Off the Beaten Path [1]
Written by Michael Whitehouse –
Creepypasta
Originally translated by Rain
Please take out with full credit
Duduk
di bangku dengan penerangan seadanya dari lampu meja kecil, Robert Francis
membuka petanya dan memberi tanda di beberapa titik yang menurutnya menarik.
Pukul 10:30 malam dan dia telah merencanakan semuanya, jika dia berangkat jam 6
pagi, dia bisa menghindari kemacetan dan naik kereta pertama ke Milngavie
sebelum bersepeda dari sana, dan sampai di desa Aberfoyle dalam 2 jam.
Rencana
perjalanan sudah tersusun dan dia sangat gembira memikirkan liburan yang akan
ia lewati. Sudah 11 bulan sejak terakhir kali ia mengambil cuti 1 hari, jadi memikirkan
8 hari bersepedah di belantara Skotlandia—dengan hanya membawa tas punggung dan
tenda berukuran besar, jujur saja membuatnya sangat senang.
Dia
punya beberapa sepedah, tapi untuk petualangan kali ini, dia akan memilih salah
satu favoritnya dan tentunya yang paling ia percaya. Dengan tulisan ‘ROB’ putih
besar di sepanjang rongga hitamnya. Sepedah itu tak pernah mengecewakan Robert
; tak ada benjolan, tak ada goresan , juga tak banyak kebocoran di roda.
Paginya
Robert bangun dengan perasaan gembira, memulai hari dengan suatu tujuan.
Melewati kemacetan kecil di kota dengan siulan ringan. Tak terasa, ia sudah
turun dari kereta di Milngavie dan melanjutkan perjalanan ke pedesaan sunyi
menuju Aberfoyle.
Musim
panas di Skotlandia terkenal tak bisa di ramalkan, dan ternyata lebih dingin
dari yang Robert harapkan ; tapi ia tak peduli. Ia bersepedah di daerah
terbuka, sesekali melewati mobil atau rumah-rumah khas pedesaan, seulas senyum
mengembang di wajahnya ; bersepedah adalah kegemarannya dan Robert sangat
menyukainya.
2
jam berlalu, bukit-bukit hijau memberinya pemandangan yang mengagumkan. Perbukitan
yang mulanya kecil itu lama kelamaan berubah menjadi gunung yang besar,
sekelompok pepohonan menampakkan rerimbunan hutan yang tak tertembus oleh mata
biasa, lalu jalanan lebar yang menunjukkan ujungnya, dan tak adanya teman
seperjalanan.
Tak
berapa lama kemudian papan selamat datang dari desa Aberfoyle-pun terlihat. Di
salah satu sisinya terdapat lereng curam dengan satu titik hitam kecil—yang
ternyata adalah bangunan pondok—yang mirip dengan sebuah lukisan, sementara di sisi
lainnya berjajar deretan gunung dari kejauhan. Kegembiraan khas anak-anak
meluncur keluar dari dalam perut Robert. Aberfoyle adalah tanda terakhir dari
adanya kehidupan manusia yang ingin ia temui selama 8 hari ke depan. Bersamaan
dengan Robert yang meninggalkan tempat ini, maka sekarang ia benar-benar
sendirian. Santai di antara ketenangan khas pedesaan di Skotlandia yang indah.
Sekarang
ia berada di Queen Elizabeth Park, salah satu reservasi alam terbesar di
Skotlandia, lalu menuju belantara yang ada di dalamnya.
Setelah
merenggangkan otot-otot kakinya, Robert melanjutkan perjalanan terakhir untuk
hari ini menuju Jalan utama Aberfoyle—yang tak biasanya sesepi ini. Hanya dalam
beberapa menit saja dia sudah keluar dari kota kecil yang ramah menuju tempat
asing yang tak di ketahui. 3 bulan terakhir ia bingung untuk menentukan rute perjalanan.
Ketika ia menyeberangi jembatan batu tua, ia mendengar celotehan-celotehan dari
bawah, seperti ribuan bisikan yang mencari perhatian, kini ia sadar tengah
berhadapan dengan hutan yang di kungkung oleh perbukitan, gunung-gunung, dan
lembah yang berjajar bak selimut ; sejauh yang bisa ia lihat ; ia yakin kalau
ia telah membuat keputusan yang benar.
Sebuah
jalan berdebu memotong labirin pepohonan, hal ini mengingatkan Robert bahwa ia
sudah terlalu jauh bersepedah ke dalam reservasi, matahari terlihat meremang
tiap mil-nya, di halangi oleh pohon pinus tinggi dari dua sisi, seolah-olah
cahaya adalah tamu yang tak di undang.
Jam
6 sore, matahari terbenam di garis gunung ufuk barat sana. Ini saatnya bagi
Robert untuk mencari tempat yang cocok sebagai tempat bermalam. Dia melanjutkan
perjalanan, berusaha mati-matian melewati bukit-bukit bergelombang dan sebidang
lumpur basah, dia mengamati sekitar, mencari lokasi yang cocok untuk berkemah.
Akhirnya, ia menemukan daerah terbuka di dalam hutan yang letaknya tak begitu
jauh dari jalan. Berjalan melewati beberapa halangan dan semak yang rimbun,
Robert berencana menuntun sepedahnya sepanjang barisan pepohonan sampai ke
daerah terbuka. Ada sepetak kecil rerumputan dan beberapa pohon tumbang yang
melintang di area tersebut ; pohon yang Robert duga telah menciptakan daerah
terbuka tadi.
Setelah
menemukan permukaan berumput yang rata, dia mendirikan tenda untuk bermalam,
mengumpulkan beberapa ranting kayu kering—yang dengan senang hati segera ia
ubah menjadi api unggun dengan bantuan minyak tanah dan korek api—Membuat api
unggun adalah salah satu favorit Robert saat berkemah di daerah terpencil.
Kerap kali dia berpikir bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang cenderung
menjadi arsonist, tapi itu hanya fakta yang bakal ia simpan tentang
petualangannya di alam bebas. Untuk beberapa alasan di sangat menyukai alam dan
selalu berhati-hati agar tidak merusaknya.
Malam
telah tiba, sama sekali tak terhalang oleh cahaya palsu dari seseorang ;
bintang-bintang bersinar terang. Setelah beberapa jam duduk di dekat sinar
temaram perapian, Robert pun pergi tidur walaupun terasa enggan, memikirkan
perjalanan keesokan harinya dengan perasaan senang.
Saat
pagi harinya, api masih menyala. Tubuh Robert terasa segar lantaran semalam
bisa tidur dengan nyenyak ; lebih baik dari yang pernah Robert rasakan selama beberapa
tahun belakangan. Dia mengangkut barang-barangnya dan memastikan api telah
padam, lalu melanjutkan perjalanannya lagi.
Gerimis
sepanjang malam, tapi syukurlah jalanan lumayan kering. Setelah bersepedah
beberapa jam, Robert menyadari perubahan alam sekitar, makin ke dalam, hutan
menjadi acak-acakan dan tak tertata. Pepohonan terlihat sangat rapat dan
kadang-kadang lembah di hutan di isi oleh tanah lapang dan perkebunan kecil
yang terlantar selama bertahun-tahun.
Robert
sadar kalau ia bersepedah cukup jauh ke dalam hutan yang tak terjangkau—bahkan
oleh penjaga hutan sekalipun—yang normalnya selalu memantau tempat semacam ini.
Bagaimanapun juga, dari titik ini, terlihat kalau daerah tersebut telah di
tinggalkan pemiliknya untuk beberapa alasan. Pemikiran—bahwa bahkan yang akrab
dengan belantara sekalipun takut untuk melangkah kesana—bermain-main dengan
benak Robert sesaat, sebelum akhirnya menghilang dengan cepat seperti bayangan.
Langit
berwarna abu-abu saat siang menjelang, tandanya hujan akan segera turun dengan
volume yang lumayan. Setelah mendorong sepedahnya melewati lereng yang
curam—karena ia pikir bukan ide bagus jika ia menaiki sepedahnya—Robert tiba di
puncak dan mendapati pemandangan alam bebas disana. Dia tidur telentang di
antara pepohonan dalam diam. Terlihat air yang menggenangi ceruk-ceruk dalam
dari lembah hingga membentang beberapa mil luasnya. Tempat ini dipenuhi oleh
area kecil rerumputan yang memberi penjelajah batas jelas dari areal hutan.
Hujan
akan segera turun, pikir Robert, akan lebih baik jika ia bermalam lebih awal di
tengah hamparan rerumputan yang terlihat dari kaki bukit. Tak genap satu
setengah jam dia hanya tinggal mengumpulkan beberapa ranting kayu kering untuk
di bakar.
Penting
bagi Robert untuk membuat api secepat mungkin. Bukan tidak mungkin manusia
kerdil Skotlandia (tipe yang bisa terbang dan menghisap darah) berkeliaran di
hutan dan asap dari kobaran api bisa membantu mengusir mereka. Satu-satunya
masalah adalah Robert memilih tempat yang lebih banyak di tumbuhi rerumputan,
semak-semak dan belukar ketimbang pepohonan. Dia harus menyeberangi lembah
sebentar dan mengumpulkan ranting kayu dari salah satu areal pepohonan
terdekat.
Sekumpulan
pohon pinus dan cemara nampak seperti mengelilingi pulau yang terisolasi,
dengan jarak kira-kira setengah mil, cukup dekat dari tendanya. Setelah 10 atau
15 menit bersusah payah melewati rerumputan hijau, atau kadang terperosok rawa-rawa
di bawahnya, Robert sadar ia telah sampai di tepian hutan.
Tepian
hutan di dominasi oleh pepohonan tua yang telah lama mati, tertutup lumut tebal
yang menggantung—tertutup oleh makam alaminya sendiri. Batang pohon pinus yang
patah serta pepohonan lain, mengotori tempat ini, patah dan busuk dari dalam—seperti
hewan malang yang terluka. Entah bagaimana, pepohonan ini menyadarkan Robert
bahwa pohon-pohon ini nampak ganjil jika di bandingkan dengan yang lainnya,
pohon-pohon itu tak semestinya berada disini. Rerumputan tinggi yang tumbuh di
sepanjang area tersebut terlihat jarang-jarang dan berubah dari warna
alaminya—hijau—menjadi coklat-kekuning-kuningan yang ganjil. Kemudian ia
merenung, di sertai perasaan ngeri yang tak bisa ia jelaskan, Robert sadar jika
ia tengah melihat lingkaran kematian dari tumbuh-tumbuhan di sana—yang seakan
menandai area tersebut sebagai tempat pemakaman.
Di
bagian lain dunia yang terlupakan, sebagian orang mungkin akan berhati-hati
jika melihat pemandangan semacam ini, tapi tidak dengan Robert, secepatnya
menghilangkan kewaspadaan yang tadi muncul lalu mencari area yang menarik.
Dengan langkah keras, ia berjalan menyusuri ambang hutan menuju keremangan di
dalamnya.
Di
dalam hutan, dia bisa melihat banyaknya sisa-sisa pohon dari masa lalu yang tergeletak
serampangan di atas tanah, pohon-pohon tersebut sangat lembab, seolah-olah
telah tergeletak di dalam sungai untuk waktu yang lama. Robert pikir
pohon-pohon tersebut tentu akan lebih kering jika berada jauh dari tempat ini.
Dedaunan di hutan membentuk kanopi yang makin lama makin rimbun tiap Robert
melangkah, melindungi apa yang ada di bawahnya dari serangan hujan.
Robert
memindai sekitar, lalu mendongak dan kemudian menyadari jika ia sudah berjalan
agak jauh ke bagian dalam hutan. Tentu saja, siang hari di luar, pohon-pohon di
hutan menyerap sinar matahari. Jika saja Robert tidak jeli, ia bersumpah akan
mengira bahwa saat ini adalah tengah malam.
Akhirnya
ia menemukan beberapa ranting dan pohon kayu kering. Robert sadar jika ia hanya
sanggup pergi sejauh ini, lagipula makin sulit untuk menentukan arah di
tengah-tengah pepohonan rapat seperti ini, dahan-dahan pohon banyak yang
tersambung dan bersentuhan satu sama lain, seakan berusaha untuk menahan apapun
yang ada di dalamnya untuk tidak keluar.
Pikiran
yang bodoh, Robert menyeringai.
Hujan
mulai turun, meskipun ia bisa mendengar tetesan hujan yang menimpa dedaunan di
atasnya, tempatnya berdiri sekarang benar-benar kering. Membuatnya ingin
kembali ke tenda dan membuat api unggun sesegera mungkin. Karena jika semuanya
basah, maka akan sulit baginya untuk melakukan hal tersebut.
Robert
bergegas mengumpulkan ranting kayu terakhir ke dalam pelukannya, namun ketika
ia berbalik dan mengikuti jejak batang-batang pohon pinus mati tersebut,
sesuatu tertangkap oleh matanya. Hanya berjarak beberapa kaki jauhnya—nampak
samar di tengah pepohonan yang berdekatan satu sama lain—sebuah susunan batu
aneh di atas tanah.
Robert
tetaplah Robert, dia hanya perlu memeriksa benda tersebut.
Setelah
melewati semak belukar, dia sadar sedang menatap sesuatu yang terlihat seperti
kuburan. Ratusan bebatuan abu-abu sebesar kepalan tangan manusia, dan sebagian
lagi berukuran lebih besar, ditumpuk di atas satu sama lain dengan lebar 3
kaki, panjang 7 kaki, dan berjarak 2 kaki dari tanah. Nampaknya orang yang
berkabung telah membuat tempat peristirahatan terakhir untuk seseorang.
Sebuah
kantung tidur, potongan koran, bahkan beberapa makanan kaleng lama merusak
kesucian “kuburan” ; tempat perkemahan seseorang.
Robert
menghela nafas lega. Dari sekeliling ia menduga bahwa beberapa pelajar mungkin
datang ke sini selama musim panas, terkena serangan hujan, lalu pindah ke hutan
untuk mencari tempat berteduh. Bukan tidak mungkin jika bebatuan itu di letakkan
di sana untuk mengatasi kebosanan yang melanda mereka, atau bahkan bertujuan
untuk menakut-nakuti beberapa orang yang lewat nantinya.
Perkemahan
musim panas sangat hebat, pikir Robert, mengingat kembali kenangan saat ia dan
teman-temannya bepergian di musim panas.
Bagaimanapun,
satu hal tentang bentuk batu-batu itu menarik minat Robert. Nampak sebuah batu
yang berbeda terselip di antara dua bebatuan besar berwarna abu-abu. Berbentuk
segitiga. Batu tersebut lebih besar bila di bandingkan dengan telapak tangan
manusia, halus, seperti kelereng berwarna hitam, dan tumpul memanjang di salah
satu ujungnya. Sebelum dia mempertimbangkan untuk memeriksa batu itu, Robert
menurunkan tumpukan ranting kayu kering yang ia bawa, membungkuk, lalu
menyentuh batu itu. Terasa halus dan dingin di tangannya, namun nampaknya batu
itu enggan meninggalkan rumahnya, seolah-olah batu itu menempel kuat diantara
bebatuan yang lain.
Robert
gusar, ia mencengkeram batu itu dengan kedua tangannya. Akhirnya, dengan satu
sentakan keras ke belakang, batu itu terlepas dari tempatnya.
Robert
mengamati batu itu dengan hati-hati, bentuk batu itu seperti kepala kapak kuno.
Terlepas dari benar tidaknya dugaan Robert, ia tak masuk hitungan untuk
menjawab. Bagaimanapun juga, batu itu seperti benda buatan tangan manusia, dia
bisa melihat bekas pahatan di sepanjang sisi batu itu. Mungkin pelancong
sebelumnya menemukan benda ini di dekat tenda lalu menggunakan bebatuan besar
yang lain dalam pembuatannya tanpa ada maksud tertentu. Robert tertarik untuk
menduga-duga dan berencana untuk menanyakan hal ini pada salah satu temannya
yang belajar Arkeologi di salah satu Perguruan Tinggi. Apapun itu, dugaan
Robert hanya sebatas yang ia paparkan tadi.
Setelah
memeriksa benda itu beberapa kali, Robert teringat akan hujan di luar sana. Ia
memasukkan batu itu ke saku, lalu membungkuk untu mengambil tumpukan ranting
kering, tapi kemudian di mendengar sebuah suara. Rupanya salah satu batu jatuh
dan tergelincir ke tanah. Seketika tubuh Robert di liputi oleh perasaan ngeri.
Secepatnya ia memungut ranting kayu terakhir, lalu meninggalkan sisa-sisa
bebatuan itu tak tersentuh sedikitpun dan kembali ke tenda.
Tiap
ia melangkah, sesuatu dalam benaknya berkata bahwa ia tak lagi sendirian. Dia
sedang di ikuti seseorang di dalam hutan. Namun tiap ia menoleh ke belakang,
tak ada apapun disana. Bahkan beberapa kali ia mengira telah mendengar bunyi
keretak dari ranting dan pinus yang di injak, tapi sekali lagi, tak ada
siapapun disana.
Robert
menarik nafas lega, barisan pohon sudah terlihat, senang mengetahui beberapa
saat lagi ia akan kembali ke daerah terbuka. Namun, tepat sebelum ia sampai di
ambang hutan, dia mendengar bunyi keretak lagi. Kali ia ia sangat yakin dengan
apa yang ia dengar, lebih keras dan
jelas dari sebelumnya. Bulu kuduk Robert mulai merenggang.
Dia
benar-benar yakin, seseorang tengah berdiri hanya beberapa kaki di belakangnya
; memandang tepat ke arahnya.
Terjabak
di antara ketakutan akan kesadaran dan ketidak-sadaran, Robert akhirnya
berbalik perlahan.
Ya!
“Dia” disana, Robert melihatnya! Hanya sebentar, tapi Robert melihatnya!
Sebuah
bahu atau lengan, sesuatu telah menghilang ke balik pepohonan terdekat.
Mulut
Robert kaku, jantungnya berdetak tak karuan dari dalam dadanya. Dia berbalik
perlahan menuju tendanya, berharap tak tersandung akar atau tumbuh-tumbuhan
yang tak terlihat, sehingga membuatnya mudah untuk di serang di atas tanah.
Makin
jauh ia melangkah, hutan makin terang. Ketika ia makin dekat dengan
ambang hutan, cahaya dari luar masuk ke dalam celah-celah dedaunan hutan dengan
warna kebiruan. Dia tidak mengalihkan matanya dari pohon besar—dimana bayangan
itu bersembunyi. Tidak sedetikpun.
Memang
aneh, namun sebuah kekuatan untuk menyelamatkan dirinya benar-benar mendominasi
benak Robert. Normalnya, seseorang akan merasa terancam dan lemah di
belantara bebas, tapi Robert tidak, setidaknya, tidak di situasi seperti ini.
Saat
ia berlari perlahan menuju dataran berumput di luar, sesuatu yang tak tampak, suatu
pertanda buruk tentang suara di belakangnya yang bergemerisik dan mendayu hampir
seperti luapan kemarahan, makin lama makin bertambah keras. Tak ada angin yang
berhembus. Hanya ada satu kesimpulan yang mungkin terjadi ; sesuatu sedang
bergerak. Tak berapa lama kemudian ia telah berada di luar. Keluar dari hutan,
berada jauh dari siapapun yang telah mengikutinya—tidak, bukan mengikuti—tapi
menguntitnya.
[bersambung...]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar