THE
BURNED PHOTO – PART II
(Foto
yang Hangus)
Credit
to—NickyXX
Originally
translated by—RainiLa
Bibiku
mengantar Shane keesokan harinya. Ibu tak ingin memberitau Shane soal nenek
sampai dia pulang, jadi dia bisa tidur dan meredam emosinya, serta Ibu bisa
menemukan cara yang tepat untuk menjelaskan perihal kematian pada anak berumur 5 tahun.
Dia terus mencari cara untuk menyampaikan hal itu pada anaknya dan masih belum
menemukan cara yang tepat sampai kakekku—ayah dari ayahku—mengantarnya pulang
jam 2.30 siang. Jadi Ibu langsung saja mengutarakan perasaannya, tanpa bisa
membendung air mata.
Shane
melihatnya, dengan tatapan kosong.
“Oh,
baiklah.” Katanya, “Artie diluar. Bisakah kami bermain sekarang?”
Ibu
tak percaya.
“Apa
kau bercanda?” teriaknya. “Nenek meninggal. Yang benar saja, hanya beramin yang
kau pikirkan sekarang ini?”
Shane
mengerutkan dahi. Dia nampaknya mengerti kalau ibunya sedang marah saat ini,
tapi tak mengerti kenapa. Ekspresi bingungnya membuat Ibu agak tenang. Shane
mencoba mengerti, Ibu kembali sadar.
“Baiklah.”
Katanya, lebih tegas. “Tapi hari ini, katakan pada Artie aku akan mengantarnya
pulang dan bicara pada ibunya. Dia terlalu sering kesini dan aku tak berpikir
dia memberi pengaruh baik untukmu. Kita akan berbicara lebih serius tentang hal
ini lain kali.”
Shane
tidak bereaksi. Jika ancaman Ibu untuk menjauhkannya dari temannya berefek pada
sisi emosinya, dia sama sekali tak menunjukkannya. Satu tatapan yang dia beri
hanya tatapan memelas, bukan kekecewaan. Hanya tatapan memelas yang biasa dan
kosong. Seperti yang ditunjukkan oleh para pengemis yang meminta perubahan.
Tanpa kata, dia berjalan ke pintu belakang dan membiarkan Artie masuk. Lalu,
berbaris seperti tentara, bocah-bocah itu berjalan ke kamar Shane dan menutup
pintunya.
Ibu
duduk di sofa dan menangis. Tapi akhirnya, kelelahan fisik dan emosinya selama
24 jam menyerbunya, dan dia nyaris terlalu lelah untuk mengeluarkan airmata.
Jadi, dia bersandar dan menutup matanya selama semenit, lalu dua menit, lalu...
Matanya
terbuka secara tiba-tiba. Ruangan disekitarnya gelap. Dia lihat jam di VCR,
menunjukkan pukul 6 malam. Dia tertidur hampir 3 jam. sesuatu
membangunkannya—suara tabrakan atau suara gedebuk, keributan yang berasal dari
tempat yang tak jauh dari sini. Anak-anak?
Dia
pergi ke pintu Shane dan memutar knob pintu, perlahan membukanya. Bisa dia
lihat Shane duduk bersila diatas ranjang, di sudut jauh dari pintu. Dia sedang
berbicara dengan suara rendah pada seseorang yang berada di seberang ujung
ranjangnya, diluar jangkauan pandang Ibu. Ibu membuka pintu agak sedikit lebih
lebar, memperlihatkan kaki dengan kain birunya. Anak itu terkikik. Dia Artie,
tentu saja. siapa lagi?
CRACK!
Ibu
melihet sekitar. Suara itu lagi, dan pati bukan berasal dari dua bocah itu.
suara itu nampaknya datang dari ruang laundry. Dia berbalik, dia mendengar
pintu Shane menutup.
“Jim?”
Panggilnya. Walau dia tau tak mungkin itu Ayahku—Ayah udah pergi ke bandara
sekitar tengah malam pada malam ssebelumnya.
BHUK..
BHUK.. BHUK..
Ibu
makin ketakutan. Dia akan emmanggil 911, tapi tak mungkin suara-suara berisik
yang mungkin datang dari basement cukup untuk membuat polisi kesini. Alih-alih,
dia memeriksa pintu depan dan lalu pintu belakang. Dua-duanya terkunci. Hanya
ada satu pintu di basement dan tak ada pintu keluar, jadi jika ada seseorang
dibawah sana, mereka harus diam-diam melewatinya saat dia tidur di sofa. Papan
lantai berderik, dia sering terbangun tengah malam karena Jim atau Shane yang
mengambil seelas air di dapur.
Dia
berjinjit menuju pintu ruang laundry. Mengambil
nafas dalam-dalam, dia memutar knob pintu dan menyalakan lampu.
Ruanan
itu masih seperti semula—seember sikat lalu Jim dan Shane jeans di lantai
disamping mesin cuci, sebuah botol detergent diatas pengering dengan lampu yang
terlepas. Dia melihat ke bawah, ke arah pintu perangkap yang mengarah ke
basement. Tertutup. Dan grendel pintunya masih terpasang.
Grendel
pintu masih utuh. Pintu perangkap terkunci dari luar.
Ibu
merasakan gelombang kepanikan. Bahkan jika si penyusup berencana
mengendap-endap saat dia tertidur, tak mungkin dia pergi ke basement dan
mengunci pintu dibelakangnya. Jadi kemungkinan itu hanya tikus.
Memutar
matanya, menertawakan ketakutannya sendiri yang tak berdasar, dia membuka
grendel pintu dan turun ke bawah. Saat dia merasakan kakinya mendarat di tangga,
dia menarik tali yang akan membuat lampu menyala. Sebuah lampu kuning temaram
bersinar menerangi gudang yang begitu berantakan.
Artie
berdiri di bawah tangga.
Ibu
menjerit dan tersandung, berusaha menahan tubuhnya di pembatas. Mata biru Artie
menyala; kulitnya nampak berpendar dari dalam. Bocah itu menatapnya. Menatapnya
dengan tatapan mengerikan, ganjil, penuh dendam yang sama dengan yang dia
perlihatkan saat Ibu mengikutinya beberapa hari sebelumnya.
“Artie!
Sayang, bagaimana kau...” Gagapnya, suaranya meninggi dan gemetaran.
Tatapan
Artie melunak jadi senyuman. Senyum terlebar yan pernah Ibu lihat pada seorang
anak lelaki. Pada saat hari pertama libur musim panas. Saat pagi hari di hari
natal. Hanya saja tak ada kesan malaikat di senyumnya. Hanya ada kegilaan dalam
tatapan matanya.
Lalu
Ibu menyadari sesuatu yang membuat tungkainya lemas dan perutnya mual.
Jika
Artie dibawah sini, lalu siapa yang bersama Shane...
Ibu
berlari. Ke lantai atas, naik ke pintu perangkap, keluar dari ruang laundry,
menuju kamar anaknya. Dia dbrak pintu kamar Shane.
Kamar
Shane kosong. Semuanya nampak seperti semula sebelum Shane pulang dari sekolah.
Satu-satunya yang menunjukkan kamar ini pernah dimasuki adalah dua lekukan
kecil diatas selimut.
Dia
membuka pintu lemari dan mengintip di bawah ranjang. Dia membuka jendela yang
memperlihatkan taman belakang dan meneriakkan nama anaknya. Lalu, gemetaran dan
peluh membasahi sekujur tubuhnya, dia berlari lagi ke ruang laundry. Ini pasri
bercanda. Dia melihat sesuatu. Bocah-bocah itu pasti telah menggodanya. Pintu
basement masih terbuka lebar dan lampu masih menyala. Dia hentak tubuhnya masuk
ke lubang segiempat itu dan melihat sekitar saat sampai disana.
Artie
sudah pergi. atau mungkin bersembunyi. Dia turun menuju lantai dibawahnya.
Kakinya mendarat ke atas sesuatu yang kecil dan keras, nyaris terpeleset.
Nampak sebuah balok kayu yang diukir membentuk sebuah abjad ada disana.
Salah
satu balok kayu milik Shane. Dia berlutut untuk memeriksa. Huruf “U”. Unicorn,
Umbrella, Unicycle, Unibrow.
Ada
lebih banyak balok kayu lagi, tersebar disana. Mungkin mereka membentuk sebuah
kata sebelum Ibu merusaknya. Semuanya berjumlah tujuh balok. E, I, O, N, M, W,
U. Seperti anak kecil yang bermain permainan kata, ibuku duduk bersila di
lantai dan mengamati huruf-huruf itu.
NO
WE... I, N, U
NOW
U ME... I
WON
ME... I, U
UNEM...
W, I, O
Sia-sia.
Frustasi, dia mengambil dua balok kayu—U dan M—lalu melemparnya ke lantai.
Mereka memantul dan jatuh dengan posisi terbalik. Nyaris menangis, dia
berguling dan merayap untuk meraih balok-balok itu. Saat itulah dia menyadari
sesuatu.
Huruf
U terbalik, seperti membentuk huruf “n”. Dalam satu set balok kayu, tiap
baloknya hanya mewakili satu huruf. Shane atau Artie atau... dia gemetar... dia
dan menggunakan balok sebagai huruf “N”. Bergetar layaknya hewan yang
ketakutan, dia menyuun balok itu lagi dan mulai dari awal.
Dia
mengetahuinya segera.
MINE
nOW.
Dia
menjerit. Memanggil nama Shane berulang kali, dia mengacak-acak basement,
melempar balok-balok itu kesegala arah, memukul-mukul furniture, merusak tiap
inchi-nya. Ketika hal itu tak menyelesaikan apapun, dia menggeledah seluruh isi
rumah. Dia membuka tiap pintu, melihat tiap sudut tersembunyi semua furniture,
lari ke pintu belakang dan memutar dua kali disana, menangisi anaknya
sejadi-jadinya dalam kegelapan.
Akhirnya,
dia memanggil polisi. Mereka mengirim polisi patroli kesini dan Ibu
menceritakan semuanya. Polisi merasa simpati dan mengerti lalu, sejam kemudian,
lima mobil polisi lebih datang ke daerah ini untuk mencari tanda-tanda
keberadaan bocah-bocah itu. Mereka akan menemukan anaknya, kata mereka paa
Ibuku. Dua anak kecil tak akan bisa lari jauh. Saat Ibu berkata kalau dia tak
pernah bertemu Ibu Artie, polisi nampak terkejut, tapi mereka meyakinkan bahwa
mereka akan memeriksa rumah putih tak terawat dimana Artie lenyap didalamnya.
Para
petugas menawari Ibu tumpangan ke rumah nenek untuk tinggal dengan saudaranya.
Dia bisa istirahat malam ini, lalu datang ke kantor polisi untuk menjawab
pertanyaan esoknya. Selanjutnya, mereka tetap menyusur jalanan dan tetap
memarkir mobil patroli di sekitar rumah, kalau-kalau Shane kembali. Dia mungkin
kembali, kata para polisi. Dia dan teman
kecilnya mungkin saja punya fantasi untuk melarikan diri ke Sesame Street, dan
akan kembali segera setelah merasa lapar atau takut dengan gelap.
Pagi
harinya, Ayahku, yang baru kembali dari Miami tiba di rumah. Satu mobil patroli
maih ada disana. Dua orang polisi yang ditugaskan untuk terus mengawasi berkata
pada Ayah kalau-kalau dia membutuhkan sesuatu, ambil sekarang juga, karena
dalam rentang waktu 30 menit lagi, rumah ini akan jadi tempat adegan kriminal.
Ayah
tak pernah keluar. Para polisi tak mendengar teriakan.
Ibuku
duduk di ruang interogasi dengan eorang pelukis saat dia ditangkap. Pelukis itu
selesai menggambar wajah Artie. Gambarnya cukup bagus, tapi ada... sesuatu yang
kurang. Matanya kurang tepat dan dia menyadari dia tak bisa menggambarkan
bagaimana senyumnya. Senyum jahat dan gila itu. Mereka memborgol ibuku dimeja.
Bonnie
Ibanez, kau ditanggap atas pembunuhan terhadap Shane Ibanez.
Beberapa
jam kemudian nampak buram. Dia di bekuk, diambil sidik jarinya, di foto;
diantara isakan, teriakan dan permohonan pada seseorang untuk menjelaskan
padanya apa yang telah terjadi. Akhirnya, dia berakhir di ruang interogasi yang
sama, kali ini dengan tangan yang diborgol di balik punggungnya, menghadapi
tatapan-tatapan tajam para petugas kepolisian. Ibu memohon, Ibu menangis,
polisi itu membentak, Ibu—bercerita melalui ancaman dan usaha polisi untuk
menindas Ibuku—mencerna apa yang terjadi pada anak semata wayangnya.
Jim
Ibanez, suaminya, kembali ke rumah kira-kira jam 10.30 pagi. para petugas
polisi ada disana, setelah memeriksa ID-nya, dia diperbolehkan mengambil apapun
yang dia perlukan selama 15 menit. 30 menit kemudian, saat dia tak kunjung
muncul, para polisi menyusulnya ke dalam. Pintu menuju ruang laundry terbuka,
pintu basement juga terbuka, dan lampu basement menyala. Jim ada di sofa. Darah
menggenangi kakinya, disekitar sebuah pusau dapur tajam. Dia menyayat
pergelangan tangannya sendiri. Dia telah meninggal.
Para
polisi, setelah memanggil paramedis dan memanggil bantuan, lalu memeriksa
rumah.
Di
dalam ruang basement, setengah tertutup oleh selimut kain perca diatas tempat
tidur bayi usang, mereka menemukan tubuh dingin dan kaku Shane Ibanez. Sepuluh
jari tangan, sepuluh jari kaki, tak ada sayatan, tak ada tulang patah, tak ada
tanda-tanda perlawanan atau luka sedikitpun.
Kecuali
potongan yang rapi dan bersih di lehernya.
Mereka
tak pernah menemukan kepalanya.
Waktu
kematiannya dipastikan sekitar jam 6.30 malam di malam sebelumnya. Orang
terakhir yang melihatnya masih hidup, selain ibunya sendiri, adalah kakeknya,
yang mengantarnya pulang sekitar jam 3. Hanya ada Ibu dan Shane, kata kakeknya.
“Tapi...”
Ibuku gemetar. “Tak mungkin. Aku mencarinya dimanapun. Kalian semua di rumah
kemarin. Dia tak ada disana.”
“Mungkin.”
Kata si Polisi. “Tapi kita tidak memeriksanya dengan hati-hati, kan?”
“Artie,”
Ibu berbisik.
Polisi
tertawa lebar.
“Kau
terus berkata begitu.” Dia mengejek. “Tapi kami tak punya bukti Artie pernah
ada.”
“Tapi
rumah itu” Kata Ibu. “Aku melihatnya mausk ke rumah putih kecil yang aku
tunjukkan padamu.”
“Maksudmu
rumah Nyonya Myrtle Anderson? Janda, 75 tahun, tinggal sendiri, tidak menyetir,
tak punya cucu di daerah itu, tak pernah ada anak yang cocok dengan
deskripsimu.”
“Tapi
dia...”
“Dua
hari lalu. Kau bilang pada kami. Dia sedang menonton TV di kamarnya saat itu.
Tak ada yang keluar ataupun masuk.”
“Faktanya.”
Lanjut polisi itu dengan suara datar. “Tak ada satupun dari tetanggamu yang
pernah melihat anak itu. Berdasarkan pencarian kami, tak ada yang namanya
Artie—atau Arthur, atau nama lain yang bisa di singkat menjadi Artie—tinggal di
sekitaran lingkunganmu.”
“Orang-orang
melihatnya!” Ibuku bersikeras. “Ibuku menjaga mereka tiap waktu. Dan suamiku
bertemu dengannya.”
“Mereka
meninggal.” Dia mencemooh.
Hari-hari
berlalu. Pelukis yang menggambar wajah Artie tiap malam muncul di berita,
tersiar di seluruh Miami, memperlihatkan pada siapapun yang tinggal pada jarak
3 mil dari rumah. Tidak satupun persembunyian ataupun sehelai rambutnya
ditemukan. Nenek, kakek dan bibiku berkata mereka pernah mendengar Shane
menyebut nama Artie, tapi dia seolah-olah bercerita tentang teman khayalannya.
Polisi menyimpulkan bahwa Artie hanyalah bagian dari imajinasi Shane saja, yang
di salahgunakan oleh Ibunya untuk menutupi kejahatannya.
Dua
bibiku menggunakan rumah ibu mereka yang sudah meninggal sebagai jaminan untuk
mengeluarkan ibuku dan menggunakannya sebagai uang jaminan. Dia menyendiri di
kamar anaknya, tidur dengan lampu menyala dan pintu terbuka. Mencoba mencerna
bagaimana tubuh tanpa kepala anaknya secara ajaib bica muncul di basement.
Apakah
pembunuh psikopat telah menculik anaknya, memenggalnya di luar jendela, lalu
mengembalikan tubuhnya segera setelah Ibu keluar? tidak, mustahil. Ada banyak
polisi disana sepanjang malam, tak ada yang masuk ataupun keluar. Dan lagi, dia
melihat Shane. Di kamarnya. Bicara pada Artie. Tapi itu bukan Artie, karena
Artie ada di basement.
Siapa
yang bicara dengan Shane?
Dan
bagaimana Artie bisa berpindah tempat ke basement, melewati grendel yang
terkunci? Kenapa tak ada yang pernah melihatnya kecuali dia, suaminya yang
pertama, ibu dan anaknya? Baju yang selalu dia kenakan, tak pernah kotor, tak
pernah kusut. Ibu yang tak pernah muncul. Rumah dimana dia lenyap ke dalamnya.
Dan pesan di balok kayu.
Balok-balok
kayu. Dia pernah mengambil foto dua bocah itu saat bermain balok kayu.
Buru-buru
dia mengambil rol film untuk di cetak, beryukur karna dia masih menyimpan rol
itu di tas kameranya, dan tas kamera itu ada di mobil bukan di rumahnya, yang
sekarang ada di bawah kendali polisi. Dia membayar ekstra agar fotonya bisa
selesai dalam satu jam saja; satu jam yang dia habiskan untuk mondar-mandir di
sekitar pintu toko. Dia bisa membuktikannya, pikirnya. Membuktikan bahwa Artie
itu nyata. Membuktikan bahwa dia tidak gila. Saat prosesnya sudah selesai dan
dia menerima amplop berisi foto di tangannya, dia menunggu sampai dia sampai di
rumah ibunya, di dalam kamarnya sebelum membuka paket kecil yang akan
menyelamatkannya.
Mereka
menemukan ibu delapan jam kemudian, meringkuk di halaman belakang, cakaran dari
tangannya sendiri nampak memanjang di kedua lengannya, sebuah korek api serta
setumpuk abu ada di dekat kakinya.
Ibu
bilang dia tak ingat apa yang terjadi 6 minggu kemudian. Dia dikurung di salah
satu bilik di institusi kejiwaan, berkomat-kamit dan terkikik. Mereka harus
memasang sarung tangan tinju untuk mencegah dia menyakiti dirinya sendiri. Dia
mulai ada perubahan sekitar tiga minggu kemudian, dia mulai ingat namanya
sendiri, lalu saudara-saudaranya dan akhirnya suaminya lalu anaknya yang
sama-sama telah meninggal.
Dia
tak pernah bercerita pada siapapun soal foto yang telah dia bakar.
Saat
pembebasaannya dari institusi kejiwaan, ibuku menjadi wanita yang bebas sebebas
bebasnya. Polisi menarik semua tuduhannya, terkait dua situasi yang begitu
membingungkan.
Situasi
#1 : Badan Shane menghilang. Suatu hari, badan Shane disimpan di refrigerator
di dalam lab koroner; hari berikutnya tiba-tiba menghilang. Di tempatnya,
terdapat sisa-sisa debu abu-abu. Polisi maupun petugas lab koroner tak mampu
menemukan kemungkinan yang masuk akal. Hanya tiga orang yan punya kartu ID yang
bisa membuka pintu lab; tiga orang yang telah terdaftar. Petugas pemindai tak
ada tanda-tanda pernah mencoba mengakses ruangan itu, berhasil atau gagal. Dan
rekaman keamanan menunukkan bahwa tak seorangpun yang berada di dekat ruangan
saat hal itu terjadi.
Situasi
#2 : Rumah Ibu terbakar. 6 minggu sebelumnya, dua petugas polisi yang
ditugaskan untuk penjagaan tempat kejadian perkara mencium bau asap. Basement
itu terbakar. Secara ganjil, lidah api menjalar begitu cepat, segera melahap
seluruh bagian rumah. Penyebab munculnya api tak bsia ditemukan, dugaan
pembakaran secara sengaja atau masalah listrik tidak cocok. Untung saja, api
tidak menyebar. Ajaib sekali dua rumah di sebelahnya tidak ikut terlalap api,
kata petugas pemadam kebakaran. Mungkin akibat kelembaban udara.
Itu
sebuah kebetulan, telah disepakati, bahwa api nampak mulai menyambar tepat saat
Ibuku membakar foto Shane dan Artie yang tengah bermain balok kayu.
Tak
ada korban, tanpa motif, timeline yang dipertanyakan dan banyak kemungkinan
potensial akan munculnya asap, polisi tak bisa melakukan apapun selain
membebaskan Ibuku dan menyembunyikan kasus ini rapat-rapat sebagai sebuah kasus
misteri yang tak terpecahkan atau sebuah tindakan langsung dari Tuhan. Tentu
saja, bukan berarti Ibu bebas dari masalah. Polisi, yang khawatir dengan
kepanikan massa, memberitahu alasan yang lebih masuk akal mengenai insiden itu,
termasuk menghilangnya jasad Shane. Jadi, Ibu dihakimi oleh pers. Keluarga
ayahku tak mau punya urusan dengannya. Saudara-saudaranya bersumpah jika mereka
percaya padanya, tapi mereka bersikeras untuk menjual rumah ibu mereka secepat
mungkin. Saat sudah terjual, jauh dibawah harga pasaran, mereka membagi
keuntungannya jadi tiga. Lalu, hampir secara mendadak, kedua saudara Ibuku
meninggalkan kota dan mengubah nomer telpon mereka. Ibu tak lagi bicara pada
mereka setelahnya.
Dia
tak bisa tinggal di Miami. Walaupun dia
tidak dipandang dengan tatapan jijik dan bisikan-bisikan jahat, ataupun ajakan
berkelahi, tiap kali dia keluar dari hotelnya yang lusuh, kota itu tak
memberinya harapan apapun. Semua orang yang dia sayang telah pergi. dia melihat
wajah anaknya yang meninggal tiap dia
menutup mata, dan pemandangan tempat kesukaannya; McDonald’s atau taman yang
biasa dia kunjungi saat bermain sewaktu balita hanya menambah rasa nyeri di ulu
hatinya. Dia banyak tidur, menghabiskan waktu dengan menonton opera sabun
murahan, tak pernah sekalipun mematikan lampu di meja disamping ranjangnya.
Disamping lampu, dia biasa meletakkan sebotol obat tidur. Dia akan memandang
botol saat dia menutup mata dan saat dia bangun, biasanya saat tengah hari dan biasanya
berjam-jam lamanya, dia berharap bahwa dia bisa menghabiskan obat itu dengan
sekali tenggak hingga dia kehilangan ingatannya.
Tapi
tak bisa. Saat dia sudah kembali waras dan keluar dari institusi kejiwaan,
dokter menolak memberinya tylenol untuk meredakan sakit kepalanya yang hebat.
Karena dia sedang mengandung delapan bulan.
Sesegera
mungkin dia pindah, mempersiapkan mobilnya dan pergi ke lintas negara menuju
Ohio. Dia membayar seseorang untuk membuat passport dan SIM palsu dengan nama
Elizabeth Johnson. Dia mendapat apartemen kecil untuk disewa. Dia investasikan
sebagian uang asuransinya untuk memulai bisnis fotrografi. Lalu kemudian aku
lahir dan kami pindah ke rumah kecil di Cleveland.
“Tapi,
Bu,” Aku bertanya padanya, “Apa yang salah dengan foto itu? Foto yang kau
bakar—kenapa tak kau perlihatkan pada polisi dan membuktikan bahwa Artie memang
nyata?”
Saat
itu, dia menarik nafas panjang dan menutup matanya. Ujung matanya perlahan jadi
gelap. Dia nampak putus asa, seperti seorang wanita tua dan anak kecil yang
ketakutan disaat yang bersamaan.
“Artie
tidak ada di foto itu.” Kata Ibuku, “Ranjang ada disana, balok-balok kayu ada
disana. Shane pun disana. Tapi... makhluk yang duduk disampingnya. Dia bukan
Artie. Dia bukan manusia. Dia adalah kebencian yang tak seharusnya ada. Rasa
kemanusiaan tak bisa... aku tak bisa menunjukkannya pada siapapun... aku tak
bisa...”
Dia
berpaling untuk mengusap matanya, air mata mengalir membasahi wajahnya. Aku tak
bisa bertanya lebih jauh lagi. Pun dia pikir penggambaran wujud makhluk yang
dia pikir Artie akan membuatku takut atau dia tak tau kata yang tepat untuk
menggambarkannya. Aku tak pernah menyinggungnya lagi. Dia tak melepas
pandangannya dariku selama seminggu dan aku tidur dengannya selama dua bulan, khawatir
karena sekarang aku tahu apa yang dia takutkan. Tapi makhluk itu tak menemukan
kami di La Puente. Aku tak pernah melihat anak kecil berwajah malaikat
mengenakan rok polkadot atau remaja berambut merah yang tak bisa merasakan
dingin, lagi.
Ibuku
meninggal saat aku berusia 22 tahun karena kanker payudara. Mereka terlambat
mendeteksi penyakitnya; kankernya telah menyebar dan kemo tak bisa membantunya.
Aku memindahkan semua barang-barangnya ke fasilitas penyimpanan. Sehari setelah
pemakamannya, aku duduk di lantai di unit penyimpananku, dikelilingi oleh
kenangan-kenangan tentangnya lalu melihat foto-foto disana. Ratusan foto,
mungkin bahkan ribuan.
Aku
menyewa apartemen, mendapat pekerjaan, lulus tes Akuntan Umum Berijazah (CPA :
Certified Public Accountant). Empat tahun kemudian aku jatuh cinta pada seorang
pria yang bekerja di seberang gedung di firma periklanan. Dua tahun setelahnya,
kami menikah dan membeli rumah di Glendale. Lalu akhir februari, aku hamil anak
pertama. Tepatnya bulan depan aku akan melahirkan seorang bayi laki-laki.
Aku
tak pernah bercerita pada suamiku soal kisah Ibuku, atau Shane, atau
makhluk-makhluk yang berubah wujud dan menguntit keluargaku. (makhluk-makhluk?
Bisa jadi jumlah mereka lebih dari satu). Aku bingung sekarang, apalagi
sebentar lagi kami akan menjadi orangtua tapi... Jujur saja, aku tak tau harus
bagaimana. Suamiku bukan tipe orang yang percaya takhayul. Mungkin dia akan
berasumsi bahwa Ibuku yang membunuh Shane dan bilang bahwa kecenderungan
membunuh bukan sifat genetis yang diturunkan.
Tapi
ada alasan kenapa aku menulis ini sekarang. Kenapa aku mempublikasikan pada orang
asing di luar sana untuk meresapinya, aku harap ada seseorang yang mampu
memberiku penjelasan yang aku butuhkan. Karena makhluk—yang mengambil
saudaraku, membuat ayahku bunuh diri, menyiksa ibuku, berpura-pura jadi “Katie”
dan “Zoe” untuk menarikku—masih ada disini.
Dua
malam lalu, aku pulang ke rumah sekitar jam 9. Suamiku sedang pergi. Saat aku
meraih sakelar lampu, aku nyaris jatuh gara-gara menginjak sesuatu yang kecil
dan keras. Menyalakan lampu, aku melihat sesuatu yang mengejutkan. Balok-balok
kayu. Aku berlutut. Benda itu semacam balok-balok alfabet, yang dimainkan anak
kecil. Salah satu yang dekat denganku berhuruf “B”, diukir dengan indah dan
dihias. Pada empat sisi permukaannya terdapat gambar-gambar—Banana, Butterfly,
flowers, dan seekor anjing kecil (Beagle?).
Sambil
menahan nafas, kukumpulkan balok-balok kayu tersebut. Ada delapan buah balok.
N, I, U, B, M, A, J, E. Semuanya dengan gambar yang indah. Berwarna biru,
merah, hijau atau kuning. Yang pasti itu bukan milik kami. Terimakasih untuk
cerita Ibu, aku bisa mengenalinya setelah beberapa detik.
BEnJAMIN
Benjamin.
Nama yang kami pilih untuk calon anak kami. Kami belum memberitahukannya pada
siapapun, bahkan iparku. Jantungku berdebar, aku melesat keluar menutup pintu
dibelakangku dan mengunci diri di dalam mobil. Aku duduk sebentar disana,
dengan nafas terengah-engah. Memaksa otakku untuk berpikir mengenai penjelasan
yang lebih masuk akal. Mungkin itu hadiah dari suamiku, kau tau, sebuah
kejutan. Tapi balok-balok kayu itu. Mereka jelas-jelas serupa dengan balok yang
ibuku ceritakan dulu. Tak ada duanya, satu-satunya. Yang hancur oleh peristiwa
kebakaran 30 tahun yang lalu.
Teleponku
berdering. Aku tak kenal nomor siapa. Kujawab panggilan itu, suaraku bergetar.
Rupanya Sergio dari pihak fasilitas penyimpanan Rent-A-Box. Unit penyimpananku,
dimana aku menyimpan seluruh barang-barang Ibuku, tiba-tiba terbakar tanpa
sebab yang jelas. Semuanya hancur. Dengan tangan yang gemetar hebat, aku
menyetir menuju tempat itu. Sebuah truk pemadam kebakaran terparkir didepan,
tapi bangungan Rent-A-Box masih berdiri. Berdasarkan keterangan Sergio—pihak
keamanan berbadan pendek dan botak—api sudah dipadamkan jadi hanya unitku yang
hancur. Rupanya, blok sinder yang membagi tembok per unit yang
menyelamatkannya.
Bingung
dan takut, aku minta untuk diizinkan melihat unitku. Semua foto-foto
Ibu—foto-foto yang merekam pertumbuhanku—semuanya hancur. Aku melihat ke dalam
ruangan yang menghitam dan ber-abu itu, mati-matian menahan air mataku. Lalu,
jauh di pojok kiri, aku melihat sesuatu. Sebuah lembaran kecil kertas tebal.
“Aneh.”
Ucap Sergio. “Benda itu tak ada disana 10 menit yang lalu.”
Aku
memungut benda aneh itu. Sebuah foto. Lumayan usang—jika dilihat dari kualitas
gambarnya—dengan ujung-ujung yang terbakar. Sepertinya aku hanya mendapat
setengah dari bagian foto; sementara sisanya telah hilang dan menyisakan
retakan abu. Foto itu menampakkan seorang bocah lelaki bermain balok-balok
kayu. Balok-balok yang identik dengan yang kutemukan di ruang tamuku.
Balok-balok yang—ketika aku kembali pulang beberapa jam kemudian—telah
menghilang secara misterius. Padahal pintu rumah terkunci dan semua bagian
rumah nampak tak tersentuh.
Bocah
di foto itu berumur sekitar 5 tahun mengenakan celana setinggi perut dan jenis pakaian
yang populer di era 80-an. Rambut keriting, kulit sehitam kopi, rahang persegi dan
sepasang mata lebar yang sama persis sepertiku di usia yang sama. Dia sedang
tersenyum. Tertawa. Melihat sisi kanannya, pada seseorang yang bagian fotonya
telah terbakar. Sebuah bayangan yang ganjil nampak mengenai tubuhnya.
Aku
mengamati foto itu beberapa lama. Aku tau dia Shane, dan aku pun tau sesuatu
tak terlihat yang duduk di sebelahnya adalah makhluk yang berpura-pura jadi
“Artie”. Yang aku belum mengerti benar adalah bagaimana foto itu tiba-tiba ada
disana, padahal ibuku telah membakarnya jadi abu 30 tahun yang lalu, setelah
melihat bentuk bayangan apapun itu yang membuatnya gila.
Detail
terakhir yang aku kenali—sebelum foto itu berubah jadi abu di
tanganku—balok-balok yang tersusun di depan Shane itu membentuk sebuah kata.
Angka “0” dan huruf “S”, “O” dan “N”.
SO0N.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar