LOVE
Credit : Creepypasta
Originally translated by : RainiLa
Cerita ini tak dimaksudkan untuk menakuti siapapun.
Menyebut ini cerita seram terdengar agak menghina, karena cerita
ini tak termasuk di dalamnya. Ini
merupakan sebuah bentuk penghargaan kepada seorang teman, teman yang selalu ada
untukku. Dia mengawasiku selama aku bertumbuh dan dia merupakan teman terbaik
yang pernah ada.
Walaupun saat itu aku tak menyadarinya.
Dia selalu ada, meski aku tak bisa melihatnya, dan tingkahnya
selalu membuatku tertarik, walau tak dapat kumengerti. Akan kusempatkan sedikit
waktu untuk bercerita mengenai kisah kami, karena jika kalian beruntung, kalian
juga akan mendapatkan teman seperti dia.
Menurutku kalian harus membaca surat ini lebih dulu. Pada bulan Mei
2010, aku membeli komputer baru dan membawa yang lama ke toko untuk mem-back up
semua datanya. Aku membawa yang baru ke rumah dan mulai memasukkan semua file
dari hard drive portabel dan menginstall kembaliprogram-programnya, saat itu
aku menyadari ada sebuah file di Misc—sebuah folder yang dibuat si teksini toko
untuk menempatkan file-file acak. Nama file-nya HappyBirthdayBaby.txt.
Awalnya kupikir itu pesan dari ibuku yang urung kubaca, lalu aku
membukanya dan inilah yang aku temukan:
Suatu hari, barangkali kau menemukan pesan ini... aku tidak jago
menyoal per-komputer-an, tapi belakangan ini aku melihatmu mengutak-atik mesin
ini, dan kupikir aku pasti bisa menyimpan pesan ini dan kau bisa menemukannya
nanti. Mengingat aku akan segera pergi, jadi aku ingin meninggalkan pesan
pendek ini untukmu.
Aku tau kau tak pernah bertemu ayahmu, dia adalah Kolonel Marcus
Andrew Stadtfleld, aku yakin ibumu mengatakan hal yang sama juga. Bagiku dia
lelaki yang baik, salah satu lelaki dengan kebanggan seperti singa, kuat
seperti beruang dan hati semurni emas. Kenyatannya, aku nyaris seperti anak
lelakinya jauh sebelum kau lahir. Akulahtangan kanannya dan bekerja dengannya
selama tiga tahun.
Aku menyaksikan ibumu menangis saat mendengar berita itu, dengan perutnya
yang membesar dengan calon anak yang akan segera lahir ke dunia, dan aku berada
didekatnya setiap detik, setiap hari. Sampai saat kau lahir ke dunia—dan
perhatianku teralih padamu.
Aku melihat saat mereka membersihkanmu dan menyerahkanmu ke ibumu.
Nampak dia menyadari kehadiranku yang berdiri diantara kalian, seolah-olah dia
sudah lama tau, dan aku berani bertaruh dia benar-benar tau. Aku melihatmu
tumbuh dan aku ingat semuanya, bahkan hal yang kaupun tak tau. Kau bayi yang
ceria dan nampaknya kau mewarisi sifat ayahmu yang humoris. Saat kau berumur 4
bulan, kau akan melakukan apapun untuk menghindar saat ibumu akan memandikanmu,
dan tertawa terus-menerus. Kau anak dengan hati pemberontak, seperti sekarang
ini.
Seperti Marcus.
Saat berusia 6 bulan, kita bermain sepanjang waktu. Kita punya satu
permainan favorit, dimana aku menggenggam jempolmu dan menggelitiki perutmu.
Kau sangat menyukainya, walaupun aku harus berhenti saat ibumu datang. Hal itu
membuat ibumu bingung kenapa kau tiba-tiba menangis—untuk sesaat, dia pikir kau
tak menyukainya, sampai aku menyadari bahwa terkadang aku harus menjauh.
Saat berusia 1 tahun nampaknya kau mlai kehilangan indera
keenam-mu, kau tak terlalu bisa melihatku dengan jelas lagi, tapi kau tau aku
selalu ada. Aku tak lagi bisa terlalu sering bermain denganmu karena aku tau kau
akan terluka, tapi aku tak pernah absen menjagamu. Aku tau kau ingat bisa
melihatku karena kau punya cara untuk menguji keberadaanku, dengan melempar
mainan ke pojok kamar dimana aku berdiri
dan menunggu apa aku memainkannya. Sekarang, aku tau kau tak akan mengingatnya,
tapi saat kau melempar boneka beruang dan boneka kain ke arahku—saat itu ibumu
sibuk di dapur menyiapkan makan malam—aku menghiburmu dengan pertunjukan
kecilku. Bukan sesuatu yang istimewa, aku hanya membuat mereka menari sedikit.
Kau tertawa keras sekali dan ibumu masuk ke kamarmu untuk memastikan apa ada
yang lucu, tapi saat dia melihat, dia sama sekali tak tertawa. Aku bertaruh,
kau masih mengingat boneka kain dan beruang yang menarisampai saat ini, dan
riak wajah ibumu. Kupikir lebih baik untuk bertanya apa kau pernah melempar
mainan ke pojok kamar, setidaknya—bagi ibumu—ingatan itu tak seburuk boneka
yang menari.
Kau ingat kata pertamamu? Aku ingat... “Cinta”. Hahah. Ibumu
meyakinkanmu betapa berharganya kau baginya, tiap waktu, tiap hari, dia akan
berkata “Aku cinta kau, sayang...”. aku ingat kau pernah melakukan hal yang
buruk. Saat itu ibumu memandikanmu di kamar mandi. Nampaknya kau melihat
pantulanku di cermin belakang ibumu, kau menunjuk dan berkata “Sayang” (Yah,
lebih dari itu, tapi ibumu tau), ibumu
tertawa dan mengangguk. Itu satu-satunya kata yang bisa kau ucapkan, tapi saat
aku menjauh dari cermin kau mulai gelisah, saat itu aku tau kau harus lebih
berhati-hati. Makin hari kau makin besar, dan aku tak bisa mengingkari janjiku
pada ayahmu, itulah kenapa aku harus mundur sekali lagi.
Aku melanggar peraturan berkali-kali untuk menjagamu, padahal
janjiku pada ayahmu adalah segalanya bagiku. Aku ingat saat usiamu 3 tahun dan
sudah bisa berjalan, kau adalah anak pramuka, hahah. Kau tak bisa diam
lama-lama—kedua kaki mungil itu telah membuka jalanmu menuju dunia dan sama
sekali tak gentar untuk menjelajah ke dalamnya. Suatu hari kau sedang di pusat
perbelanjaan dengan ibumu, seorang wanita dengan dompet mengkilat menarik
perhatianmu. Kau mengejarnya saat pebelanja lain dengan trolinya berjalan
buru-buru di depan wanita itu dari arah berbeda. Dia tak melihatmu, dan karena
kau mengejar dompetnya, kau juga tak melihatnya.
Melanggar peraturan itu dilarang, tapi membiarkanmu terluka juga
sebuah pantangan. Saat kau menyadari sosoknya, itu sudah terlambant. Kau jatuh
dengan pantat lebih dulu, sebelum kau mampu menghindar. Bertindak tanpa punya
pilihan lain, aku membuat troli itu melayang ke sebelah mesin pendingin, dan
saat benda itu koyak, wanita itu berteriak dengan ketakutan, “Le—le—lelaki
dengan seragam!” Jeritnya. Kau hanya tertawa melihat keributan itu, lalu ibumu
datang. Dia melihatmu selamat, sedang menunjuk ke arah troli yang menabrak
pintu mesin pendingin. Kau tau apa yang kau ucapkan padanya? “Cinta ibu”. Lalu
aku bersembunyi, malu karena telah menciptakan suasana macam itu, tapi harus ku
akui diam-diam aku tertawa juga.
Semakin kau besar, kau semakin mengerti, akupun begitu. Aku makin
tau saat aku bisa dan tidak bisa ikut campur. Terlalu berlebihan dalam
bertindak akan melukai kita berdua, jadi aku memilih waktu dengan sangat
hati-hati. Kau anak yang pintar, seperti ayahmu, nyaris selalu bisa mengatasi
tiap situasi. Jika ada pilihan, aku mengambilnya, walau kadang aku melakukan hal
sembrono, tapi kupikir aku menjagamu dengan baik. Kulakukan hal-hal sepele
untuk membuat hidupmu lebih mudah, seperti memasukkan lembaran notpiano ke
dalam tas saat malam, mematikan TV saat kau ketiduran, menarik lembaran musik
di malam-malam yang dingin, merapikan laci, menyetel jam alarm, menutup jendela
dan pintu... beberapa kali kau memergokiku melakukan hal itu, dan sekarang akan
kusempatkan untuk minta maaf padamu karena telah menakutimu.
Kali ini kau sedang mengerjakan PR dan ketiduran di atas mejamu,
jadi kuisi semua soal Matematika itu. Kau mengeluh pada ibumu bagaimana gurumu
terlalu disiplin soal PR dan aku bagaimanapun juga aku tau kau mengerti
jawabannya, tapi kau begitu curiga, bahwa saat kau bangun setengah dari lembar
soal yang kau tingalkan telah terisi dengan sendirinya. Umurmu bertambah dan
mulai lupa kalau kita berteman, hal-hal di media mengenai hantu membuatmu
takut—dan kau berhak untuk takut. Aku hanya ingin mengatakan aku menyesal. Aku
tak bermaksud membuatmu takut. Jika saja aku tak begitu ceroboh dan
meningkatkan penjagaanku, kau tak akan pernah tau. Aku hanya ingin kau aman dan
bahagia.
Saat kau mulai dewasa, sosokmu seperti remaja pada umumnya, kaupun
mulai mengenal sisi jahat seorang pria. Walaupun kau cerdas, tapi kau selalu
mengambil resiko yang konyol dan melihatmu membuatku begitu khawatir. Perlahan,
aku harus menampakkan diri sedikit demi sedikit. Yang paling kuingat adalah
malam itu, saat lelaki yang tak baik itu melakuakn sesuatu padamu. Saat itu
ibumu bekerja. Lelaki itu hanya menginginkan satu hal darimu—aku sadar aku tak
punya hak untuk mengaturmu—kau masih muda, hanya berusia 15 tahun... saat dia
berada diatasmu dan mulai melepas bajumu satu persatu, dia melepas bajunya dan
mulai membisikkan omong kosong yang manis. Wajahmu mengatakan semuanya.
Kau ketakutan. Kau ingin dia berhenti tapi dia tak mau, dan saat
kau mencoba mendorongnya, dia marah. Saat dia menekanmu dan berusaha meraih ke
dalam rokmu, semua iblis yang coba kutahan lepas seketika, dan aku tak bisa
mengontrolnya. Kemarahanku membabi buta saat aku mulai menggeram, lampu
berkedip-kedip, volume TV mengeras, jendela dan pintu membuka dan menutup
dengan sendirinya. Not-not piano mulai berdenting tak beraturan dan dengan
raungan ayahmu, aku berteriak, “Keluar dari rumah ini,
bocah!” Dia lari keluar dan kau mencoba mengikutinya, tapi aku tutup pintu di
depanmu dan menguncinya sampai ibumu tiba di rumah. Maafkan aku, kejadian itu
membuatmu trauma sementara waktu... kau jadi sangat takut padaku setelah itu.
Aku sadar kita tak akan bisa jadi teman. Tidak setelah apa yang telah
kulakukan.
Beberapa malam kau duduk semalaman, melihatku, dan aku harus
meringkuk di pojok gelap, melihatmu balik, tak bisa meyakinkanmu bahwa aku tak
disini untuk melukaimu. Kau pernah
berteriak, “Aku benci kau! Keluar! Tinggalkan aku sendiri!” persis sama dengan
apa yang kau lakukan saat kau masih kecil, melempar sesuatu ke pojok kamar—jika
dulu dengan mainan untuk kumainkan, sekarang kau melempariku dengan buku tebal,
sampul CD, apapun yang bisa kau raih untuk mengusirku. Aku pernha duduk di atas
kasur dan melihat ke pojok... aku selalu merasa bersalah dengan apa yang ku
lakukan. Aku hampir melanggar janji yang pernah kubuat pada ayahmu tapi yang
terpenting, aku nyaris melanggar janji yang kubuat untukmu.
Selalu seperti itu, sampai suatu malam kau mencoba berdamai
denganku. Malam itu kau duduk di atas kasur dan berkata, “Jika kau disini, aku
minta maaf. Kau hanya mencoba mengehentikan lelaki itu...” Aku ingin bilang
sesatu tapi tak bisa, bahkan saat kau --bergerak dengan gugup ke sekitar kamar
dan berkata, “Kau disini, kan? Bisakah kau memberiku tanda?” aku benar-benar
ingin memberimu sesuatu—apapun—untuk menunjuukan padamu bahwa aku memang ada
dan bahwa aku mendengarmu. Tapi aku khawatir kau takut, jadi aku tetap diam dan
hanya mengangguk, di pojok gelap dimana kau tak bisa melihatku... Kau harus
tau, aku tak pernah marah padamu. Kau hanya gadis kecil dan bajingan kecil itu
membuatku hilang kendali... Berjanjilah, kau tak akan melakukan hal itu lagi,
okay?
Hari ini ulang tahunmu yang ke 18, alasan kenapa aku menulis ini
untukmu. Aku berharap untukmu sebuah ulang tahun yang bahagia. Aku yakin ayahmu
muak membuat kursi bar tetap terbuka untukku. Hiduplah dengan baik, usahakan
jangan lupakan aku, dan sekarang kau tumbuh jadi luar biasa.
Ayahmu pasti juga bangga padamu.
Surat ini adalah hadiah untukmu, dan jangan khawatir dengan pojok
menyeramkan itu lagi, tugas terakhirku sudah selesai. Aku tak bagaimana
denganmu, tapi menurutku polisi ini layak mendapat minuman; walau sedikit,
hahah!
Jika suatu hari kau menemukannya, cobalah memanggilku. Baik-baik
ya, hati-hati dan hiduplah dengan baik.
Penuh cinta,
Letnan Ashley Gilchrist.
Ps : jika kau memanggil namaku, panggillah aku seperti panggilanku
saat kau masih kecil, aku akan segera datang.
Aku terkesima membaca surat ini; akhirnya semuanya masuk akal.
Semua yang terjadi saat aku tumbuh. Kupikir aku melihat sesuatu dan sampai saat
mantan pacarku hampir memperkosaku. Aku mengaku kalau aku begitu takut padanya,
karena aku tak mengerti dia itu apa, kenapa dia disana dan apa yang dia
inginkan, tapi sekarang aku mengerti kalau aku salah.
Beberaoa hari setelah membaca surat ini, aku bertanya pada ibuku
beberapa hal soal hal-hal seram yang terjadi saat aku tumbuh, awalnya dia tak
acuh sampai aku mengungkit kejadian di pusat perbelanjaan. Saat itu juga dia
berhentibersih-bersih, meletakkan baju-baju, berbalik ke arahku dan tersenyum. “Kau
selalu punya malaikat penjaga yang mengawasimu, sayang. Aku tak yakin dia
ayahmu atau bukan, tapi apapun atau siapapun dia, kuyakinkan bahwa tak pernah
ada hal buruk yang terjadi padamu.” Saat dia berbalik hendak mencuci piring,
dia bertanya, “Jadi, kutebak kau bertemu dengannya, kan? Teman rohmu?”
“Tidak juga, dia meninggalkan sesuatu untukku.” Aku naik ke atas,
membawa laptop kebawah dan menunjukkan surat itu pada ibu. Ibuku menangis
seusai membacanya, dan dia bercerita mengenai teman ayahku.
“Dia anak yang baik... Marc pernah membawanya kemari untuk bertemu
denganku. Bagi ayahmu, dia lelaki yang setia seperti anjing, dia sayang dan
hormat pada ayahmu hingga saat itu aku sempat merasa terintimidasi... Saat dia
berkunjung ke rumah kita, Marcus harus memerintahkan dia untuk pulang dan bahkan
harus menyuruhnya untuk hal kecil seperti melepas seragam. Dia melihat Marcus
layaknya anak kecil terhadap ayahnya. Aku tak begitu tau latar belakangnya, tapi aku ingat ayahmu bilang dia peminum yang
baik, tentara yang handal dan temang yang begitu berharga.”
Dia mengambil nafas panjang dan mengusap air mata sebelum
melanjutkan.
“Mereka menemukan anak malang itu dan ayahmu di bangunan yang tadinya
dikepung oleh musuh. Mereka terpisah dari pasukan dan tim mereka terpecah saat
terjadi penyerangan. Sisa anggota tim ayahmu selamat, tapi mereka berdua tidak
begitu beruntung... jasad mereka ditemukan dalam keadaan ganjil.” Nafsnya
berat, dan melihatku tepat ke mataku dan berkata, “Anak itu ditemukan
tergeletak di atas ayahmu, penuh dengan tembakan peluru... dia melindungi
ayahmu bahkan disaat-saat terakhirnya. Dia bisa saja pergi, tapi dia menolak
meninggalkan ayahmu yang terluka.”
Kemudian kami menangis sejadi-jadinya... Cinta. Itulah dia, dia
adalah penjaga. Aku tak punya alasan untuk takut padanya, dan akan kulakukan
apapun untuk berkata padanya bahwa aku menyesal dan betapa aku menyayanginya
juga. Aku tak berhak memperlakukannya seburuk itu dulu, aku sadar, dia begitu
menyayangi ayahku, bahkan kematian tak bisa membuatnya melanggar janji yang
pernah dia sebutkan di surat itu. Saat aku bertanya janji apa itu, ibu
melihatku dengan air mata di pipinya, dan berkata, “Mereka berjanji di rumah
ini, saat mereka membuat kamar untukmu. Isinya hanya—“
“Tak peduli apapun yang terjadi, berjanjilah kau akan menjaga anakku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar