Sabtu, 15 Juni 2013

[Cerita Terjemahan] Bedtime III : My Fears Realised



Bedtime III : My Fears Realised
Rating: 8.6/10 (135 votes cast)

Credit ToMichael Whitehouse
Originally translated byRain


Take Out With Full Credit !!!

Beberapa hari yang lalu aku menulis dua cerita menyeramkan yang terjadi saat aku masih kecil di akun “Pengalaman Mengerikan”, akan lebih baik jika kau membacanya dengan serius agar kau memahami apa yang telah terjadi padaku. Aku dipaksa untuk tetap diam, dicekam oleh perasaan takut yang tak masuk akal—yang entah bagaimana masih tetap ada—bertahun-tahun setelah kejadian itu terjadi. Aku harus bilang, kalau makhluk-makhluk itu akan mencariku dan sekali lagi menimpakan malapetaka ke dalam hidupku.

Demi Ilmu Pengetahuan-alasan mengapa aku menghadapi ketakutan-ketakutan itu, dan mengalahkan kenangan mengerikan itu sekali lagi-dan untuk semuanya, dengan menceritakan kisahku dengan kalian, kan kutunjukkan siapa sebenarnya mereka berdasarkan apa yang aku percayai ; khayalan seorang anak yang bermasalah. Aku selalu berpegang teguh pada ke-skeptis-an dan ke-rasionalitas-anku, aku membiarkan mereka untuk memutuskan siapa aku. Tapi pagi ini aku disuguhi oleh bukti-bukti nyata yang kebenarannya bisa di uji. Bukti tentang sesuatu yang tak aku tau, namun tak bisa di abaikan begitu saja. Terasa aneh bagiku, belakangan ini aku begitu di cekam oleh ketakutan dan kemalangan yang akhirnya di pecah oleh kediamanku, aku tak bisa lagi mengandalkan penjelasan logika yang biasa.

Ketika aku kembali berani untuk menceritakan pengalaman-pengalaman mengerikanku sewaktu kecil, aku seperti diliputi oleh perasaan tak nyaman. Awalnya, aku berpikir kalau perasaan ini timbul karena harus kembali bercerita dan mengenang peristiwa mengerikan itu, tapi makin hari perasaan itu makin terasa ; sebuah perasaan mengenai kematian memenuhi pikiranku.

Saat aku tertidur pikiran seperti itu selalu berputar-putar. Tiap aku bangun di pagi hari, kegelisahanku memuncak, seolah-olah tak cukup beristirahat selama bertahun-tahun. Pada beberapa malam pertama, tak ada yang benar-benar menakutkan, tak ada kunjungan, tak ada teman-yang-tak-diundang, tak ada keretak nafas yang berasal dari tembok kamarku, tapi aku punya perasaan bahwa aku tak sendirian.

Jangan salah sangka, aku tak merasakan ada orang lain di kamarku. Aku tidak mendengar, mencium atau merasakan apapun yang berbau supranatural. Tapi hampir tiap hari aku merasakan sesuatu yang sangat halus, hampir diluar batas kesadaranku ; perasaan bahwa sesuatu sedang berjalan, sesuatu tengah datang, seperti udara kencang di terowongan kereta bawah tanah yang menandai bahwa kereta akan segera lewat, sesuatu yang kuat ; mengejutkan, dan tak terduga.

Makin hari perasaan tak nyaman itu semakin kuat, menggerogoti hingga ke bawah kulitku, jauh ke dalam pikiranku, hampir seperti gerogotan kanker. Ku coba untuk fokus pada beberapa proyek tulisan, sebagai upaya sia-sia agar pikiranku teralihkan. Berharap agar pikiranku tak menyisakan satu ruang kecil untuk kenangan mengerikan itu, tapi pada akhirnya pikiran-pikiran itu tetap tak mau hilang.

Kegelisahan membuatku tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Aku harus melakukan sesuatu! Aku belajar Psikologi di Universitas selama bertahun-tahun, dari sinilah aku tau jika kegelisahan seringkali timbul sebagai akibat hilangnya kendali atas diri. Salah satu cara untuk menghilangkan kegelisahan adalah dengan mengendalikan diri sendiri—mengatasi ketakutan itu sendiri ; inilah yang ingin aku lakukan. Sebut aku bodoh, aku akan kembali ke tempat itu, rumah dimana kejadian mengerikan itu terjadi. Aku berniat untuk melawan kenangan itu dan membuktikan siapa mereka sebenarnya ; yaitu hanya sebuah omong kosong.

1 jam perjalanan menuju rumah lamaku, perasaanku didisi dengan kegembiraan. Aku sangat percaya diri, tenang, bahagia ; aku bisa mengendalikan diriku sekarang dan tak ada satupun yang mampu menghalangiku untuk pergi ke tempat yang telah memberiku ketakutan sepanjang hidupku, dan membuktikan bahwa itu hanyalah rumah bisa di pinggiran kota kecil, dan tidak berbahaya.

Dengan gembira aku melewati jalan pedesaan lalu kemudian jalan tol, akhirnya aku sampai ke kota. Secara perlahan jalan itu mulai nampak akrab di mataku. Kenangan ketika aku bermain disana muncul di otakku ; taman bermain dengan  tempat seluncur favoritku, sebuah lapangan dimana kami sering bermain bola disana, lapangan sekolah yang kami gunakan untuk bermain petak umpet dan persahabatan yang lama tertinggal, tapi tak pernah terlupakan.

Pikiranku melayang, memikirkan kenangan-kenangan itu, seperti anak kecil yang sedang berjalan di jalan pulang ; aku terlalu banyak mengenang masa lalu, hingga tak sadar aku telah sampai di jalan dimana rumahku berada. Jalan itu sangat panjang, mengerucut hingga hilang di kejauhan, di tikungan. Tempat ini merupakan lingkungan tua, telah lama di bangun jauh sebelum ada mobil ; jelas sekali dari sempitnya jalan yang menimbulkan perasaan klaustrofobia, seolah-olah rumah di setiap sisi menjadi hidup, dan mengawasi gerak-gerik siapapun yang lewat.

Ku perlambat kecepatan mobilku dan mengamati tiap rumah yang aku lewati. Tempat yang seragam, semua rumah nampak sama. Jantungku mulai berdetak lebih cepat saat udara dingin merambati punggungku ; itu dia, itu adalah rumahku! Sekarang hampir sore, dan jalanan sangat lengang, hampir sepenuhnya sepi. Aku memandang tempat kecil itu, berpikir bagaimana rumah seperti itu bisa memberikan ketakutan yang luar biasa padaku.

Awalnya aku berniat melihat rumah itu dari jauh, meyakinkan diriku bahwa benda itu hanya tumpukan beton, tak berbahaya, dan tak ada hal ghab disini. Saat aku berhenti, aku mengambil nafas panjang, sebelum aku sadar aku sudah berada di luar mobil, berjalan menuju gerbang metal usang, salah satu gerbang yang berbentuk bunga kini telah menghitam dimakan usia, cat hijaunya pun telah mengelupas, hanya menampakkan karat-karatnya yang tebal. Ku gerakkan jemariku di atas permukaannya yang tak rata, dengan satu sentakan halus, gerbang itupun terbuka.

Berjalan sepanjang jalan, aku terkejut melihat betapa terlantarnya kebun itu. Aku berpikir berapa banyak rumput mati disana, dimana semuanya tertutup oleh mosaik tebal gulma dan tumbuhan merambat lainnya. Ketika aku makin dekat dengan ambang rumah, aku menyadari kenapa tempat ini begitu berantakan ; rumah ini kosong. Sekali lagi aku bergidik ngeri. Tapi saat kecemasanku mulai muncul, aku menghancurkannya dengan mantraku :

“Penjelasan yang paling sederhana biasanya adalah yang paling benar.”

Aku pikir seharusnya dengan kondisi ekonomi saat ini, rumah ini pastilah pernah dijual beberapa kali, dan mungkin saja pemilik rumah ini tak terlalu peduli dengan penampilan rumah. Namun saat aku melihat sekeliling, aku sama sekali tak melihat papan bertuliskan “Di Jual” atau “Disewakan”. Seakan-akan rumah ini memang sengaja di telantarkan, ditiinggalkan, dan dibiarkan rusak..

Jendela di bagian depan rumah sagat kotor, hampir mstahil untuk bisa melihat kedalam melalui jendela itu.  Tapi saat aku melihat-lihat bagian belakang rumah, aku bisa melihat bagian dalam degan jelas. Aku bisa membayangkan jika rumah seperti ini pastilah kosong, namun sebaliknya, rumah ini ada isinya, dipenuhi oleh berbagai bentuk kehidupan modern. Aku bisa melihat televisi di pojok ruang tamu, sebuah meja kopi dengan koran tergeletak di atasnya, bermacam-macam perabotan yang siap digunakan, dan dua cangkir kopi di samping jendela nampak masih utuh,dan tertutup jamur. Aku akan berpikir jika rumah ini pastilah berpenghuni jika bukan karena tumpukan debu tebal dan jaring laba-laba di sana –sini.

Nampak seolah-olah jika penghuni terakhir meninggalkan rumah ini dengan terburu-buru, dan tak pernah kembali.

Meringsek melalui rerumputan tinggi dan semak-semak, aku sampai di salah satu jendela kecil di bagian belakang rumah. Jendela itu membuatku takut, hanya karena mengingat  kenangan masa lalu, dan bukan karena aku sedang di intai dari dalam seperti apa yang telah terjadi saat aku kecil. Aku mengintip ke dalam, ruangan itu nampak familiar dengan kesan yang menyeramkan. Seharusnya disana ada ruangan kecil, menyempit dengan ganjil, tapi melalui jendela kaca berdebu ini aku pikir kamar itu tak banyak berubah sejak terakhir kali aku tidur disana. Sebuah tempat tidur, satu set laci, dan apa yang terlihat sebagai macam-macam mainan di lantai.

kemarahan mendalam melanda selama beberapa saat, dengan cepat aku membuang rasa itu jauh-jauh. Jelas jika ini adalah kamar anak kecil, dan pikiran bahwa makhluk itu menakut-nakuti anak kecil lain membuatku gusar, dalam hati ada keinginan untuk melindungi anak-anak lain dari kekejian yang serupa.

Saat aku melihat dinding, dimana sebuah tempat tidur terletak disampingnya, bulu kuduk di leherku meremang. Untuk sesaat (dan hanya sekejap) aku pikir aku telah melihat selimut diatas tempat tidur itu bergerak. Lebih dari itu, melalui panel jendela, aku bersumpah jika aku mendengar suara desahan. Ku pejamkan mataku rapat-rapat, aku mengucapkan mantra sains yang lain:

“Sains tidak berhutang pada imajinasi.”

Kubuka mataku, aku tak melihat apapun kecuali tempat tidur kosong. Tak ada roh menyeramkan, tak ada hal-hal ghaib ; hanya ruang kosong, tak lebih dan tak kurang. Aku menarik nafas lega, menyadari bahwa semuanya baik-baik saja. Kau mungkin berpikir kalau itu hanya harapan semata, namun aku telah melihat sendiri bahwa tak ada apapun yang harus di takutkan. Itu hanya khayalanku yang kelewat aktif.

Langit sudah mulai gelap, aku ingin sampai di rumah sebelum malam tiba. Kini aku sangat percaya diri karena aku mengalahkan kegelisahanku. Ada satu hal terakhir yang harus aku lakukan. Saat kami harus meninggalkan rumah itu, kami pergi dengan terburu-buru. Sebagai seorang anak kecil, hal itu sangat membingungkan, bahkan menakutkan untuk meninggalkan semua yang aku tau. Tapi ada satu hal yang masih membuatku bertanya-tanya.

Di tepi bawah taman berdiri pohon sikamor yang bahkan terlihat lebih tua daripada rumah itu sendiri. Aku terkejut betapa pohon itu sama sekali tak berubah. Aku telah tumbuh, dan pindah ke tempat yang baru. Tapi sikamor tua tu masih berdiri, bijaksana, hangat, dan penampilannya nyaris ramah.

Ku pikir pohon itu pastilah tempat bagi beberapa anak untuk menyembunyikan sesuatu. Seringkali untuk menyimpan pengalaman pertama mereka menjadi mandiri—sesuatu yang akan hilang apabila berada di tangan figur-figur otoriter. Bagiku, “simpanan”ku ada di sikamor tua. Aku pasti terlihat sagat bodoh, tapi dengan senang hati aku memanjat pohon itu sebebasnya. Susunan cabang pohon telah berubah di beberapa tempat. Tapi keseluruhan kenangan indah ketika bermain dengan sikamor tua dan memiliki sepotong kecil kehidupanku sendiri, nampak sangat luar biasa, mengingat betapa mereka tak banyak berubah.

Setengah jalan ke atas, aku mengambil nafas sejenak dan tersenyum pada diri sendiri. Di tengah batang pohon terdapat sebuah lubang. Mungkin di buat oleh binatang, atau bisa saja timbul akibat batang rapuh yang patah, dan meninggalkan bekas seperti ini. Aku tak yakin. Inilah tempat dimana aku menyimpan sesuatu. Jika aku menemukan sesuatu yang aku yakin akan diambil dariku karena “tidak pantas” untuk ku simpan, maka aku akan menyimpan barang itu ke lubang ini. Faktanya, sebagian besar benda yang aku simpan disini tak terlalu menarik, sebagian besar hanya mainan dan beberapa barang selundupan seperti ketapel atau bom asap. Aku tak punya alasan untuk menyembunyikan mainan, tapi saat aku masih kecil, kupikir keren mempunyai sedikit rahasia.

Lubang itu sangat gelap, setengahnya terisi oleh dedaunan busuk. Tak diragukan lagi, dedaunan itu teronggok disana selama beberapa musim gugur terakhir. Aku merogoh kedalam untuk melihat apa yang masih tersisa disana. Aku tak percaya! Aku menemukan mainan yang aku sembunyikan sebelum kami pindah, bertahun-tahun yang lalu! Aku bisa merasakan benda plastik di tanganku, sangat jelas dengan garis tepinya yang tajam, tapi banyaknya daun dan gelapnya lubang menghalangi penglihatanku. Aku berusaha menyingkirkan beberapa tumpukan daun dan air hujan. Mainan itu nampaknya tertindih oleh tumpukan ranting kecil.

Alasan kenapa aku sangat gembira adalah bahwa ketika aku pindah, aku meninggalkan salah satu mainan favoritku ; sebuah mainan plastik Tentara Inggris dari Perang Dunia Pertama.  Terdengar tak terlalu menarik memang, tapi aku tumbuh di lingkungan keluarga dengan cerita turun-menurun mengenai pengalaman kakekku selama perang dunia, sementara dia telah meninggal sebelum aku lahir. Aku sering bermain peran dengan versi berlebihan menggunakan tentara kecil ini sebagia pahlawannya : Kakekku yang Pemberani. Saat itu, ku pikir lubang ini merupakan tempat yang sempurna bagi tentara untuk bersembunyi.

Kesenanganku, tiba-tiba berubah jadi horror. Aku merasa mual saat menarik tentara itu keluar. Aku sadar itu bukan mainanku, tapi sesuatu yang lain. Di masukkan ke dalam lubang diantara tumpukan lumpur, dan sekarang benda itu di tanganku. Itu adalah sisa kerangka hewan-hewan kecil. Tulang belulang itu tergenggam ke dalam tanganku, bersama sisa-sisa daging dan rambut yang menempel di atasnya, membusuk di sela-sela jariku. Aku hampir ambruk mencium bau busuk dan kematian.

Aku turun perlahan, kesal. Tak ada apapun di lubang pohon, mainanku telah hilang, barangkali di ambil oleh anak kecil pada tahun-tahun berikutnya. Aku mengubur sisa-sisa dari hewan mati itu di taman.

Aku segera meinggalkan tempat itu.

Mengabaikan penemuanku di lubang itu, aku masih sangat percaya diri. Bahwa aku punya keberanian untuk mengunjungi tempat itu lagi, dan membuktikan bahwa tak ada apapun disana. Hal itu membuatku perasaanku stabil. Aku tak membutuhkan apapun, kecuali penjelasan rasional.

Ku ucapkan selamat tinggal pada tempat itu, dan untuk semua kenangan buruk di dalamnya. Akupun pulang. Saat aku sampai di jalan tol, sesuatu mulai merasuki alam bawah sadarku. Awalnya aku tak terlalu peduli, menganggapnya sebagai imajinasi belaka. Tapi saat cahaya terakhir padam dan menghilang di garis horison, aku merasakan tekanan dalam diriku. Sebuah pikiran buruk muncul. Tidak rasional, tak ada suara langkah kaki, tapi satu yang harus diikuti, intinya...

Aku harus pulang!

Aku menambah kecepatan mobil, sesekali menyalip mobil yang berjalan pelan didepan, sambil melihat ke belakang melalui kaca spion, mengamati apapun yang mungkin mengikuti di belakang.

Aku harus pulang!

Lagi-lagi aku menyetir dengan kencang, sesekali melihat kebelakang, seolah-olah sedang balapan dengan pengejar tak terlihat : 70, 80, 100 mil/jam! Aku menangis sepanjang jalan, aku mengumpat, aku berteriak, keringat mengucur di wajahku. Apa yang terjadi padaku?

Tolong, biarkan aku pulang!

Akhirnya aku bisa keluar dari jalan tol meuju jalan pedesaan yang mengarah langsung ke kotaku. Jalanan begitu sempit dan berlubang, pedesaan yang suram dan tak menyenangkan. Kegelapan nampak menyelimuti jalanan di depanku. Aku menyalakan lampu sorot dan menarik nafas lega lantaran bisa melihat cahaya lagi, walaupun hanya cahaya buatan. Kegelisahan yang tadinya menyergapku di jalan tol nampaknya sudah agak berkurang. Meskipun begitu, aku masih sering menengok ke belakang hanya untuk memastikan bahwa tak ada siapapun yang mengikutiku.

Pikiran yang konyol! Berpikir bahwa sesuatu sedang memburuku! Membuat diri sendiri dan orang lain dalam bahaya karena menyetir dengan kecepatan tinggi di jalanan padat... Gila!

Tetap saja, gila atau tidak, aku harus pergi secepat mungkin. Meskipun aku bisa mengontrol kegelisahanku, keheningan jalan ini membuatku rindu dengan kotaku, dengan jalanku, dan tempat tidurku!

Dengan gugup, aku melintasi jalanan serupa jaring yang berliku di sepanjang pedesaan. Merasa lega melihat tanda-tanda adanya lampu jalan, peradaban dan batas-batas kotaku. Aku berhenti di depan rumah, mematikan mesin, dan duduk sebentar dalam diam. Aku harus segera menghentikan omong kosong ini! Makhluk yang muncul dari dalam dinding, pengintai yang membekapku di malam hari, mengintip dari jendela rumah seseorang seperti pemangsa, semua itu hanyalah kegilaan.

Besok, aku akan memulai semuanya dari awal, tak ada lagi tulisan mengenai pengalaman masa kecil, tak ada lagi kenangan akan rasa takut pada malam hari. semua akan kembali normal, melakukan pekerjaanku, menghabiskan waktu dengan pacarku, dan yang lebih penting dari semuanya, menegaskan kembali kepercayaanku, imanku dan keyakinanku akan sains dan rasionalitas.

Kemudian makhluk di kursi belakang muncul, meraih bahuku dan meniupkan nafas busuknya, nafas anyir yang keluar dari dalam paru-parunya tersembur ke tengkuk leherku.

Aku meraba-raba gagang pintu, lenganku menyenggol sekitar untuk mencari kunci pintu. Ketakutan menyergapku, membuatku gemetar ; ketakutan yang terlalu jelas untukku ingat, sebuah ketakutan yang muncul betahun-tahun lalu, terjaga di malam hari di ruangan yang memuakkan. Udara di dalam mobil semakin dingin, tapi tak sebanding dengan jari-jari dingin yang meraba bahuku.

Aku benar-benar berpikir aku akan mati, makhluk ini akhirnya berhasil mendapatkanku setelah sekian lama.

Dalam kepanikan akhirnya aku menemukan gagang pintu, lalu aku jatuh dari kursi pengemudi ke atas trotoar. Untuk sesaat aku pikir ada sesuatu di kursi belakang ; samar-samar, satu sosok seorang pria tua, dengan seringai gila yang memanjang dari telinga satu ke telinga yang lain. Untungnya tak ada siapapun disana. Jika ada, aku pasti sudah dianggap gila, padahal mobil itu sama sekali kosong. Aku memungut kunci mobil, menendang pintu agar terbuka dengan kakiku, lalu mengunci pintu.

Aku berjalan terhuyung-huyung ke dalam rumah. Aku tak akan berbohong padamu, tapi aku sengaja mabuk agar bisa tertidur semalam. Kau mungkin ingat bahwa aku berkata aku punya bukti, bukti fisik nyata akan sesuatu yang tidak natural. Kau mungkin bertanya-tanya apa bukti nyata itu. Baiklah, aku bisa katakan kalau bukti itu adalah tanda di bahuku yang membuatku diliputi oleh ketakutan, atau aku bisa memberitahumu kalau jendela kamarku terbuka secara mengejutkan pagi ini oleh sesuatu yang nampak seperti kuku-kuku tajam, hal itu benar-benar membuatku mati ketakutan malam ini, atau yang lain. Tapi tidak, tak ada satupun yang membuatku takut selain apa yang aku lihat hari ini saat aku bangun.

Kadangkala suatu pesan yang paling menakutkan adalah hal yang paling sederhana. Sesuatu tergeletak di dadaku saat aku bangun, itu adalah sebuah tentara mainan, tentara mainan yang aku sembunyikan di lubang pohon bertahun-tahun yang lalu ; dikembalikan padaku saat aku dewasa, dalam keadaan digigit setengahnya.

...

Tidak ada komentar: