Bedtime III : My Fears Realised
Rating: 8.6/10 (135 votes cast)
Credit To – Michael
Whitehouse
Originally
translated by—Rain
Take Out With Full Credit !!!
Beberapa
hari yang lalu aku menulis dua cerita menyeramkan yang terjadi saat aku masih
kecil di akun “Pengalaman Mengerikan”, akan lebih baik jika kau membacanya
dengan serius agar kau memahami apa yang telah terjadi padaku. Aku dipaksa
untuk tetap diam, dicekam oleh perasaan takut yang tak masuk akal—yang entah
bagaimana masih tetap ada—bertahun-tahun setelah kejadian itu terjadi. Aku harus
bilang, kalau makhluk-makhluk itu akan mencariku dan sekali lagi menimpakan malapetaka
ke dalam hidupku.
Demi
Ilmu Pengetahuan-alasan mengapa aku menghadapi ketakutan-ketakutan itu, dan
mengalahkan kenangan mengerikan itu sekali lagi-dan untuk semuanya, dengan
menceritakan kisahku dengan kalian, kan kutunjukkan siapa sebenarnya mereka
berdasarkan apa yang aku percayai ; khayalan seorang anak yang bermasalah. Aku
selalu berpegang teguh pada ke-skeptis-an dan ke-rasionalitas-anku, aku
membiarkan mereka untuk memutuskan siapa aku. Tapi pagi ini aku disuguhi oleh
bukti-bukti nyata yang kebenarannya bisa di uji. Bukti tentang sesuatu yang tak
aku tau, namun tak bisa di abaikan begitu saja. Terasa aneh bagiku, belakangan
ini aku begitu di cekam oleh ketakutan dan kemalangan yang akhirnya di pecah
oleh kediamanku, aku tak bisa lagi mengandalkan penjelasan logika yang biasa.
Ketika
aku kembali berani untuk menceritakan pengalaman-pengalaman mengerikanku
sewaktu kecil, aku seperti diliputi oleh perasaan tak nyaman. Awalnya, aku
berpikir kalau perasaan ini timbul karena harus kembali bercerita dan mengenang
peristiwa mengerikan itu, tapi makin hari perasaan itu makin terasa ; sebuah
perasaan mengenai kematian memenuhi pikiranku.
Saat
aku tertidur pikiran seperti itu selalu berputar-putar. Tiap aku bangun di pagi
hari, kegelisahanku memuncak, seolah-olah tak cukup beristirahat selama
bertahun-tahun. Pada beberapa malam pertama, tak ada yang benar-benar
menakutkan, tak ada kunjungan, tak ada teman-yang-tak-diundang, tak ada keretak
nafas yang berasal dari tembok kamarku, tapi aku punya perasaan bahwa aku tak
sendirian.
Jangan
salah sangka, aku tak merasakan ada orang lain di kamarku. Aku tidak mendengar,
mencium atau merasakan apapun yang berbau supranatural. Tapi hampir tiap hari
aku merasakan sesuatu yang sangat halus, hampir diluar batas kesadaranku ;
perasaan bahwa sesuatu sedang berjalan, sesuatu tengah datang, seperti udara
kencang di terowongan kereta bawah tanah yang menandai bahwa kereta akan segera
lewat, sesuatu yang kuat ; mengejutkan, dan tak terduga.
Makin
hari perasaan tak nyaman itu semakin kuat, menggerogoti hingga ke bawah
kulitku, jauh ke dalam pikiranku, hampir seperti gerogotan kanker. Ku coba untuk
fokus pada beberapa proyek tulisan, sebagai upaya sia-sia agar pikiranku
teralihkan. Berharap agar pikiranku tak menyisakan satu
ruang kecil untuk kenangan mengerikan itu, tapi pada akhirnya pikiran-pikiran
itu tetap tak mau hilang.
Kegelisahan
membuatku tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Aku harus melakukan sesuatu! Aku belajar
Psikologi di Universitas selama bertahun-tahun, dari sinilah aku tau jika kegelisahan
seringkali timbul sebagai akibat hilangnya kendali atas diri. Salah satu cara
untuk menghilangkan kegelisahan adalah dengan mengendalikan diri sendiri—mengatasi
ketakutan itu sendiri ; inilah yang ingin aku lakukan. Sebut aku bodoh, aku
akan kembali ke tempat itu, rumah dimana kejadian mengerikan itu terjadi. Aku berniat
untuk melawan kenangan itu dan membuktikan siapa mereka sebenarnya ; yaitu hanya
sebuah omong kosong.
1
jam perjalanan menuju rumah lamaku, perasaanku didisi dengan kegembiraan. Aku sangat
percaya diri, tenang, bahagia ; aku bisa mengendalikan diriku sekarang dan tak
ada satupun yang mampu menghalangiku untuk pergi ke tempat yang telah memberiku
ketakutan sepanjang hidupku, dan membuktikan bahwa itu hanyalah rumah bisa di
pinggiran kota kecil, dan tidak berbahaya.
Dengan
gembira aku melewati jalan pedesaan lalu kemudian jalan tol, akhirnya aku
sampai ke kota. Secara perlahan jalan itu mulai nampak akrab di mataku. Kenangan
ketika aku bermain disana muncul di otakku ; taman bermain dengan tempat seluncur favoritku, sebuah lapangan
dimana kami sering bermain bola disana, lapangan sekolah yang kami gunakan untuk
bermain petak umpet dan persahabatan yang lama tertinggal, tapi tak pernah
terlupakan.
Pikiranku
melayang, memikirkan kenangan-kenangan itu, seperti anak kecil yang sedang
berjalan di jalan pulang ; aku terlalu banyak mengenang masa lalu, hingga
tak sadar aku telah sampai di jalan dimana rumahku berada. Jalan itu sangat
panjang, mengerucut hingga hilang di kejauhan, di tikungan. Tempat ini
merupakan lingkungan tua, telah lama di bangun jauh sebelum ada mobil ; jelas
sekali dari sempitnya jalan yang menimbulkan perasaan klaustrofobia,
seolah-olah rumah di setiap sisi menjadi hidup, dan mengawasi gerak-gerik
siapapun yang lewat.
Ku perlambat kecepatan mobilku dan mengamati tiap rumah yang aku lewati. Tempat
yang seragam, semua rumah nampak sama. Jantungku mulai berdetak lebih cepat
saat udara dingin merambati punggungku ; itu dia, itu adalah rumahku! Sekarang hampir
sore, dan jalanan sangat lengang, hampir sepenuhnya sepi. Aku memandang tempat
kecil itu, berpikir bagaimana rumah seperti itu bisa memberikan ketakutan yang
luar biasa padaku.
Awalnya
aku berniat melihat rumah itu dari jauh, meyakinkan diriku bahwa benda itu
hanya tumpukan beton, tak berbahaya, dan tak ada hal ghab disini. Saat aku
berhenti, aku mengambil nafas panjang, sebelum aku sadar aku sudah berada di
luar mobil, berjalan menuju gerbang metal usang, salah satu gerbang yang
berbentuk bunga kini telah menghitam dimakan usia, cat hijaunya pun telah
mengelupas, hanya menampakkan karat-karatnya yang tebal. Ku gerakkan jemariku
di atas permukaannya yang tak rata, dengan satu sentakan halus, gerbang itupun
terbuka.
Berjalan
sepanjang jalan, aku terkejut melihat betapa terlantarnya kebun itu. Aku berpikir
berapa banyak rumput mati disana, dimana semuanya tertutup oleh mosaik tebal
gulma dan tumbuhan merambat lainnya. Ketika aku makin dekat dengan ambang
rumah, aku menyadari kenapa tempat ini begitu berantakan ; rumah ini kosong. Sekali
lagi aku bergidik ngeri. Tapi saat kecemasanku mulai muncul, aku
menghancurkannya dengan mantraku :
“Penjelasan
yang paling sederhana biasanya adalah yang paling benar.”
Aku
pikir seharusnya dengan kondisi ekonomi saat ini, rumah ini pastilah pernah
dijual beberapa kali, dan mungkin saja pemilik rumah ini tak terlalu peduli
dengan penampilan rumah. Namun saat aku melihat sekeliling, aku sama sekali tak
melihat papan bertuliskan “Di Jual” atau “Disewakan”. Seakan-akan rumah ini
memang sengaja di telantarkan, ditiinggalkan, dan dibiarkan rusak..
Jendela
di bagian depan rumah sagat kotor, hampir mstahil untuk bisa melihat kedalam
melalui jendela itu. Tapi saat aku
melihat-lihat bagian belakang rumah, aku bisa melihat bagian dalam degan jelas.
Aku bisa membayangkan jika rumah seperti ini pastilah kosong, namun sebaliknya,
rumah ini ada isinya, dipenuhi oleh berbagai bentuk kehidupan modern. Aku bisa
melihat televisi di pojok ruang tamu, sebuah meja kopi dengan koran tergeletak
di atasnya, bermacam-macam perabotan yang siap digunakan, dan dua cangkir kopi
di samping jendela nampak masih utuh,dan tertutup jamur. Aku akan berpikir jika
rumah ini pastilah berpenghuni jika bukan karena tumpukan debu tebal dan jaring
laba-laba di sana –sini.
Nampak
seolah-olah jika penghuni terakhir meninggalkan rumah ini dengan terburu-buru,
dan tak pernah kembali.
Meringsek
melalui rerumputan tinggi dan semak-semak, aku sampai di salah satu jendela
kecil di bagian belakang rumah. Jendela itu membuatku takut, hanya karena
mengingat kenangan masa lalu, dan bukan
karena aku sedang di intai dari dalam seperti apa yang telah terjadi saat aku
kecil. Aku mengintip ke dalam, ruangan itu nampak familiar dengan kesan yang
menyeramkan. Seharusnya disana ada ruangan kecil, menyempit dengan ganjil, tapi
melalui jendela kaca berdebu ini aku pikir kamar itu tak banyak berubah sejak
terakhir kali aku tidur disana. Sebuah tempat tidur, satu set laci, dan apa
yang terlihat sebagai macam-macam mainan di lantai.
kemarahan
mendalam melanda selama beberapa saat, dengan cepat aku membuang rasa itu
jauh-jauh. Jelas jika ini adalah kamar anak kecil, dan pikiran bahwa makhluk
itu menakut-nakuti anak kecil lain membuatku gusar, dalam hati ada keinginan
untuk melindungi anak-anak lain dari kekejian yang serupa.
Saat
aku melihat dinding, dimana sebuah tempat tidur terletak disampingnya, bulu
kuduk di leherku meremang. Untuk sesaat (dan hanya sekejap) aku pikir aku telah
melihat selimut diatas tempat tidur itu bergerak. Lebih dari itu, melalui panel
jendela, aku bersumpah jika aku mendengar suara desahan. Ku pejamkan mataku
rapat-rapat, aku mengucapkan mantra sains yang lain:
“Sains
tidak berhutang pada imajinasi.”
Kubuka
mataku, aku tak melihat apapun kecuali tempat tidur kosong. Tak ada roh menyeramkan,
tak ada hal-hal ghaib ; hanya ruang kosong, tak lebih dan tak kurang. Aku menarik
nafas lega, menyadari bahwa semuanya baik-baik saja. Kau mungkin berpikir kalau
itu hanya harapan semata, namun aku telah melihat sendiri bahwa tak ada apapun
yang harus di takutkan. Itu hanya khayalanku yang kelewat aktif.
Langit
sudah mulai gelap, aku ingin sampai di rumah sebelum malam tiba. Kini aku
sangat percaya diri karena aku mengalahkan kegelisahanku. Ada satu hal terakhir
yang harus aku lakukan. Saat kami harus meninggalkan rumah itu, kami pergi
dengan terburu-buru. Sebagai seorang anak kecil, hal itu sangat membingungkan,
bahkan menakutkan untuk meninggalkan semua yang aku tau. Tapi ada satu hal yang
masih membuatku bertanya-tanya.
Di
tepi bawah taman berdiri pohon sikamor yang bahkan terlihat lebih tua daripada
rumah itu sendiri. Aku terkejut betapa pohon itu sama sekali tak berubah. Aku telah
tumbuh, dan pindah ke tempat yang baru. Tapi sikamor tua tu masih berdiri,
bijaksana, hangat, dan penampilannya nyaris ramah.
Ku
pikir pohon itu pastilah tempat bagi beberapa anak untuk menyembunyikan
sesuatu. Seringkali untuk menyimpan pengalaman pertama mereka menjadi mandiri—sesuatu
yang akan hilang apabila berada di tangan figur-figur otoriter. Bagiku, “simpanan”ku
ada di sikamor tua. Aku pasti terlihat sagat bodoh, tapi dengan senang hati aku
memanjat pohon itu sebebasnya. Susunan cabang pohon telah berubah di beberapa
tempat. Tapi keseluruhan kenangan indah ketika bermain dengan sikamor tua dan
memiliki sepotong kecil kehidupanku sendiri, nampak sangat luar biasa,
mengingat betapa mereka tak banyak berubah.
Setengah
jalan ke atas, aku mengambil nafas sejenak dan tersenyum pada diri sendiri. Di tengah
batang pohon terdapat sebuah lubang. Mungkin di buat oleh binatang, atau bisa
saja timbul akibat batang rapuh yang patah, dan meninggalkan bekas seperti ini.
Aku tak yakin. Inilah tempat dimana aku menyimpan sesuatu. Jika aku menemukan sesuatu
yang aku yakin akan diambil dariku karena “tidak pantas” untuk ku simpan, maka
aku akan menyimpan barang itu ke lubang ini. Faktanya, sebagian besar benda
yang aku simpan disini tak terlalu menarik, sebagian besar hanya mainan dan
beberapa barang selundupan seperti ketapel atau bom asap. Aku tak punya alasan
untuk menyembunyikan mainan, tapi saat aku masih kecil, kupikir keren mempunyai
sedikit rahasia.
Lubang
itu sangat gelap, setengahnya terisi oleh dedaunan busuk. Tak diragukan lagi,
dedaunan itu teronggok disana selama beberapa musim gugur terakhir. Aku merogoh
kedalam untuk melihat apa yang masih tersisa disana. Aku tak percaya! Aku menemukan
mainan yang aku sembunyikan sebelum kami pindah, bertahun-tahun yang lalu! Aku bisa
merasakan benda plastik di tanganku, sangat jelas dengan garis tepinya yang
tajam, tapi banyaknya daun dan gelapnya lubang menghalangi penglihatanku. Aku berusaha
menyingkirkan beberapa tumpukan daun dan air hujan. Mainan itu nampaknya
tertindih oleh tumpukan ranting kecil.
Alasan
kenapa aku sangat gembira adalah bahwa ketika aku pindah, aku meninggalkan
salah satu mainan favoritku ; sebuah mainan plastik Tentara Inggris dari Perang
Dunia Pertama. Terdengar tak terlalu
menarik memang, tapi aku tumbuh di lingkungan keluarga dengan cerita
turun-menurun mengenai pengalaman kakekku selama perang dunia, sementara dia
telah meninggal sebelum aku lahir. Aku sering bermain peran dengan versi
berlebihan menggunakan tentara kecil ini sebagia pahlawannya : Kakekku yang
Pemberani. Saat itu, ku pikir lubang ini merupakan tempat yang sempurna bagi
tentara untuk bersembunyi.
Kesenanganku,
tiba-tiba berubah jadi horror. Aku merasa mual saat menarik tentara itu keluar.
Aku sadar itu bukan mainanku, tapi sesuatu yang lain. Di masukkan ke dalam
lubang diantara tumpukan lumpur, dan sekarang benda itu di tanganku. Itu adalah
sisa kerangka hewan-hewan kecil. Tulang belulang itu tergenggam ke dalam tanganku,
bersama sisa-sisa daging dan rambut yang menempel di atasnya, membusuk di
sela-sela jariku. Aku hampir ambruk mencium bau busuk dan kematian.
Aku
turun perlahan, kesal. Tak ada apapun di lubang pohon, mainanku telah hilang,
barangkali di ambil oleh anak kecil pada tahun-tahun berikutnya. Aku mengubur
sisa-sisa dari hewan mati itu di taman.
Aku
segera meinggalkan tempat itu.
Mengabaikan
penemuanku di lubang itu, aku masih sangat percaya diri. Bahwa aku punya keberanian
untuk mengunjungi tempat itu lagi, dan membuktikan bahwa tak ada apapun disana.
Hal itu membuatku perasaanku stabil. Aku tak membutuhkan apapun, kecuali
penjelasan rasional.
Ku
ucapkan selamat tinggal pada tempat itu, dan untuk semua kenangan buruk di
dalamnya. Akupun pulang. Saat aku sampai di jalan tol, sesuatu mulai merasuki
alam bawah sadarku. Awalnya aku tak terlalu peduli, menganggapnya sebagai
imajinasi belaka. Tapi saat cahaya terakhir padam dan menghilang di garis
horison, aku merasakan tekanan dalam diriku. Sebuah pikiran buruk muncul. Tidak
rasional, tak ada suara langkah kaki, tapi satu yang harus diikuti, intinya...
Aku
harus pulang!
Aku
menambah kecepatan mobil, sesekali menyalip mobil yang berjalan pelan didepan,
sambil melihat ke belakang melalui kaca spion, mengamati apapun yang mungkin
mengikuti di belakang.
Aku
harus pulang!
Lagi-lagi
aku menyetir dengan kencang, sesekali melihat kebelakang, seolah-olah sedang
balapan dengan pengejar tak terlihat : 70, 80, 100 mil/jam! Aku menangis
sepanjang jalan, aku mengumpat, aku berteriak, keringat mengucur di wajahku. Apa
yang terjadi padaku?
Tolong,
biarkan aku pulang!
Akhirnya
aku bisa keluar dari jalan tol meuju jalan pedesaan yang mengarah langsung ke
kotaku. Jalanan begitu sempit dan berlubang, pedesaan yang suram dan tak
menyenangkan. Kegelapan nampak menyelimuti jalanan di depanku. Aku menyalakan
lampu sorot dan menarik nafas lega lantaran bisa melihat cahaya lagi, walaupun
hanya cahaya buatan. Kegelisahan yang tadinya menyergapku di jalan tol
nampaknya sudah agak berkurang. Meskipun begitu, aku masih sering menengok ke
belakang hanya untuk memastikan bahwa tak ada siapapun yang mengikutiku.
Pikiran
yang konyol! Berpikir bahwa sesuatu sedang memburuku! Membuat diri sendiri dan
orang lain dalam bahaya karena menyetir dengan kecepatan tinggi di jalanan
padat... Gila!
Tetap
saja, gila atau tidak, aku harus pergi secepat mungkin. Meskipun aku bisa
mengontrol kegelisahanku, keheningan jalan ini membuatku rindu dengan kotaku,
dengan jalanku, dan tempat tidurku!
Dengan
gugup, aku melintasi jalanan serupa jaring yang berliku di sepanjang pedesaan. Merasa
lega melihat tanda-tanda adanya lampu jalan, peradaban dan batas-batas kotaku. Aku
berhenti di depan rumah, mematikan mesin, dan duduk sebentar dalam diam. Aku harus
segera menghentikan omong kosong ini! Makhluk yang muncul dari dalam dinding,
pengintai yang membekapku di malam hari, mengintip dari jendela rumah seseorang
seperti pemangsa, semua itu hanyalah kegilaan.
Besok,
aku akan memulai semuanya dari awal, tak ada lagi tulisan mengenai pengalaman masa
kecil, tak ada lagi kenangan akan rasa takut pada malam hari. semua akan
kembali normal, melakukan pekerjaanku, menghabiskan waktu dengan pacarku, dan
yang lebih penting dari semuanya, menegaskan kembali kepercayaanku, imanku dan
keyakinanku akan sains dan rasionalitas.
Kemudian
makhluk di kursi belakang muncul, meraih bahuku dan meniupkan nafas busuknya,
nafas anyir yang keluar dari dalam paru-parunya tersembur ke tengkuk leherku.
Aku
meraba-raba gagang pintu, lenganku menyenggol sekitar untuk mencari kunci
pintu. Ketakutan menyergapku, membuatku gemetar ; ketakutan yang terlalu jelas
untukku ingat, sebuah ketakutan yang muncul betahun-tahun lalu, terjaga di
malam hari di ruangan yang memuakkan. Udara di dalam mobil semakin dingin, tapi
tak sebanding dengan jari-jari dingin yang meraba bahuku.
Aku
benar-benar berpikir aku akan mati, makhluk ini akhirnya berhasil mendapatkanku
setelah sekian lama.
Dalam
kepanikan akhirnya aku menemukan gagang pintu, lalu aku jatuh dari kursi
pengemudi ke atas trotoar. Untuk sesaat aku pikir ada sesuatu di kursi belakang
; samar-samar, satu sosok seorang pria tua, dengan seringai gila yang memanjang
dari telinga satu ke telinga yang lain. Untungnya tak ada siapapun disana. Jika
ada, aku pasti sudah dianggap gila, padahal mobil itu sama sekali kosong. Aku memungut
kunci mobil, menendang pintu agar terbuka dengan kakiku, lalu mengunci pintu.
Aku
berjalan terhuyung-huyung ke dalam rumah. Aku tak akan berbohong padamu, tapi aku
sengaja mabuk agar bisa tertidur semalam. Kau mungkin ingat bahwa aku berkata
aku punya bukti, bukti fisik nyata akan sesuatu yang tidak natural. Kau mungkin
bertanya-tanya apa bukti nyata itu. Baiklah, aku bisa katakan kalau bukti itu
adalah tanda di bahuku yang membuatku diliputi oleh ketakutan, atau aku bisa
memberitahumu kalau jendela kamarku terbuka secara mengejutkan pagi ini oleh
sesuatu yang nampak seperti kuku-kuku tajam, hal itu benar-benar membuatku mati
ketakutan malam ini, atau yang lain. Tapi tidak, tak ada satupun yang membuatku
takut selain apa yang aku lihat hari ini saat aku bangun.
Kadangkala
suatu pesan yang paling menakutkan adalah hal yang paling sederhana. Sesuatu tergeletak
di dadaku saat aku bangun, itu adalah sebuah tentara mainan, tentara mainan
yang aku sembunyikan di lubang pohon bertahun-tahun yang lalu ; dikembalikan
padaku saat aku dewasa, dalam keadaan digigit setengahnya.
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar