawanya kemari untuk bertemu denganku. Bagi ayahmu, dia lelaki yang setia seperti anjing, dia sayang dan hormat pada ayahmu hingga saat itu aku sempat merasa terintimidasi... Saat dia berkunjung ke rumah kita, Marcus harus memerintahkan dia untuk pulang dan bahkan harus menyuruhnya untuk hal kecil seperti melepas seragam. Dia melihat Marcus layaknya anak kecil terhadap ayahnya. Aku tak begitu tau latar belakangnya,  tapi aku ingat ayahmu bilang dia peminum yang baik, tentara yang handal dan temang yang begitu berharga.”
Dia mengambil nafas panjang dan mengusap air mata sebelum melanjutkan.
“Mereka menemukan anak malang itu dan ayahmu di bangunan yang tadinya dikepung oleh musuh. Mereka terpisah dari pasukan dan tim mereka terpecah saat terjadi penyerangan. Sisa anggota tim ayahmu selamat, tapi mereka berdua tidak begitu beruntung... jasad mereka ditemukan dalam keadaan ganjil.” Nafsnya berat, dan melihatku tepat ke mataku dan berkata, “Anak itu ditemukan tergeletak di atas ayahmu, penuh dengan tembakan peluru... dia melindungi ayahmu bahkan disaat-saat terakhirnya. Dia bisa saja pergi, tapi dia menolak meninggalkan ayahmu yang terluka.”
Kemudian kami menangis sejadi-jadinya... Cinta. Itulah dia, dia adalah penjaga. Aku tak punya alasan untuk takut padanya, dan akan kulakukan apapun untuk berkata padanya bahwa aku menyesal dan betapa aku menyayanginya juga. Aku tak berhak memperlakukannya seburuk itu dulu, aku sadar, dia begitu menyayangi ayahku, bahkan kematian tak bisa membuatnya melanggar janji yang pernah dia sebutkan di surat itu. Saat aku bertanya janji apa itu, ibu melihatku dengan air mata di pipinya, dan berkata, “Mereka berjanji di rumah ini, saat mereka membuat kamar untukmu. Isinya hanya—“
“Tak peduli apapun yang terjadi, berjanjilah kau akan menjaga anakku.”


Tidak ada komentar: