Senin, 17 Juni 2013

[Cerita terjemahan] Bedtime IV : Something Wicked This Way Comes



Bedtime IV :
Something Wicked This Way Comes
Rating: 8.9/10 (114 votes cast)
Credit to—Michael Whitehouse
Originally Translated by : RainiLa

Please Take Out With Full Credit !!!

Semalam merupakan peristiwa paling mengerikan dalam hidupku. Aku nyaris tak bisa membayangkannya. Sekarang aku akan menceritakan apa yang telah terjadi selama kunjunganku di tempat terkutuk yang aku sebut rumah ; sebuah kunjungan yang membangkitkan kembali ketakutan masa kecilku. Tak peduli hal buruk apapun yang menimpaku, aku sama sekali tak siap menghadapi kejadian tadi malam.
Setelah terbangun dengan keadaan ngeri lantaran melihat mainan tentaraku ada di dadaku, dalam  keadaan tergigit setengahnya. Aku mendapati jendela kamarku terbuka separuh. Seolah-olah telah dibuka dari luar. Grendelnya bengkok ke dalam, tidak berada di tempatnya semula, sepertinya di dobrak dengan paksa.
Dari luar, aku bisa melihat tiga bekas goresan dimana perusak tak diundang itu telah menggunakan semacam alat untuk mencongkel jendela dari engselnya. Yang ganjil dari bekas itu adalah bahwa mereka menggores bagian luar bingkai jendela seperti sebuah pisau tua. Tak seperti linggis atau benda lain yang akan meninggalkan bekas dalam di tempat mereka mencongkel jendela.
Semua benda masih utuh, tak ada yang di curi. Aku mencoba berfikir rasional, bahwa bekas goresan itu buatan manusia, bukan bekas “seperti cakaran” seperti yang terlihat. Tentara mainan, dikembalikan padaku dengan cara yang kasar, tak bisa aku jelaskan. Aku bergidik tiap kali memikirkannya.
Aku tau itu sebuah pesan. Bukan sekedar gurauan sinting. Seperti pesan yang mengumumkan bahwa musuh telah datang; musuh yang sama dengan pemburu yang memburuku saat aku kecil. Bukan puzzle yang harus di pecahkan atau di tafsirkan.
Aku menghabiskan sepagian untuk memeriksa seluruh ruangan beserta isi-isinya ; tak ada yang hilang. Aku hanya bisa berharap, siapapun yang semalam telah duduk di kursi belakang mobil, dia hanya bermaksud menakutiku untuk pertama dan terakhir kalinya, dan setelah itu pergi.
Bisa jadi jangkauannya melemah jika jauh dari kamarku dulu.
Mudah bagi orang waras untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa kejadian traumatis hanyalah sesuatu yang tak berbahaya, tapi tidak dalam hal ini ; mainan rusak itu bukan sekedar gurauan, tapi sebuah janji. Janji bahwa makhluk itu akan kembali, untuk sesuatu yang tak ingin aku tau.
Pikiranku otomatis kembali ke kejadian mengerikan malam itu—saat aku masih kecil. Sekali lagi aku di hadapkan pada ketakutan akan waktu tidur, keinginan akan siang hari, dan kegelisahan pada malam hari. seperti musuh tua yang keras kepala, ketakutanku kian bertambah sepanjang hari. menggerogoti bagian dalam diriku, menimbulkan perasaan aneh dan tak menyenangkan sebagai akibat secara tak sengaja telah mengundang makhluk itu ke dalam rumah.
Jangan salah sangka, ketakutanku bukan semata-mata karena mengkhawatirkan keselamatanku sendiri. Sebagai seorang anak kecil aku percaya bahwa tamu malam itu kesini karena menginginkanku, aku sama sekali tak berpikir jika orang-orang yang aku sayang berada dalam bahaya. Tapi sekarang semua berubah. Aku khawatir. Kali ini aku benar-benar takut karena mengkhawatirkan orang yang aku sayang. Seperti yang kau lihat, aku tak tinggal sendirian.
Pacarku dan aku pindah bersama-sama lebih dari dua tahun yang lalu. aku sudah cukup menyebabkan banyak bencana, jadi aku tak akan menyebutkan namanya. Panggil saja dia “Mary”. Mary dan aku menjalani hidup yang bahagia, kami berdua saling mencintai. Natal pagi itu aku bermaksud melamarnya, tapi momen indah itu telah di rusak oleh makhluk busuk itu.
Aku tau Mary akan pulang sore itu. Dia bekerja di Event and Promotion, sebagai hasilnya dia jarang berada di rumah, bepergian ke kota-kota mengkoordinir berbagai macam pertemuan dan pameran. Aku tak pernah protes, kami sama-sama tau aku tipe orang yang suka menyendiri, terasa menyenangkan sendirian beberapa hari belakangan. Memberiku banyak waktu untuk menulis, menyerap semua huruf tanpa terganggu sedikitpun.
Walau begitu, aku sangat merindukannya. Lebih-lebih dengan kejadian minggu lalu, saat aku mengalami malam-malam yang menyiksa dan membiarkan makhluk-makhluk itu kembali. Aku benar-benar merindukanya, lebih daripada sebelumnya.
Dia kembali sektar jam 6 sore. Aku menyambutnya dengan senyuman, pelukan hangat, dan sebuah ciuman. Kucoba sebisaku untuk menyembunyikan kegelisahanku, tapi Mary kenal aku lebih dari siapapun. Segera ia bertanya:
“Apa ada yang salah?”
Dengan terbata-bata aku menjelaskan bahwa aku menulis cerita tentang pengalaman masa kecilku dan menyelidiki kenangan kelam yang membuatku gelisah. Mary sosok yang penyayang. Ia menjatuhkan  koper dan tasnya ke lantai, mendudukkanku di sofa. Dengan lembut ia memintaku untuk menceritakan semuanya.
Tapi aku tak bisa.
Aku tak bisa menyebut makhluk itu, dia sudah tau jalan menuju rumahku ; penyerbu tak kasat mata dan gila yang tak sengaja kubawa karena kecerobohanku. Saat itu kupikir ia akan menganggapku gila, tapi sekarang aku sangat berharap bisa menceritakan hal yang sebenarnya!
Jika ada hal yang lebih berbahaya ketimbang kebohongan dalam suatu hubungan, itu adalah setengah-kebenaran. Bukan karena itu dusta, tapi hal itu menyembunyikan kebenaran yang utuh ; menyelewengkan keutuhan cerita sesuai dengan kebutuhan si pencerita.
Ku ceritakan padanya setengah-kebenaran.
Kuceritakan kisahku. Tentang makhluk di kamarku dan pengintai di ujung tempat tidurku. Disinilah kebohonganku dimulai. Sengaja aku bilang bahwa itu hanya imajinasiku sebagai anak kecil, dan melewatkan bagian pengalaman mengerikan itu. Aku tau ia akan melihat grendel jendela serta bekas cakaran disana. Aku berbohong, dan menceritakan dongeng luar biasa tentang pencuri yang berusaha mendobrak jendela, dan aku berusaha mengejar mereka.
Sedikit menekankan akulah pahlawannya. Aku berbohong padanya. Dia menunjukkan rasa simpati untuk kebohonganku.
Aku malu. Kebohongan yang memalukan. Jika saja aku bicara jujur, kami bisa menghadapi kegilaan ini bersama-sama. Sebaliknya, makhluk itu mengambil keuntungan dari ketidakjujuranku dan membuat celah antara kami.
Kejadian semalam merusak hal terpenting dalam hidupku.
Malam datang dalam kesuraman, dan tentu saja sangat tak ku harapkan kedatangannya. Aku berbaring di tengah kegelapan, menunggu. Mary tertidur di sampingku, hembusan nafasnya menegaskan bahwa ia bersamaku. Aku tak ingin sendirian, aku tak akan tidur malam ini. Aku tahu dari pengalaman sebelumnya, makhluk itu akan menampakkan dirinya dengan perlahan, mengeratkan cengkramannya padaku di setiap kunjungannya seolah-olah mengulur waktu untuk menghimpun kekuatan ; seperti seekor lintah yang menghisap ketakutanku saat ia butuh.
Aku sangat gelisah, sampai berkali-kali harus melawan serangan kantuk. Pada akhirnya, biologi menang. Saat jam menunjukkan pukul 4 pagi, akupun tertidur ; tertidur pulas, kegelisahanku hilang, kekhawatiran karena kenangan masa lalu lenyap kebawah kasur, akhirnya aku terlelap.
Tidur, tak peduli seberapa nyenyak, jarang yang benar-benar terlelap. Saat aku menunggu untuk bermimpi, sesuatu mulai mengangguku. Sesuatu yang mengancam, dari kejauhan. Perlahan-lahan kubuka mataku, membiarkannya beradaptasi dengan kegelapan. Mary tengah tertidur nyenyak, aku menenangkan diriku sendiri dengan mendengar nafasnya yang teratur. Menghirup dan menghela secara bergantian, lagi dan lagi, teratur, menghipnotis, aku mulai tertidur sekali lagi.
Tapi, tidak. Ada sesuatu yang lain, berbeda tapi samar.
Sangat jauh, terpencil, nyaris gelap atau samar-samar seolah-olah datang dari...bagian belakang sesuatu. Aku menajamkan telingaku untuk menerka-nerka apa itu sebenarnya, tapi disini sangat senyap. Aku diam diatas tempat tidur selama beberapa menit, tapi setelah beberapa detik terdengar suara samar—hampir tak terdengar—seperti pecahan gelas diatas urat yang terbuka.
Aku tak bisa lagi tidur, dengan frustasi memutuskan untuk menyelidiki sumber suara. Aku duduk di tepi tempat tidur, berusaha menajamkan telinga.suara itu berbeda dari suara-suara lain yang pernah ku dengar. Pelan dan rendah.  Saat aku mulai terbiasa dengan suara itu, perlahan ku coba untuk menebak-nebak suara apa itu. Suara itu dihasilkan oleh sesuatu, satu-satunya hal yang aku pikirkan suara itu mirip bisikan yang diucapkan berulang-ulang.
Aku mendengar sesuatu yang sama seperti waktu itu, saat kecil aku pernah  mengunjungi nenek di panti jompo. suatu tempat yang berkesan bagiku. Aku melihat orang-orang berkeliaran dengan linglung dan pikun, dikawal kemana saja seperti tahanan yang hilang, berkali-kali berbisik pada diri sendiri tentang masa lalu mereka, mengulang frase dan kata yang bukan-bukan.
Itulah hal yang mengingatkanku pada suara acak yang terdengar terus-menerus, diucapkan oleh orang yang linglung.
Aku berpaling untuk mengecek Mary, melihat dadanya yang naik-turun tiap ia bernafas. Menegaskan kalau ia tak terganggu. Aku bangkit dari tempat tidur, saat aku berdiri, segera aku tersadar kalau suara bisikan itu makin keras. Saat semua lampu mati, aku selalu membiarkan lampu di ruang depan menyala, sehingga nampak samar merambat dari bawah pintu, dan memudahkanku untuk melihat  sekekliling ruangan dalam cahaya remang-remang.
Aku melihat sekitar, kalau-kalau ada sesuatu yang janggal, tapi tak ada apapun. Pikiranku melayang pada malam itu, sebagai anak yang tidur di kamar kedua, saat suara-suara terdengar dari sesuatu yang tak tampak, namun menimbulkan perasaan tak nyaman.
Aku melangkah ke depan, saat itu juga suara itu bertambah keras. Aku masih bingung dengan suara-suara itu, namun kini aku bisa mengenali karakteristik suara tersebut; tua, digerus oleh usia dengan kejam, sangat rendah. Kata-kata itu diulang-ulang dalam ketakutan, nyaris terdengar bingung, namun suara itu teredam oleh beberapa penghalang yang tak diketahui.
Aku takut, tapi aku mencoba berani demi Mary yang tertidur di kamar. Aku menghirup nafas dalam-dalam , ragu-ragu dan takut, perlahan aku melangkah ke depan, kakiku yang polos di lindungi oleh lantai dingin di bawahnya.
Lagi lagi suara itu bertambah keras. Aku tak yakin, tapi aku bersumpah jika suara itu makin terdengar gelisah saat aku mendekat. Saat aku melangkah lagi, tubuhku benar-benar gemetar mendengar bisikan-bisikan itu makin keras terdengar; diantara suara-suara samar itu, aku mendengar satu kata. Kata yang membuat tulang-belulangku beku. Satu kata yang mengerikan.
Da menyebut namaku.
Ya Tuhan, dia tau namaku! Bagiku seolah-olah dia mengetahui siapa aku. Mungkin aku tak akan pernah bisa lepas darinya. Dia bisa saja membunuhku sewaktu-waktu..
Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu, sebuah gerakan diikuti oleh gesekan baju. Sekarang aku tau darimana suara itu berasal. Kini aku tau kenapa suara itu samar dan susah di pahami. Aku bisa melihatnya sekarang, dia hanya beberapa kaki di depanku.
Berdiri.
Berdiri dibelakang korden yang tertutup.
Sinar bulan terhalang oleh sosoknya, sama sekali tak bisa menembus baju tebalnya. Bisa jadi itu adalah sebagian garis tubuh makhluk yang mengintai di antara jendela dan korden. Aku tak bisa menggambarkan keanehan yang menyergapku. Kegelisahan dan kengerianku bertambah. Tapi keinginan tak biasa muncul.
Aku harus melihat makhluk apa itu.
Aku melangkah hati-hati menuju korden. Korden itu berkibar pelan, seolah-olah tertiup angin. Tapi aku tak yakin, mungkin saja gerakan itu disebabkan olehku sendiri, atau karena gerakan tangan makhluk yang bersembunyi dibaliknya. Kini aku cukup dekat untuk mendengar nafasnya yang berat, perpindahan zat dari belakang kerongkongannya tiap ia bernapas.
Itu dia.
Aku akan menghadapi kejanggalan dari masa laluku, penyiksa ana-anak, bajingan ini. Mengangkat tangan kanan perlahan, secara tak sengaja aku menyentuh kain korden, menyebabkan apapun yang ada dibaliknya mengerang. Aku terkejut. Dari celah kecil itu, hanya sekejap, aku melihatnya.
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menggambarkan apa yang tengah berdiri disana? Bahkan sekarang, aku menutup mata dan berusaha menghapus ingatan itu dari kepalaku. Tubuhku gemetar saat dia mulai berbisik lagi, mengulang-ulang frase samar, seperti campurani beberapa bahasa yang ganjil. Kulit kurusnya membungkus tulang-belulangnya yang rapuh dan menonjol ; tulang belakangnya, tulang rusuknya, dan semua organ inti nyaris menonjol dari kulitnya yang kurus, pucat,berwarna merah muda dan nyaris seperti memar. Dia nampak seperti kekurangan gizi. Perutnya buncit dan tulangnya menonjol, seakan tak ada daging yang tersisa, seolah-olah dia mampu menekan tubuhnya sendiri dengan brutal, sebagai bentuk pertahanan kalau-kalau korbannya melawan.
Perutku terasa mual, bau menyengat memenuhi udara. Ketika ia berbisik dan di tengah kegelapan melalui gigi-giginya yang patah dan rusak. Aku merasa kasihan dengan kemalangannya. Menggigil tengah malam seperti korban kelaparan yang panjang. Cepat-cepat aku menyadarkan diri sendiri, alih-alih di kasihani, makhluk ini lebih pantas ditakuti. Bukan untuk di pahami, tapi di temukan. Dia gemetar bukan karena dingin, tapi bergetar karena rasa gembira, layaknya pecandu yang mengharapkan suntikan obat selanjutnya.
Berdiri disana sambil merenungkan apa yang baru saja aku lihat dibalik korden. Sesuatu menarik perhatianku. Bisikan parau, membingungkan dan tak jelas keluar melalui mulut itu. Dia mengucapkan 3 kata yang paling menakutkan sepanjang hidupku.
“Lihat di belakangmu”.
Satu nafas dingin berhembus di belakang leherku.
 Aku membeku sekian detik, tapi cinta adalah motivator terkuat. Jika aku terus begini, ketakutan akan mencengkeramku dan aku tak akan mampu memikirkan perlawanan apapun, tapi mengingat Mary tertidur di ruang yang sama dengan makhluk itu ; melindungi seseorang yang aku sayangi dari bajingan itu adalah satu-satunya yang aku pikirkan.
Aku menoleh perlahan. Saat aku menoleh, aku bisa mendengar desahan nafasnya yang terengah-engah, dan erangan saat menghirup udara. Saat aku menoleh seperempatnya, aku bisa mencium bau nafasnya, bau anyir menyebar di udara, seperti virus dan sangat busuk. Lalu aku mendengar suara lain. Bukan suara horror di kegelapan, tapi itu adalah suara Mary. teriakannya membuatku sangat terkejut. Teriakan yang akan menghantui seluruh sisa hidupku.
Bergegas aku menoleh dan melihat makhluk itu, tapi dia tak ada di belakangku, dia berada di atas tempat tidur! Dia menggeliat dan menggaruk-garuk, mengerang dengan girang, punggung kurus—sebagai hasil penderitaannya selama bertahun-tahun—menonjol dibawah bajunya yang compang-camping, potongan baju itu menggantung rendah di badannya, usaha yang sangat sia-sia untuk muncul seperti manusia.
Tapi apa benar dia manusia? Apa dia pernah jadi manusia? Atau dia sesuatu yang busuk, hina, dan benar-benar jahat sehingga tak ada satupun laki-laki atau perempuan yang berniat untuk menebak siapa dia?
Aku menghampirinya. Merenggut, menyerang, mendorong makhluk itu dengan seluruh kekuatanku, kulit lenturnya terlepas dari tanganku. Dia mencengkeram dan menekan wajah Mary ke atas bantal dengan girang. Saat lengan yang satunya melengkung, dia merobek baju tidur Mary, jari-jarinya yang panjang dan kasar meraba paksa tubuh polos Mary dengan sentuhan kotornya.
Teriakan Mary teredam oleh bantal saat aku takut kalau ia mulai kehabisan nafas.
Aku berteriak, menjerit, aku memohon agar makhluk itu meninggalkan Mary, dan mengambilku sebagai gantinya, dan melakukan  apapun yang ia inginkan, tapi itu hanya membuat iblis itu makin buas. Dia menyakiti Mary, melukainya...Mary-ku yang cantik
Tiba-tiba makhluk itu berhenti menyerang Mary, tapi ia tetap mencengkeram kepala Mary dengan salah satu tangannya yang kurus. Ia makin menekan wajah Mary ke dalam bantal. Ku arahkan tanganku ke lehernya yang busuk, mencoba sebisaku untuk mencekik makhluk itu, tapi usahaku sia-sia. Tubuh kurus itu menyimpan kekuatan yang besar. Aku tak percaya aku melihat mahluk itu meraba rambut Mary perlahan, nyaris penuh gairah.
Kini aku bisa mendengar suara tulang patah, dan sobekan urat daging.
Terima kasih, Tuhan. Suara itu bukan berasal dari Mary! sekarang aku berada di atas punggung makhluk itu dengan satu tangan melingkari lehernya, dan daguku menggesek kulit bahunya yang kasar. Saat dia menyikut perutku dengan keras, dia memutar kepalanya dengan ganjil. Lehernya berkeretak saat ia menggeliat perlahan, seakan-akan butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk memutar leher itu.
Dia melihatku sekarang.
Aku mendengar dia seringkali menyebut nama beberapa orang yang tak bisa melihat pepohonan di dalam hutan, sekarang aku mengerti perasaan itu, aku sangat ngeri melihat matanya yang hitam dan dingin, aku tak bisa melihat apapun yang memantul dari sana, dan juga sosoknya.
Ku eratkan cengkeramanku, aku berteriak, aku bersumpah akan merobek tenggorokannya jika bisa. tapi nampaknya usahaku sia-sia. Ia terus melayangkan cakar-cakar kurusnya di kepala Mary sambil menatapku.
Aku tak pernah berpikir akan mendengar suara itu lagi—suara yang aku sangka sebuah seringaian; desahan nafas; sebuah dengkuran; suara yang nyaris jahat, dengan kata lain; itu suara tawa.
Saat wajah makhluk itu menyentuh wajahku, matanya menatapku dalam-dalam. Tak ada pantulan apapun disana; dua mata gelap, tanpa cahaya, kebahagiaan maupun cinta. Dia menatapku seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.
Gila.
Dengan gerakan kasar dan terseok-seok, makhluk itu menrontokkan rambut Mary hingga meningalkan bekas jelas disana. Lalu dia hilang. Mary tidak berteriak, dia hanya mengerang. Aku menyalakan lampu meja, namun tak akan ada yang bisa membuatnya tenang.
Dia menangis tak terkontrol.
Tempat tidurku penuh dengan darah yang mengucur dari punggung Mary dan luka panjang diaman rambutnya pernah berada. Aku memeluknya, aku bilang semua akan baik-baik saja; lalu dia menatapku.
Melihat matanya yang penuh air mata, kini aku tau apa yang ia pikirkan; ia pikir aku yang telah menyerangnya, aku yang telah melakukan hal mengerikan itu padanya. Dari semua kejadian mengerikan yang pernah aku alami, tatapan Mary lah yang paling membuatku  takut; tatapan pengkhiatan dan kejijikan.
Dia telah pergi.
Setelah menenagkan dirinya sendiri, dia mengumpulkan beberapa barang dan pergi. Ku coba untuk menjelaskan, ku coba untuk memberitahukan semuanya yang telah terjadi, tapi ia tak mau mendengarkan. Siapa yang bakal percaya dengan cerita tak masuk akal? Dia hanya bilang kalau ia tak akan memanggil polisi, tapi jika aku masih berniat menghubunginya, dia akan melakukannya. Baginya, akulah yang menyerangnya, bukan makhluk itu. Saat ia pergi, ia menoleh padaku untuk yang terakhir kali, lalu ia menangis.
Aku kehilangan dia selamanya. Wanita yang paling aku cintai melebihi apapun di dunia ini berpikir kalau aku manusia mengerikan dan kasar. Andai saja ia mau mengerti sesungguhnya makhluk apa ini, dia bukan manusia, dan kalaupun ia pernah jadi manusia, itu sudah lama sekali.
Saat itu pukul 5 pagi ketika Mary meninggalkanku; sekarang jam 9 pagi. Aku duduk disini—di kursi dapur dengan timpaan cahaya dingin matahari, menulis ini agar ada catatan tentang yang terjadi—sehingga orang-orang tau, Mary-pun tau—apapun yang terjadi, kalau sesuatu datang kesini, kalau makhluk itu adalah makhluk jahat dari masa kecilku yang datang dari kamar sempit beberapa tahun yang lalu—yang menimpakan kemalangan ini padaku;  pada kita.
Aku harus menyalurkan perasaan ini. Aku bisa hanya duduk disini, meratapi perpisahanku dengan Mary, atau aku bisa membiarkan diriku sendiri terbiasa dengan rasa takut ; dan tak melakukan apapun. Tapi hal itu tak akan terjadi.
Aku bisa mendengar tawa anak-anak kecil di samping rumahku. Saat aku seusia mereka, aku bisa merasakan kebahagiaan dan kesenangan yang sama saat bermain dengan teman-teman, atau memanjat pohon, atau mencium orang yang kau sayang, atau bahkan tertidur dan memimpikan hal-hal yang indah, di dalam rumah yang aman bersama keluarga. Kenangan, hanya kenangan... Aku takut aku takkan bisa merasakan kebahagiaan seperti itu lagi. Makhluk ini mengacaukan hidupku. Tapi aku bertekad, apapun makhluk jahat yang tengah bersembunyi disana, apapun yang ia inginkan dariku, aku tak akan membiarkan makhluk itu mengganggu orang lain, atau menghantui hidup anak lain seperti yang telah ia lakukan padaku beberapa tahun silam.
Aku harus pergi, banyak yang harus ku lakukan sebelum malam tiba, sebelum dia kembali. Rencanaku sudah tersusun dan dengan bantuan keberuntungan, aku yakin rencanaku akan sukses. Aku harap kita bisa bercakap-cakap lagi, tapi aku pikir mustahil. Aku harap kau mengerti apa yang harus berakhir.
Karena malam ini, aku akan membunuhnya.

...

Tidak ada komentar: