Bedtime IV :
Something Wicked This Way Comes
Rating: 8.9/10 (114 votes cast)
Credit to—Michael Whitehouse
Originally
Translated by : RainiLa
Please Take Out With Full Credit
!!!
Semalam merupakan peristiwa paling mengerikan dalam hidupku. Aku nyaris
tak bisa membayangkannya. Sekarang aku akan menceritakan apa yang telah terjadi
selama kunjunganku di tempat terkutuk yang aku sebut rumah ; sebuah kunjungan
yang membangkitkan kembali ketakutan masa kecilku. Tak peduli hal buruk apapun
yang menimpaku, aku sama sekali tak siap menghadapi kejadian tadi malam.
Setelah
terbangun dengan keadaan ngeri lantaran melihat mainan tentaraku ada di dadaku,
dalam keadaan tergigit setengahnya. Aku
mendapati jendela kamarku terbuka separuh. Seolah-olah telah dibuka dari luar.
Grendelnya bengkok ke dalam, tidak berada di tempatnya semula, sepertinya di
dobrak dengan paksa.
Dari
luar, aku bisa melihat tiga bekas goresan dimana perusak tak diundang itu telah
menggunakan semacam alat untuk mencongkel jendela dari engselnya. Yang ganjil
dari bekas itu adalah bahwa mereka menggores bagian luar bingkai jendela
seperti sebuah pisau tua. Tak seperti linggis atau benda lain yang akan
meninggalkan bekas dalam di tempat mereka mencongkel jendela.
Semua
benda masih utuh, tak ada yang di curi. Aku mencoba berfikir rasional, bahwa
bekas goresan itu buatan manusia, bukan bekas “seperti cakaran” seperti yang
terlihat. Tentara mainan, dikembalikan padaku dengan cara yang kasar, tak bisa
aku jelaskan. Aku bergidik tiap kali memikirkannya.
Aku
tau itu sebuah pesan. Bukan sekedar gurauan sinting. Seperti pesan yang
mengumumkan bahwa musuh telah datang; musuh yang sama dengan pemburu yang
memburuku saat aku kecil. Bukan puzzle yang harus di pecahkan atau di
tafsirkan.
Aku
menghabiskan sepagian untuk memeriksa seluruh ruangan beserta isi-isinya ; tak
ada yang hilang. Aku hanya bisa berharap, siapapun yang semalam telah duduk di
kursi belakang mobil, dia hanya bermaksud menakutiku untuk pertama dan terakhir
kalinya, dan setelah itu pergi.
Bisa
jadi jangkauannya melemah jika jauh dari kamarku dulu.
Mudah
bagi orang waras untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa kejadian traumatis
hanyalah sesuatu yang tak berbahaya, tapi tidak dalam hal ini ; mainan rusak
itu bukan sekedar gurauan, tapi sebuah janji. Janji bahwa makhluk itu akan
kembali, untuk sesuatu yang tak ingin aku tau.
Pikiranku
otomatis kembali ke kejadian mengerikan malam itu—saat aku masih kecil. Sekali
lagi aku di hadapkan pada ketakutan akan waktu tidur, keinginan akan siang
hari, dan kegelisahan pada malam hari. seperti musuh tua yang keras kepala,
ketakutanku kian bertambah sepanjang hari. menggerogoti bagian dalam diriku,
menimbulkan perasaan aneh dan tak menyenangkan sebagai akibat secara tak
sengaja telah mengundang makhluk itu ke dalam rumah.
Jangan
salah sangka, ketakutanku bukan semata-mata karena mengkhawatirkan
keselamatanku sendiri. Sebagai seorang anak kecil aku percaya bahwa tamu malam
itu kesini karena menginginkanku, aku sama sekali tak berpikir jika orang-orang
yang aku sayang berada dalam bahaya. Tapi sekarang semua berubah. Aku khawatir.
Kali ini aku benar-benar takut karena mengkhawatirkan orang yang aku sayang.
Seperti yang kau lihat, aku tak tinggal sendirian.
Pacarku
dan aku pindah bersama-sama lebih dari dua tahun yang lalu. aku sudah cukup
menyebabkan banyak bencana, jadi aku tak akan menyebutkan namanya. Panggil saja
dia “Mary”. Mary dan aku menjalani hidup yang bahagia, kami berdua saling
mencintai. Natal pagi itu aku bermaksud melamarnya, tapi momen indah itu telah
di rusak oleh makhluk busuk itu.
Aku
tau Mary akan pulang sore itu. Dia bekerja di Event and Promotion, sebagai
hasilnya dia jarang berada di rumah, bepergian ke kota-kota mengkoordinir
berbagai macam pertemuan dan pameran. Aku tak pernah protes, kami sama-sama tau
aku tipe orang yang suka menyendiri, terasa menyenangkan sendirian beberapa
hari belakangan. Memberiku banyak waktu untuk menulis, menyerap semua huruf
tanpa terganggu sedikitpun.
Walau
begitu, aku sangat merindukannya. Lebih-lebih dengan kejadian minggu lalu, saat
aku mengalami malam-malam yang menyiksa dan membiarkan makhluk-makhluk itu
kembali. Aku benar-benar merindukanya, lebih daripada sebelumnya.
Dia
kembali sektar jam 6 sore. Aku menyambutnya dengan senyuman, pelukan hangat,
dan sebuah ciuman. Kucoba sebisaku untuk menyembunyikan kegelisahanku, tapi
Mary kenal aku lebih dari siapapun. Segera ia bertanya:
“Apa
ada yang salah?”
Dengan
terbata-bata aku menjelaskan bahwa aku menulis cerita tentang pengalaman masa
kecilku dan menyelidiki kenangan kelam yang membuatku gelisah. Mary sosok yang
penyayang. Ia menjatuhkan koper dan
tasnya ke lantai, mendudukkanku di sofa. Dengan lembut ia memintaku untuk
menceritakan semuanya.
Tapi
aku tak bisa.
Aku
tak bisa menyebut makhluk itu, dia sudah tau jalan menuju rumahku ; penyerbu
tak kasat mata dan gila yang tak sengaja kubawa karena kecerobohanku. Saat itu kupikir
ia akan menganggapku gila, tapi sekarang aku sangat berharap bisa menceritakan
hal yang sebenarnya!
Jika
ada hal yang lebih berbahaya ketimbang kebohongan dalam suatu hubungan, itu
adalah setengah-kebenaran. Bukan karena itu dusta, tapi hal itu menyembunyikan
kebenaran yang utuh ; menyelewengkan keutuhan cerita sesuai dengan kebutuhan si
pencerita.
Ku
ceritakan padanya setengah-kebenaran.
Kuceritakan
kisahku. Tentang makhluk di kamarku dan pengintai di ujung tempat tidurku.
Disinilah kebohonganku dimulai. Sengaja aku bilang bahwa itu hanya imajinasiku
sebagai anak kecil, dan melewatkan bagian pengalaman mengerikan itu. Aku tau ia
akan melihat grendel jendela serta bekas cakaran disana. Aku berbohong, dan
menceritakan dongeng luar biasa tentang pencuri yang berusaha mendobrak
jendela, dan aku berusaha mengejar mereka.
Sedikit
menekankan akulah pahlawannya. Aku berbohong padanya. Dia menunjukkan rasa
simpati untuk kebohonganku.
Aku
malu. Kebohongan yang memalukan. Jika saja aku bicara jujur, kami bisa
menghadapi kegilaan ini bersama-sama. Sebaliknya, makhluk itu mengambil
keuntungan dari ketidakjujuranku dan membuat celah antara kami.
Kejadian
semalam merusak hal terpenting dalam hidupku.
Malam
datang dalam kesuraman, dan tentu saja sangat tak ku harapkan kedatangannya.
Aku berbaring di tengah kegelapan, menunggu. Mary tertidur di sampingku,
hembusan nafasnya menegaskan bahwa ia bersamaku. Aku tak ingin sendirian, aku
tak akan tidur malam ini. Aku tahu dari pengalaman sebelumnya, makhluk itu akan
menampakkan dirinya dengan perlahan, mengeratkan cengkramannya padaku di setiap
kunjungannya seolah-olah mengulur waktu untuk menghimpun kekuatan ; seperti
seekor lintah yang menghisap ketakutanku saat ia butuh.
Aku
sangat gelisah, sampai berkali-kali harus melawan serangan kantuk. Pada
akhirnya, biologi menang. Saat jam menunjukkan pukul 4 pagi, akupun tertidur ; tertidur
pulas, kegelisahanku hilang, kekhawatiran karena kenangan masa lalu lenyap kebawah
kasur, akhirnya aku terlelap.
Tidur,
tak peduli seberapa nyenyak, jarang yang benar-benar terlelap. Saat aku
menunggu untuk bermimpi, sesuatu mulai mengangguku. Sesuatu yang mengancam,
dari kejauhan. Perlahan-lahan kubuka mataku, membiarkannya beradaptasi dengan
kegelapan. Mary tengah tertidur nyenyak, aku menenangkan diriku sendiri dengan
mendengar nafasnya yang teratur. Menghirup dan menghela secara bergantian, lagi
dan lagi, teratur, menghipnotis, aku mulai tertidur sekali lagi.
Tapi,
tidak. Ada sesuatu yang lain, berbeda tapi samar.
Sangat
jauh, terpencil, nyaris gelap atau samar-samar seolah-olah datang dari...bagian
belakang sesuatu. Aku menajamkan telingaku untuk menerka-nerka apa itu
sebenarnya, tapi disini sangat senyap. Aku diam diatas tempat tidur selama
beberapa menit, tapi setelah beberapa detik terdengar suara samar—hampir tak
terdengar—seperti pecahan gelas diatas urat yang terbuka.
Aku
tak bisa lagi tidur, dengan frustasi memutuskan untuk menyelidiki sumber suara.
Aku duduk di tepi tempat tidur, berusaha menajamkan telinga.suara itu berbeda
dari suara-suara lain yang pernah ku dengar. Pelan dan rendah. Saat aku mulai terbiasa dengan suara itu,
perlahan ku coba untuk menebak-nebak suara apa itu. Suara itu dihasilkan oleh
sesuatu, satu-satunya hal yang aku pikirkan suara itu mirip bisikan yang diucapkan
berulang-ulang.
Aku
mendengar sesuatu yang sama seperti waktu itu, saat kecil aku pernah mengunjungi nenek di panti jompo. suatu tempat
yang berkesan bagiku. Aku melihat orang-orang berkeliaran dengan linglung
dan pikun, dikawal kemana saja seperti tahanan yang hilang, berkali-kali
berbisik pada diri sendiri tentang masa lalu mereka, mengulang frase dan kata yang
bukan-bukan.
Itulah
hal yang mengingatkanku pada suara acak yang terdengar terus-menerus,
diucapkan oleh orang yang linglung.
Aku
berpaling untuk mengecek Mary, melihat dadanya yang naik-turun tiap ia
bernafas. Menegaskan kalau ia tak terganggu. Aku bangkit dari tempat tidur,
saat aku berdiri, segera aku tersadar kalau suara bisikan itu makin keras. Saat
semua lampu mati, aku selalu membiarkan lampu di ruang depan menyala, sehingga
nampak samar merambat dari bawah pintu, dan memudahkanku untuk melihat sekekliling ruangan dalam cahaya
remang-remang.
Aku
melihat sekitar, kalau-kalau ada sesuatu yang janggal, tapi tak ada apapun.
Pikiranku melayang pada malam itu, sebagai anak yang tidur di kamar kedua, saat
suara-suara terdengar dari sesuatu yang tak tampak, namun menimbulkan perasaan
tak nyaman.
Aku
melangkah ke depan, saat itu juga suara itu bertambah keras. Aku masih
bingung dengan suara-suara itu, namun kini aku bisa mengenali karakteristik suara
tersebut; tua, digerus oleh usia dengan kejam, sangat rendah. Kata-kata itu
diulang-ulang dalam ketakutan, nyaris terdengar bingung, namun suara itu teredam
oleh beberapa penghalang yang tak diketahui.
Aku
takut, tapi aku mencoba berani demi Mary yang tertidur di kamar. Aku menghirup
nafas dalam-dalam , ragu-ragu dan takut, perlahan aku melangkah ke depan,
kakiku yang polos di lindungi oleh lantai dingin di bawahnya.
Lagi
lagi suara itu bertambah keras. Aku tak yakin, tapi aku bersumpah jika suara
itu makin terdengar gelisah saat aku mendekat. Saat aku melangkah lagi, tubuhku
benar-benar gemetar mendengar bisikan-bisikan itu makin keras terdengar;
diantara suara-suara samar itu, aku mendengar satu kata. Kata yang membuat
tulang-belulangku beku. Satu kata yang mengerikan.
Da
menyebut namaku.
Ya
Tuhan, dia tau namaku! Bagiku seolah-olah dia mengetahui siapa aku. Mungkin aku
tak akan pernah bisa lepas darinya. Dia bisa saja membunuhku sewaktu-waktu..
Tiba-tiba
mataku menangkap sesuatu, sebuah gerakan diikuti oleh gesekan baju. Sekarang
aku tau darimana suara itu berasal. Kini aku tau kenapa suara itu samar dan susah
di pahami. Aku bisa melihatnya sekarang, dia hanya beberapa kaki di depanku.
Berdiri.
Berdiri
dibelakang korden yang tertutup.
Sinar
bulan terhalang oleh sosoknya, sama sekali tak bisa menembus baju tebalnya.
Bisa jadi itu adalah sebagian garis tubuh makhluk yang mengintai di antara
jendela dan korden. Aku tak bisa menggambarkan keanehan yang menyergapku.
Kegelisahan dan kengerianku bertambah. Tapi keinginan tak biasa muncul.
Aku
harus melihat makhluk apa itu.
Aku
melangkah hati-hati menuju korden. Korden itu berkibar pelan, seolah-olah
tertiup angin. Tapi aku tak yakin, mungkin saja gerakan itu disebabkan olehku
sendiri, atau karena gerakan tangan makhluk yang bersembunyi dibaliknya. Kini
aku cukup dekat untuk mendengar nafasnya yang berat, perpindahan zat dari belakang
kerongkongannya tiap ia bernapas.
Itu
dia.
Aku
akan menghadapi kejanggalan dari masa laluku, penyiksa ana-anak, bajingan ini.
Mengangkat tangan kanan perlahan, secara tak sengaja aku menyentuh kain korden,
menyebabkan apapun yang ada dibaliknya mengerang. Aku terkejut. Dari celah
kecil itu, hanya sekejap, aku melihatnya.
Ya
Tuhan, bagaimana aku bisa menggambarkan apa yang tengah berdiri disana? Bahkan
sekarang, aku menutup mata dan berusaha menghapus ingatan itu dari kepalaku.
Tubuhku gemetar saat dia mulai berbisik lagi, mengulang-ulang
frase samar, seperti campurani beberapa bahasa yang ganjil. Kulit kurusnya
membungkus tulang-belulangnya yang rapuh dan menonjol ; tulang belakangnya,
tulang rusuknya, dan semua organ inti nyaris menonjol dari kulitnya yang kurus,
pucat,berwarna merah muda dan nyaris seperti memar. Dia nampak seperti
kekurangan gizi. Perutnya buncit dan tulangnya menonjol, seakan tak ada daging
yang tersisa, seolah-olah dia mampu menekan tubuhnya sendiri dengan brutal, sebagai
bentuk pertahanan kalau-kalau korbannya melawan.
Perutku
terasa mual, bau menyengat memenuhi udara. Ketika ia berbisik dan di tengah
kegelapan melalui gigi-giginya yang patah dan rusak. Aku merasa kasihan dengan kemalangannya.
Menggigil tengah malam seperti korban kelaparan yang panjang. Cepat-cepat aku
menyadarkan diri sendiri, alih-alih di kasihani, makhluk ini lebih pantas
ditakuti. Bukan untuk di pahami, tapi di temukan. Dia gemetar bukan karena
dingin, tapi bergetar karena rasa gembira, layaknya pecandu yang mengharapkan
suntikan obat selanjutnya.
Berdiri
disana sambil merenungkan apa yang baru saja aku lihat dibalik korden. Sesuatu
menarik perhatianku. Bisikan parau, membingungkan dan tak jelas keluar melalui
mulut itu. Dia mengucapkan 3 kata yang paling menakutkan sepanjang hidupku.
“Lihat
di belakangmu”.
Satu
nafas dingin berhembus di belakang leherku.
Aku membeku sekian detik, tapi cinta adalah
motivator terkuat. Jika aku terus begini, ketakutan akan mencengkeramku dan aku
tak akan mampu memikirkan perlawanan apapun, tapi mengingat Mary tertidur di
ruang yang sama dengan makhluk itu ; melindungi seseorang yang aku sayangi dari
bajingan itu adalah satu-satunya yang aku pikirkan.
Aku
menoleh perlahan. Saat aku menoleh, aku bisa mendengar desahan nafasnya yang
terengah-engah, dan erangan saat menghirup udara. Saat aku menoleh
seperempatnya, aku bisa mencium bau nafasnya, bau anyir menyebar di udara, seperti
virus dan sangat busuk. Lalu aku mendengar suara lain. Bukan suara horror di
kegelapan, tapi itu adalah suara Mary. teriakannya membuatku sangat terkejut.
Teriakan yang akan menghantui seluruh sisa hidupku.
Bergegas
aku menoleh dan melihat makhluk itu, tapi dia tak ada di belakangku, dia berada
di atas tempat tidur! Dia menggeliat dan menggaruk-garuk, mengerang dengan girang,
punggung kurus—sebagai hasil penderitaannya selama bertahun-tahun—menonjol
dibawah bajunya yang compang-camping, potongan baju itu menggantung rendah di
badannya, usaha yang sangat sia-sia untuk muncul seperti manusia.
Tapi
apa benar dia manusia? Apa dia pernah jadi manusia? Atau dia sesuatu yang
busuk, hina, dan benar-benar jahat sehingga tak ada satupun laki-laki atau
perempuan yang berniat untuk menebak siapa dia?
Aku
menghampirinya. Merenggut, menyerang, mendorong makhluk itu dengan seluruh
kekuatanku, kulit lenturnya terlepas dari tanganku. Dia mencengkeram dan
menekan wajah Mary ke atas bantal dengan girang. Saat lengan yang satunya
melengkung, dia merobek baju tidur Mary, jari-jarinya yang panjang dan kasar
meraba paksa tubuh polos Mary dengan sentuhan kotornya.
Teriakan
Mary teredam oleh bantal saat aku takut kalau ia mulai kehabisan nafas.
Aku
berteriak, menjerit, aku memohon agar makhluk itu meninggalkan Mary, dan
mengambilku sebagai gantinya, dan melakukan
apapun yang ia inginkan, tapi itu hanya membuat iblis itu makin buas.
Dia menyakiti Mary, melukainya...Mary-ku yang cantik
Tiba-tiba
makhluk itu berhenti menyerang Mary, tapi ia tetap mencengkeram kepala Mary dengan
salah satu tangannya yang kurus. Ia makin menekan wajah
Mary ke dalam bantal. Ku arahkan tanganku ke lehernya yang busuk, mencoba
sebisaku untuk mencekik makhluk itu, tapi usahaku sia-sia. Tubuh kurus itu
menyimpan kekuatan yang besar. Aku tak percaya aku melihat mahluk itu meraba
rambut Mary perlahan, nyaris penuh gairah.
Kini
aku bisa mendengar suara tulang patah, dan sobekan urat daging.
Terima
kasih, Tuhan. Suara itu bukan berasal dari Mary! sekarang aku berada di atas punggung
makhluk itu dengan satu tangan melingkari lehernya, dan daguku menggesek kulit
bahunya yang kasar. Saat dia menyikut perutku dengan keras, dia memutar
kepalanya dengan ganjil. Lehernya berkeretak saat ia menggeliat perlahan,
seakan-akan butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk memutar leher itu.
Dia
melihatku sekarang.
Aku
mendengar dia seringkali menyebut nama beberapa orang yang tak bisa melihat
pepohonan di dalam hutan, sekarang aku mengerti perasaan itu, aku sangat ngeri
melihat matanya yang hitam dan dingin, aku tak bisa melihat apapun yang
memantul dari sana, dan juga sosoknya.
Ku
eratkan cengkeramanku, aku berteriak, aku bersumpah akan merobek tenggorokannya
jika bisa. tapi nampaknya usahaku sia-sia. Ia terus melayangkan cakar-cakar
kurusnya di kepala Mary sambil menatapku.
Aku
tak pernah berpikir akan mendengar suara itu lagi—suara yang aku sangka sebuah
seringaian; desahan nafas; sebuah dengkuran; suara yang nyaris jahat, dengan
kata lain; itu suara tawa.
Saat
wajah makhluk itu menyentuh wajahku, matanya menatapku dalam-dalam. Tak ada
pantulan apapun disana; dua mata gelap, tanpa cahaya, kebahagiaan maupun cinta.
Dia menatapku seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.
Gila.
Dengan
gerakan kasar dan terseok-seok, makhluk itu menrontokkan rambut Mary hingga
meningalkan bekas jelas disana. Lalu dia hilang. Mary tidak berteriak, dia
hanya mengerang. Aku menyalakan lampu meja, namun tak akan ada yang bisa
membuatnya tenang.
Dia
menangis tak terkontrol.
Tempat
tidurku penuh dengan darah yang mengucur dari punggung Mary dan luka panjang
diaman rambutnya pernah berada. Aku memeluknya, aku bilang semua akan baik-baik
saja; lalu dia menatapku.
Melihat
matanya yang penuh air mata, kini aku tau apa yang ia pikirkan; ia pikir aku
yang telah menyerangnya, aku yang telah melakukan hal mengerikan itu padanya.
Dari semua kejadian mengerikan yang pernah aku alami, tatapan Mary lah yang
paling membuatku takut; tatapan
pengkhiatan dan kejijikan.
Dia
telah pergi.
Setelah
menenagkan dirinya sendiri, dia mengumpulkan beberapa barang dan pergi. Ku coba
untuk menjelaskan, ku coba untuk memberitahukan semuanya yang telah terjadi,
tapi ia tak mau mendengarkan. Siapa yang bakal percaya dengan cerita tak masuk
akal? Dia hanya bilang kalau ia tak akan memanggil polisi, tapi jika aku masih
berniat menghubunginya, dia akan melakukannya. Baginya, akulah yang
menyerangnya, bukan makhluk itu. Saat ia pergi, ia menoleh padaku untuk yang
terakhir kali, lalu ia menangis.
Aku
kehilangan dia selamanya. Wanita yang paling aku cintai melebihi apapun di
dunia ini berpikir kalau aku manusia mengerikan dan kasar. Andai saja ia mau
mengerti sesungguhnya makhluk apa ini, dia bukan manusia, dan kalaupun ia
pernah jadi manusia, itu sudah lama sekali.
Saat
itu pukul 5 pagi ketika Mary meninggalkanku; sekarang jam 9 pagi. Aku duduk
disini—di kursi dapur dengan timpaan cahaya dingin matahari, menulis ini agar
ada catatan tentang yang terjadi—sehingga orang-orang tau, Mary-pun tau—apapun
yang terjadi, kalau sesuatu datang kesini, kalau makhluk itu adalah makhluk
jahat dari masa kecilku yang datang dari kamar sempit beberapa tahun yang
lalu—yang menimpakan kemalangan ini padaku;
pada kita.
Aku
harus menyalurkan perasaan ini. Aku bisa hanya duduk disini, meratapi
perpisahanku dengan Mary, atau aku bisa membiarkan diriku sendiri terbiasa
dengan rasa takut ; dan tak melakukan apapun. Tapi hal itu tak akan terjadi.
Aku
bisa mendengar tawa anak-anak kecil di samping rumahku. Saat aku seusia mereka,
aku bisa merasakan kebahagiaan dan kesenangan yang sama saat bermain dengan
teman-teman, atau memanjat pohon, atau mencium orang yang kau sayang, atau
bahkan tertidur dan memimpikan hal-hal yang indah, di dalam rumah yang aman
bersama keluarga. Kenangan, hanya kenangan... Aku takut aku takkan bisa
merasakan kebahagiaan seperti itu lagi. Makhluk ini mengacaukan hidupku. Tapi aku
bertekad, apapun makhluk jahat yang tengah bersembunyi disana, apapun yang ia inginkan
dariku, aku tak akan membiarkan makhluk itu mengganggu orang lain, atau
menghantui hidup anak lain seperti yang telah ia lakukan padaku beberapa tahun
silam.
Aku
harus pergi, banyak yang harus ku lakukan sebelum malam tiba, sebelum dia
kembali. Rencanaku sudah tersusun dan dengan bantuan keberuntungan, aku yakin
rencanaku akan sukses. Aku harap kita bisa bercakap-cakap lagi, tapi aku pikir
mustahil. Aku harap kau mengerti apa yang harus berakhir.
Karena
malam ini, aku akan membunuhnya.
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar