Sabtu, 19 Desember 2015

[Cerita Terjemahan] THE BURNED PHOTO – PART II



THE BURNED PHOTO – PART II
(Foto yang Hangus)
Credit to—NickyXX
Originally translated by—RainiLa


Bibiku mengantar Shane keesokan harinya. Ibu tak ingin memberitau Shane soal nenek sampai dia pulang, jadi dia bisa tidur dan meredam emosinya, serta Ibu bisa menemukan cara yang tepat untuk menjelaskan perihal kematian pada anak berumur 5 tahun. Dia terus mencari cara untuk menyampaikan hal itu pada anaknya dan masih belum menemukan cara yang tepat sampai kakekku—ayah dari ayahku—mengantarnya pulang jam 2.30 siang. Jadi Ibu langsung saja mengutarakan perasaannya, tanpa bisa membendung air mata.
Shane melihatnya, dengan tatapan kosong.
“Oh, baiklah.” Katanya, “Artie diluar. Bisakah kami bermain sekarang?”
Ibu tak percaya.
“Apa kau bercanda?” teriaknya. “Nenek meninggal. Yang benar saja, hanya beramin yang kau pikirkan sekarang ini?”
Shane mengerutkan dahi. Dia nampaknya mengerti kalau ibunya sedang marah saat ini, tapi tak mengerti kenapa. Ekspresi bingungnya membuat Ibu agak tenang. Shane mencoba mengerti, Ibu kembali sadar.
“Baiklah.” Katanya, lebih tegas. “Tapi hari ini, katakan pada Artie aku akan mengantarnya pulang dan bicara pada ibunya. Dia terlalu sering kesini dan aku tak berpikir dia memberi pengaruh baik untukmu. Kita akan berbicara lebih serius tentang hal ini lain kali.”
Shane tidak bereaksi. Jika ancaman Ibu untuk menjauhkannya dari temannya berefek pada sisi emosinya, dia sama sekali tak menunjukkannya. Satu tatapan yang dia beri hanya tatapan memelas, bukan kekecewaan. Hanya tatapan memelas yang biasa dan kosong. Seperti yang ditunjukkan oleh para pengemis yang meminta perubahan. Tanpa kata, dia berjalan ke pintu belakang dan membiarkan Artie masuk. Lalu, berbaris seperti tentara, bocah-bocah itu berjalan ke kamar Shane dan menutup pintunya.
Ibu duduk di sofa dan menangis. Tapi akhirnya, kelelahan fisik dan emosinya selama 24 jam menyerbunya, dan dia nyaris terlalu lelah untuk mengeluarkan airmata. Jadi, dia bersandar dan menutup matanya selama semenit, lalu dua menit, lalu...
Matanya terbuka secara tiba-tiba. Ruangan disekitarnya gelap. Dia lihat jam di VCR, menunjukkan pukul 6 malam. Dia tertidur hampir 3 jam. sesuatu membangunkannya—suara tabrakan atau suara gedebuk, keributan yang berasal dari tempat yang tak jauh dari sini. Anak-anak?
Dia pergi ke pintu Shane dan memutar knob pintu, perlahan membukanya. Bisa dia lihat Shane duduk bersila diatas ranjang, di sudut jauh dari pintu. Dia sedang berbicara dengan suara rendah pada seseorang yang berada di seberang ujung ranjangnya, diluar jangkauan pandang Ibu. Ibu membuka pintu agak sedikit lebih lebar, memperlihatkan kaki dengan kain birunya. Anak itu terkikik. Dia Artie, tentu saja. siapa lagi?
CRACK!
Ibu melihet sekitar. Suara itu lagi, dan pati bukan berasal dari dua bocah itu. suara itu nampaknya datang dari ruang laundry. Dia berbalik, dia mendengar pintu Shane menutup.
“Jim?” Panggilnya. Walau dia tau tak mungkin itu Ayahku—Ayah udah pergi ke bandara sekitar tengah malam pada malam ssebelumnya.
BHUK.. BHUK.. BHUK..
Ibu makin ketakutan. Dia akan emmanggil 911, tapi tak mungkin suara-suara berisik yang mungkin datang dari basement cukup untuk membuat polisi kesini. Alih-alih, dia memeriksa pintu depan dan lalu pintu belakang. Dua-duanya terkunci. Hanya ada satu pintu di basement dan tak ada pintu keluar, jadi jika ada seseorang dibawah sana, mereka harus diam-diam melewatinya saat dia tidur di sofa. Papan lantai berderik, dia sering terbangun tengah malam karena Jim atau Shane yang mengambil seelas air di dapur.
Dia berjinjit menuju pintu ruang laundry. Mengambil  nafas dalam-dalam, dia memutar knob pintu dan menyalakan lampu.
Ruanan itu masih seperti semula—seember sikat lalu Jim dan Shane jeans di lantai disamping mesin cuci, sebuah botol detergent diatas pengering dengan lampu yang terlepas. Dia melihat ke bawah, ke arah pintu perangkap yang mengarah ke basement. Tertutup. Dan grendel pintunya masih terpasang.
Grendel pintu masih utuh. Pintu perangkap terkunci dari luar.
Ibu merasakan gelombang kepanikan. Bahkan jika si penyusup berencana mengendap-endap saat dia tertidur, tak mungkin dia pergi ke basement dan mengunci pintu dibelakangnya. Jadi kemungkinan itu hanya tikus.
Memutar matanya, menertawakan ketakutannya sendiri yang tak berdasar, dia membuka grendel pintu dan turun ke bawah. Saat dia merasakan kakinya mendarat di tangga, dia menarik tali yang akan membuat lampu menyala. Sebuah lampu kuning temaram bersinar menerangi gudang yang begitu berantakan.
Artie berdiri di bawah tangga.
Ibu menjerit dan tersandung, berusaha menahan tubuhnya di pembatas. Mata biru Artie menyala; kulitnya nampak berpendar dari dalam. Bocah itu menatapnya. Menatapnya dengan tatapan mengerikan, ganjil, penuh dendam yang sama dengan yang dia perlihatkan saat Ibu mengikutinya beberapa hari sebelumnya.
“Artie! Sayang, bagaimana kau...” Gagapnya, suaranya meninggi dan gemetaran.
Tatapan Artie melunak jadi senyuman. Senyum terlebar yan pernah Ibu lihat pada seorang anak lelaki. Pada saat hari pertama libur musim panas. Saat pagi hari di hari natal. Hanya saja tak ada kesan malaikat di senyumnya. Hanya ada kegilaan dalam tatapan matanya.
Lalu Ibu menyadari sesuatu yang membuat tungkainya lemas dan perutnya mual.
Jika Artie dibawah sini, lalu siapa yang bersama Shane...
Ibu berlari. Ke lantai atas, naik ke pintu perangkap, keluar dari ruang laundry, menuju kamar anaknya. Dia dbrak pintu kamar Shane.
Kamar Shane kosong. Semuanya nampak seperti semula sebelum Shane pulang dari sekolah. Satu-satunya yang menunjukkan kamar ini pernah dimasuki adalah dua lekukan kecil diatas selimut.
Dia membuka pintu lemari dan mengintip di bawah ranjang. Dia membuka jendela yang memperlihatkan taman belakang dan meneriakkan nama anaknya. Lalu, gemetaran dan peluh membasahi sekujur tubuhnya, dia berlari lagi ke ruang laundry. Ini pasri bercanda. Dia melihat sesuatu. Bocah-bocah itu pasti telah menggodanya. Pintu basement masih terbuka lebar dan lampu masih menyala. Dia hentak tubuhnya masuk ke lubang segiempat itu dan melihat sekitar saat sampai disana.
Artie sudah pergi. atau mungkin bersembunyi. Dia turun menuju lantai dibawahnya. Kakinya mendarat ke atas sesuatu yang kecil dan keras, nyaris terpeleset. Nampak sebuah balok kayu yang diukir membentuk sebuah abjad ada disana.
Salah satu balok kayu milik Shane. Dia berlutut untuk memeriksa. Huruf “U”. Unicorn, Umbrella, Unicycle, Unibrow.
Ada lebih banyak balok kayu lagi, tersebar disana. Mungkin mereka membentuk sebuah kata sebelum Ibu merusaknya. Semuanya berjumlah tujuh balok. E, I, O, N, M, W, U. Seperti anak kecil yang bermain permainan kata, ibuku duduk bersila di lantai dan mengamati huruf-huruf itu.
NO WE... I, N, U
NOW U ME... I
WON ME... I, U
UNEM... W, I, O
Sia-sia. Frustasi, dia mengambil dua balok kayu—U dan M—lalu melemparnya ke lantai. Mereka memantul dan jatuh dengan posisi terbalik. Nyaris menangis, dia berguling dan merayap untuk meraih balok-balok itu. Saat itulah dia menyadari sesuatu.
Huruf U terbalik, seperti membentuk huruf “n”. Dalam satu set balok kayu, tiap baloknya hanya mewakili satu huruf. Shane atau Artie atau... dia gemetar... dia dan menggunakan balok sebagai huruf “N”. Bergetar layaknya hewan yang ketakutan, dia menyuun balok itu lagi dan mulai dari awal.
Dia mengetahuinya segera.
MINE nOW.
Dia menjerit. Memanggil nama Shane berulang kali, dia mengacak-acak basement, melempar balok-balok itu kesegala arah, memukul-mukul furniture, merusak tiap inchi-nya. Ketika hal itu tak menyelesaikan apapun, dia menggeledah seluruh isi rumah. Dia membuka tiap pintu, melihat tiap sudut tersembunyi semua furniture, lari ke pintu belakang dan memutar dua kali disana, menangisi anaknya sejadi-jadinya dalam kegelapan.
Akhirnya, dia memanggil polisi. Mereka mengirim polisi patroli kesini dan Ibu menceritakan semuanya. Polisi merasa simpati dan mengerti lalu, sejam kemudian, lima mobil polisi lebih datang ke daerah ini untuk mencari tanda-tanda keberadaan bocah-bocah itu. Mereka akan menemukan anaknya, kata mereka paa Ibuku. Dua anak kecil tak akan bisa lari jauh. Saat Ibu berkata kalau dia tak pernah bertemu Ibu Artie, polisi nampak terkejut, tapi mereka meyakinkan bahwa mereka akan memeriksa rumah putih tak terawat dimana Artie lenyap didalamnya.
Para petugas menawari Ibu tumpangan ke rumah nenek untuk tinggal dengan saudaranya. Dia bisa istirahat malam ini, lalu datang ke kantor polisi untuk menjawab pertanyaan esoknya. Selanjutnya, mereka tetap menyusur jalanan dan tetap memarkir mobil patroli di sekitar rumah, kalau-kalau Shane kembali. Dia mungkin kembali, kata para polisi.  Dia dan teman kecilnya mungkin saja punya fantasi untuk melarikan diri ke Sesame Street, dan akan kembali segera setelah merasa lapar atau takut dengan gelap.
Pagi harinya, Ayahku, yang baru kembali dari Miami tiba di rumah. Satu mobil patroli maih ada disana. Dua orang polisi yang ditugaskan untuk terus mengawasi berkata pada Ayah kalau-kalau dia membutuhkan sesuatu, ambil sekarang juga, karena dalam rentang waktu 30 menit lagi, rumah ini akan jadi tempat adegan kriminal.
Ayah tak pernah keluar. Para polisi tak mendengar teriakan.
Ibuku duduk di ruang interogasi dengan eorang pelukis saat dia ditangkap. Pelukis itu selesai menggambar wajah Artie. Gambarnya cukup bagus, tapi ada... sesuatu yang kurang. Matanya kurang tepat dan dia menyadari dia tak bisa menggambarkan bagaimana senyumnya. Senyum jahat dan gila itu. Mereka memborgol ibuku dimeja.

Bonnie Ibanez, kau ditanggap atas pembunuhan terhadap Shane Ibanez.
Beberapa jam kemudian nampak buram. Dia di bekuk, diambil sidik jarinya, di foto; diantara isakan, teriakan dan permohonan pada seseorang untuk menjelaskan padanya apa yang telah terjadi. Akhirnya, dia berakhir di ruang interogasi yang sama, kali ini dengan tangan yang diborgol di balik punggungnya, menghadapi tatapan-tatapan tajam para petugas kepolisian. Ibu memohon, Ibu menangis, polisi itu membentak, Ibu—bercerita melalui ancaman dan usaha polisi untuk menindas Ibuku—mencerna apa yang terjadi pada anak semata wayangnya.
Jim Ibanez, suaminya, kembali ke rumah kira-kira jam 10.30 pagi. para petugas polisi ada disana, setelah memeriksa ID-nya, dia diperbolehkan mengambil apapun yang dia perlukan selama 15 menit. 30 menit kemudian, saat dia tak kunjung muncul, para polisi menyusulnya ke dalam. Pintu menuju ruang laundry terbuka, pintu basement juga terbuka, dan lampu basement menyala. Jim ada di sofa. Darah menggenangi kakinya, disekitar sebuah pusau dapur tajam. Dia menyayat pergelangan tangannya sendiri. Dia telah meninggal.
Para polisi, setelah memanggil paramedis dan memanggil bantuan, lalu memeriksa rumah.
Di dalam ruang basement, setengah tertutup oleh selimut kain perca diatas tempat tidur bayi usang, mereka menemukan tubuh dingin dan kaku Shane Ibanez. Sepuluh jari tangan, sepuluh jari kaki, tak ada sayatan, tak ada tulang patah, tak ada tanda-tanda perlawanan atau luka sedikitpun.
Kecuali potongan yang rapi dan bersih di lehernya.
Mereka tak pernah menemukan kepalanya.
Waktu kematiannya dipastikan sekitar jam 6.30 malam di malam sebelumnya. Orang terakhir yang melihatnya masih hidup, selain ibunya sendiri, adalah kakeknya, yang mengantarnya pulang sekitar jam 3. Hanya ada Ibu dan Shane, kata kakeknya.
“Tapi...” Ibuku gemetar. “Tak mungkin. Aku mencarinya dimanapun. Kalian semua di rumah kemarin. Dia tak ada disana.”
“Mungkin.” Kata si Polisi. “Tapi kita tidak memeriksanya dengan hati-hati, kan?”
“Artie,” Ibu berbisik.
Polisi tertawa lebar.
“Kau terus berkata begitu.” Dia mengejek. “Tapi kami tak punya bukti Artie pernah ada.”
“Tapi rumah itu” Kata Ibu. “Aku melihatnya mausk ke rumah putih kecil yang aku tunjukkan padamu.”
“Maksudmu rumah Nyonya Myrtle Anderson? Janda, 75 tahun, tinggal sendiri, tidak menyetir, tak punya cucu di daerah itu, tak pernah ada anak yang cocok dengan deskripsimu.”
“Tapi dia...”
“Dua hari lalu. Kau bilang pada kami. Dia sedang menonton TV di kamarnya saat itu. Tak ada yang keluar ataupun masuk.”
“Faktanya.” Lanjut polisi itu dengan suara datar. “Tak ada satupun dari tetanggamu yang pernah melihat anak itu. Berdasarkan pencarian kami, tak ada yang namanya Artie—atau Arthur, atau nama lain yang bisa di singkat menjadi Artie—tinggal di sekitaran lingkunganmu.”
“Orang-orang melihatnya!” Ibuku bersikeras. “Ibuku menjaga mereka tiap waktu. Dan suamiku bertemu dengannya.”
“Mereka meninggal.” Dia mencemooh.
Hari-hari berlalu. Pelukis yang menggambar wajah Artie tiap malam muncul di berita, tersiar di seluruh Miami, memperlihatkan pada siapapun yang tinggal pada jarak 3 mil dari rumah. Tidak satupun persembunyian ataupun sehelai rambutnya ditemukan. Nenek, kakek dan bibiku berkata mereka pernah mendengar Shane menyebut nama Artie, tapi dia seolah-olah bercerita tentang teman khayalannya. Polisi menyimpulkan bahwa Artie hanyalah bagian dari imajinasi Shane saja, yang di salahgunakan oleh Ibunya untuk menutupi kejahatannya.
Dua bibiku menggunakan rumah ibu mereka yang sudah meninggal sebagai jaminan untuk mengeluarkan ibuku dan menggunakannya sebagai uang jaminan. Dia menyendiri di kamar anaknya, tidur dengan lampu menyala dan pintu terbuka. Mencoba mencerna bagaimana tubuh tanpa kepala anaknya secara ajaib bica muncul di basement.
Apakah pembunuh psikopat telah menculik anaknya, memenggalnya di luar jendela, lalu mengembalikan tubuhnya segera setelah Ibu keluar? tidak, mustahil. Ada banyak polisi disana sepanjang malam, tak ada yang masuk ataupun keluar. Dan lagi, dia melihat Shane. Di kamarnya. Bicara pada Artie. Tapi itu bukan Artie, karena Artie ada di basement.
Siapa yang bicara dengan Shane?
Dan bagaimana Artie bisa berpindah tempat ke basement, melewati grendel yang terkunci? Kenapa tak ada yang pernah melihatnya kecuali dia, suaminya yang pertama, ibu dan anaknya? Baju yang selalu dia kenakan, tak pernah kotor, tak pernah kusut. Ibu yang tak pernah muncul. Rumah dimana dia lenyap ke dalamnya. Dan pesan di balok kayu.
Balok-balok kayu. Dia pernah mengambil foto dua bocah itu saat bermain balok kayu.
Buru-buru dia mengambil rol film untuk di cetak, beryukur karna dia masih menyimpan rol itu di tas kameranya, dan tas kamera itu ada di mobil bukan di rumahnya, yang sekarang ada di bawah kendali polisi. Dia membayar ekstra agar fotonya bisa selesai dalam satu jam saja; satu jam yang dia habiskan untuk mondar-mandir di sekitar pintu toko. Dia bisa membuktikannya, pikirnya. Membuktikan bahwa Artie itu nyata. Membuktikan bahwa dia tidak gila. Saat prosesnya sudah selesai dan dia menerima amplop berisi foto di tangannya, dia menunggu sampai dia sampai di rumah ibunya, di dalam kamarnya sebelum membuka paket kecil yang akan menyelamatkannya.
Mereka menemukan ibu delapan jam kemudian, meringkuk di halaman belakang, cakaran dari tangannya sendiri nampak memanjang di kedua lengannya, sebuah korek api serta setumpuk abu ada di dekat kakinya.
Ibu bilang dia tak ingat apa yang terjadi 6 minggu kemudian. Dia dikurung di salah satu bilik di institusi kejiwaan, berkomat-kamit dan terkikik. Mereka harus memasang sarung tangan tinju untuk mencegah dia menyakiti dirinya sendiri. Dia mulai ada perubahan sekitar tiga minggu kemudian, dia mulai ingat namanya sendiri, lalu saudara-saudaranya dan akhirnya suaminya lalu anaknya yang sama-sama telah meninggal.
Dia tak pernah bercerita pada siapapun soal foto yang telah dia bakar.
Saat pembebasaannya dari institusi kejiwaan, ibuku menjadi wanita yang bebas sebebas bebasnya. Polisi menarik semua tuduhannya, terkait dua situasi yang begitu membingungkan.
Situasi #1 : Badan Shane menghilang. Suatu hari, badan Shane disimpan di refrigerator di dalam lab koroner; hari berikutnya tiba-tiba menghilang. Di tempatnya, terdapat sisa-sisa debu abu-abu. Polisi maupun petugas lab koroner tak mampu menemukan kemungkinan yang masuk akal. Hanya tiga orang yan punya kartu ID yang bisa membuka pintu lab; tiga orang yang telah terdaftar. Petugas pemindai tak ada tanda-tanda pernah mencoba mengakses ruangan itu, berhasil atau gagal. Dan rekaman keamanan menunukkan bahwa tak seorangpun yang berada di dekat ruangan saat hal itu terjadi.

Situasi #2 : Rumah Ibu terbakar. 6 minggu sebelumnya, dua petugas polisi yang ditugaskan untuk penjagaan tempat kejadian perkara mencium bau asap. Basement itu terbakar. Secara ganjil, lidah api menjalar begitu cepat, segera melahap seluruh bagian rumah. Penyebab munculnya api tak bsia ditemukan, dugaan pembakaran secara sengaja atau masalah listrik tidak cocok. Untung saja, api tidak menyebar. Ajaib sekali dua rumah di sebelahnya tidak ikut terlalap api, kata petugas pemadam kebakaran. Mungkin akibat kelembaban udara.
Itu sebuah kebetulan, telah disepakati, bahwa api nampak mulai menyambar tepat saat Ibuku membakar foto Shane dan Artie yang tengah bermain balok kayu.
Tak ada korban, tanpa motif, timeline yang dipertanyakan dan banyak kemungkinan potensial akan munculnya asap, polisi tak bisa melakukan apapun selain membebaskan Ibuku dan menyembunyikan kasus ini rapat-rapat sebagai sebuah kasus misteri yang tak terpecahkan atau sebuah tindakan langsung dari Tuhan. Tentu saja, bukan berarti Ibu bebas dari masalah. Polisi, yang khawatir dengan kepanikan massa, memberitahu alasan yang lebih masuk akal mengenai insiden itu, termasuk menghilangnya jasad Shane. Jadi, Ibu dihakimi oleh pers. Keluarga ayahku tak mau punya urusan dengannya. Saudara-saudaranya bersumpah jika mereka percaya padanya, tapi mereka bersikeras untuk menjual rumah ibu mereka secepat mungkin. Saat sudah terjual, jauh dibawah harga pasaran, mereka membagi keuntungannya jadi tiga. Lalu, hampir secara mendadak, kedua saudara Ibuku meninggalkan kota dan mengubah nomer telpon mereka. Ibu tak lagi bicara pada mereka setelahnya.
Dia tak bisa tinggal di Miami. Walaupun  dia tidak dipandang dengan tatapan jijik dan bisikan-bisikan jahat, ataupun ajakan berkelahi, tiap kali dia keluar dari hotelnya yang lusuh, kota itu tak memberinya harapan apapun. Semua orang yang dia sayang telah pergi. dia melihat wajah anaknya yang  meninggal tiap dia menutup mata, dan pemandangan tempat kesukaannya; McDonald’s atau taman yang biasa dia kunjungi saat bermain sewaktu balita hanya menambah rasa nyeri di ulu hatinya. Dia banyak tidur, menghabiskan waktu dengan menonton opera sabun murahan, tak pernah sekalipun mematikan lampu di meja disamping ranjangnya. Disamping lampu, dia biasa meletakkan sebotol obat tidur. Dia akan memandang botol saat dia menutup mata dan saat dia bangun, biasanya saat tengah hari dan biasanya berjam-jam lamanya, dia berharap bahwa dia bisa menghabiskan obat itu dengan sekali tenggak hingga dia kehilangan ingatannya.
Tapi tak bisa. Saat dia sudah kembali waras dan keluar dari institusi kejiwaan, dokter menolak memberinya tylenol untuk meredakan sakit kepalanya yang hebat. Karena dia sedang mengandung delapan bulan.
Sesegera mungkin dia pindah, mempersiapkan mobilnya dan pergi ke lintas negara menuju Ohio. Dia membayar seseorang untuk membuat passport dan SIM palsu dengan nama Elizabeth Johnson. Dia mendapat apartemen kecil untuk disewa. Dia investasikan sebagian uang asuransinya untuk memulai bisnis fotrografi. Lalu kemudian aku lahir dan kami pindah ke rumah kecil di Cleveland.
“Tapi, Bu,” Aku bertanya padanya, “Apa yang salah dengan foto itu? Foto yang kau bakar—kenapa tak kau perlihatkan pada polisi dan membuktikan bahwa Artie memang nyata?”
Saat itu, dia menarik nafas panjang dan menutup matanya. Ujung matanya perlahan jadi gelap. Dia nampak putus asa, seperti seorang wanita tua dan anak kecil yang ketakutan disaat yang bersamaan.
“Artie tidak ada di foto itu.” Kata Ibuku, “Ranjang ada disana, balok-balok kayu ada disana. Shane pun disana. Tapi... makhluk yang duduk disampingnya. Dia bukan Artie. Dia bukan manusia. Dia adalah kebencian yang tak seharusnya ada. Rasa kemanusiaan tak bisa... aku tak bisa menunjukkannya pada siapapun... aku tak bisa...”
Dia berpaling untuk mengusap matanya, air mata mengalir membasahi wajahnya. Aku tak bisa bertanya lebih jauh lagi. Pun dia pikir penggambaran wujud makhluk yang dia pikir Artie akan membuatku takut atau dia tak tau kata yang tepat untuk menggambarkannya. Aku tak pernah menyinggungnya lagi. Dia tak melepas pandangannya dariku selama seminggu dan aku tidur dengannya selama dua bulan, khawatir karena sekarang aku tahu apa yang dia takutkan. Tapi makhluk itu tak menemukan kami di La Puente. Aku tak pernah melihat anak kecil berwajah malaikat mengenakan rok polkadot atau remaja berambut merah yang tak bisa merasakan dingin, lagi.
Ibuku meninggal saat aku berusia 22 tahun karena kanker payudara. Mereka terlambat mendeteksi penyakitnya; kankernya telah menyebar dan kemo tak bisa membantunya. Aku memindahkan semua barang-barangnya ke fasilitas penyimpanan. Sehari setelah pemakamannya, aku duduk di lantai di unit penyimpananku, dikelilingi oleh kenangan-kenangan tentangnya lalu melihat foto-foto disana. Ratusan foto, mungkin bahkan ribuan.
Aku menyewa apartemen, mendapat pekerjaan, lulus tes Akuntan Umum Berijazah (CPA : Certified Public Accountant). Empat tahun kemudian aku jatuh cinta pada seorang pria yang bekerja di seberang gedung di firma periklanan. Dua tahun setelahnya, kami menikah dan membeli rumah di Glendale. Lalu akhir februari, aku hamil anak pertama. Tepatnya bulan depan aku akan melahirkan seorang bayi laki-laki.
Aku tak pernah bercerita pada suamiku soal kisah Ibuku, atau Shane, atau makhluk-makhluk yang berubah wujud dan menguntit keluargaku. (makhluk-makhluk? Bisa jadi jumlah mereka lebih dari satu). Aku bingung sekarang, apalagi sebentar lagi kami akan menjadi orangtua tapi... Jujur saja, aku tak tau harus bagaimana. Suamiku bukan tipe orang yang percaya takhayul. Mungkin dia akan berasumsi bahwa Ibuku yang membunuh Shane dan bilang bahwa kecenderungan membunuh bukan sifat genetis yang diturunkan.
Tapi ada alasan kenapa aku menulis ini sekarang. Kenapa aku mempublikasikan pada orang asing di luar sana untuk meresapinya, aku harap ada seseorang yang mampu memberiku penjelasan yang aku butuhkan. Karena makhluk—yang mengambil saudaraku, membuat ayahku bunuh diri, menyiksa ibuku, berpura-pura jadi “Katie” dan “Zoe” untuk menarikku—masih ada disini.
Dua malam lalu, aku pulang ke rumah sekitar jam 9. Suamiku sedang pergi. Saat aku meraih sakelar lampu, aku nyaris jatuh gara-gara menginjak sesuatu yang kecil dan keras. Menyalakan lampu, aku melihat sesuatu yang mengejutkan. Balok-balok kayu. Aku berlutut. Benda itu semacam balok-balok alfabet, yang dimainkan anak kecil. Salah satu yang dekat denganku berhuruf “B”, diukir dengan indah dan dihias. Pada empat sisi permukaannya terdapat gambar-gambar—Banana, Butterfly, flowers, dan seekor anjing kecil (Beagle?).
Sambil menahan nafas, kukumpulkan balok-balok kayu tersebut. Ada delapan buah balok. N, I, U, B, M, A, J, E. Semuanya dengan gambar yang indah. Berwarna biru, merah, hijau atau kuning. Yang pasti itu bukan milik kami. Terimakasih untuk cerita Ibu, aku bisa mengenalinya setelah beberapa detik.
BEnJAMIN
Benjamin. Nama yang kami pilih untuk calon anak kami. Kami belum memberitahukannya pada siapapun, bahkan iparku. Jantungku berdebar, aku melesat keluar menutup pintu dibelakangku dan mengunci diri di dalam mobil. Aku duduk sebentar disana, dengan nafas terengah-engah. Memaksa otakku untuk berpikir mengenai penjelasan yang lebih masuk akal. Mungkin itu hadiah dari suamiku, kau tau, sebuah kejutan. Tapi balok-balok kayu itu. Mereka jelas-jelas serupa dengan balok yang ibuku ceritakan dulu. Tak ada duanya, satu-satunya. Yang hancur oleh peristiwa kebakaran 30 tahun yang lalu.
Teleponku berdering. Aku tak kenal nomor siapa. Kujawab panggilan itu, suaraku bergetar. Rupanya Sergio dari pihak fasilitas penyimpanan Rent-A-Box. Unit penyimpananku, dimana aku menyimpan seluruh barang-barang Ibuku, tiba-tiba terbakar tanpa sebab yang jelas. Semuanya hancur. Dengan tangan yang gemetar hebat, aku menyetir menuju tempat itu. Sebuah truk pemadam kebakaran terparkir didepan, tapi bangungan Rent-A-Box masih berdiri. Berdasarkan keterangan Sergio—pihak keamanan berbadan pendek dan botak—api sudah dipadamkan jadi hanya unitku yang hancur. Rupanya, blok sinder yang membagi tembok per unit yang menyelamatkannya.
Bingung dan takut, aku minta untuk diizinkan melihat unitku. Semua foto-foto Ibu—foto-foto yang merekam pertumbuhanku—semuanya hancur. Aku melihat ke dalam ruangan yang menghitam dan ber-abu itu, mati-matian menahan air mataku. Lalu, jauh di pojok kiri, aku melihat sesuatu. Sebuah lembaran kecil kertas tebal.
“Aneh.” Ucap Sergio. “Benda itu tak ada disana 10 menit yang lalu.”
Aku memungut benda aneh itu. Sebuah foto. Lumayan usang—jika dilihat dari kualitas gambarnya—dengan ujung-ujung yang terbakar. Sepertinya aku hanya mendapat setengah dari bagian foto; sementara sisanya telah hilang dan menyisakan retakan abu. Foto itu menampakkan seorang bocah lelaki bermain balok-balok kayu. Balok-balok yang identik dengan yang kutemukan di ruang tamuku. Balok-balok yang—ketika aku kembali pulang beberapa jam kemudian—telah menghilang secara misterius. Padahal pintu rumah terkunci dan semua bagian rumah nampak tak tersentuh.
Bocah di foto itu berumur sekitar 5 tahun mengenakan celana setinggi perut dan jenis pakaian yang populer di era 80-an. Rambut keriting, kulit sehitam kopi, rahang persegi dan sepasang mata lebar yang sama persis sepertiku di usia yang sama. Dia sedang tersenyum. Tertawa. Melihat sisi kanannya, pada seseorang yang bagian fotonya telah terbakar. Sebuah bayangan yang ganjil nampak mengenai tubuhnya.
Aku mengamati foto itu beberapa lama. Aku tau dia Shane, dan aku pun tau sesuatu tak terlihat yang duduk di sebelahnya adalah makhluk yang berpura-pura jadi “Artie”. Yang aku belum mengerti benar adalah bagaimana foto itu tiba-tiba ada disana, padahal ibuku telah membakarnya jadi abu 30 tahun yang lalu, setelah melihat bentuk bayangan apapun itu yang membuatnya gila.
Detail terakhir yang aku kenali—sebelum foto itu berubah jadi abu di tanganku—balok-balok yang tersusun di depan Shane itu membentuk sebuah kata. Angka “0” dan huruf “S”, “O” dan “N”.
SO0N.

Tidak ada komentar: