Senin, 06 Mei 2013

[cerita terjemahan] Off the Beaten Path - Part 1


Off the Beaten Path [1]
Written by Michael Whitehouse – Creepypasta
Originally translated by Rain

 Please take out with full credit 





Duduk di bangku dengan penerangan seadanya dari lampu meja kecil, Robert Francis membuka petanya dan memberi tanda di beberapa titik yang menurutnya menarik. Pukul 10:30 malam dan dia telah merencanakan semuanya, jika dia berangkat jam 6 pagi, dia bisa menghindari kemacetan dan naik kereta pertama ke Milngavie sebelum bersepeda dari sana, dan sampai di desa Aberfoyle dalam 2 jam.
Rencana perjalanan sudah tersusun dan dia sangat gembira memikirkan liburan yang akan ia lewati. Sudah 11 bulan sejak terakhir kali ia mengambil cuti 1 hari, jadi memikirkan 8 hari bersepedah di belantara Skotlandia—dengan hanya membawa tas punggung dan tenda berukuran besar, jujur saja membuatnya sangat senang.
Dia punya beberapa sepedah, tapi untuk petualangan kali ini, dia akan memilih salah satu favoritnya dan tentunya yang paling ia percaya. Dengan tulisan ‘ROB’ putih besar di sepanjang rongga hitamnya. Sepedah itu tak pernah mengecewakan Robert ; tak ada benjolan, tak ada goresan , juga tak banyak kebocoran di roda.
Paginya Robert bangun dengan perasaan gembira, memulai hari dengan suatu tujuan. Melewati kemacetan kecil di kota dengan siulan ringan. Tak terasa, ia sudah turun dari kereta di Milngavie dan melanjutkan perjalanan ke pedesaan sunyi menuju Aberfoyle.
Musim panas di Skotlandia terkenal tak bisa di ramalkan, dan ternyata lebih dingin dari yang Robert harapkan ; tapi ia tak peduli. Ia bersepedah di daerah terbuka, sesekali melewati mobil atau rumah-rumah khas pedesaan, seulas senyum mengembang di wajahnya ; bersepedah adalah kegemarannya dan Robert sangat menyukainya.
2 jam berlalu, bukit-bukit hijau memberinya pemandangan yang mengagumkan. Perbukitan yang mulanya kecil itu lama kelamaan berubah menjadi gunung yang besar, sekelompok pepohonan menampakkan rerimbunan hutan yang tak tertembus oleh mata biasa, lalu jalanan lebar yang menunjukkan ujungnya, dan tak adanya teman seperjalanan.
Tak berapa lama kemudian papan selamat datang dari desa Aberfoyle-pun terlihat. Di salah satu sisinya terdapat lereng curam dengan satu titik hitam kecil—yang ternyata adalah bangunan pondok—yang mirip dengan sebuah lukisan, sementara di sisi lainnya berjajar deretan gunung dari kejauhan. Kegembiraan khas anak-anak meluncur keluar dari dalam perut Robert. Aberfoyle adalah tanda terakhir dari adanya kehidupan manusia yang ingin ia temui selama 8 hari ke depan. Bersamaan dengan Robert yang meninggalkan tempat ini, maka sekarang ia benar-benar sendirian. Santai di antara ketenangan khas pedesaan di Skotlandia yang indah.
Sekarang ia berada di Queen Elizabeth Park, salah satu reservasi alam terbesar di Skotlandia, lalu menuju belantara yang ada di dalamnya.
Setelah merenggangkan otot-otot kakinya, Robert melanjutkan perjalanan terakhir untuk hari ini menuju Jalan utama Aberfoyle—yang tak biasanya sesepi ini. Hanya dalam beberapa menit saja dia sudah keluar dari kota kecil yang ramah menuju tempat asing yang tak di ketahui. 3 bulan terakhir ia bingung untuk menentukan rute perjalanan. Ketika ia menyeberangi jembatan batu tua, ia mendengar celotehan-celotehan dari bawah, seperti ribuan bisikan yang mencari perhatian, kini ia sadar tengah berhadapan dengan hutan yang di kungkung oleh perbukitan, gunung-gunung, dan lembah yang berjajar bak selimut ; sejauh yang bisa ia lihat ; ia yakin kalau ia telah membuat keputusan yang benar.
Sebuah jalan berdebu memotong labirin pepohonan, hal ini mengingatkan Robert bahwa ia sudah terlalu jauh bersepedah ke dalam reservasi, matahari terlihat meremang tiap mil-nya, di halangi oleh pohon pinus tinggi dari dua sisi, seolah-olah cahaya adalah tamu yang tak di undang.
Jam 6 sore, matahari terbenam di garis gunung ufuk barat sana. Ini saatnya bagi Robert untuk mencari tempat yang cocok sebagai tempat bermalam. Dia melanjutkan perjalanan, berusaha mati-matian melewati bukit-bukit bergelombang dan sebidang lumpur basah, dia mengamati sekitar, mencari lokasi yang cocok untuk berkemah. Akhirnya, ia menemukan daerah terbuka di dalam hutan yang letaknya tak begitu jauh dari jalan. Berjalan melewati beberapa halangan dan semak yang rimbun, Robert berencana menuntun sepedahnya sepanjang barisan pepohonan sampai ke daerah terbuka. Ada sepetak kecil rerumputan dan beberapa pohon tumbang yang melintang di area tersebut ; pohon yang Robert duga telah menciptakan daerah terbuka tadi.
Setelah menemukan permukaan berumput yang rata, dia mendirikan tenda untuk bermalam, mengumpulkan beberapa ranting kayu kering—yang dengan senang hati segera ia ubah menjadi api unggun dengan bantuan minyak tanah dan korek api—Membuat api unggun adalah salah satu favorit Robert saat berkemah di daerah terpencil. Kerap kali dia berpikir bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang cenderung menjadi arsonist, tapi itu hanya fakta yang bakal ia simpan tentang petualangannya di alam bebas. Untuk beberapa alasan di sangat menyukai alam dan selalu berhati-hati agar tidak merusaknya.
Malam telah tiba, sama sekali tak terhalang oleh cahaya palsu dari seseorang ; bintang-bintang bersinar terang. Setelah beberapa jam duduk di dekat sinar temaram perapian, Robert pun pergi tidur walaupun terasa enggan, memikirkan perjalanan keesokan harinya dengan perasaan senang.
Saat pagi harinya, api masih menyala. Tubuh Robert terasa segar lantaran semalam bisa tidur dengan nyenyak ; lebih baik dari yang pernah Robert rasakan selama beberapa tahun belakangan. Dia mengangkut barang-barangnya dan memastikan api telah padam, lalu melanjutkan perjalanannya lagi.
Gerimis sepanjang malam, tapi syukurlah jalanan lumayan kering. Setelah bersepedah beberapa jam, Robert menyadari perubahan alam sekitar, makin ke dalam, hutan menjadi acak-acakan dan tak tertata. Pepohonan terlihat sangat rapat dan kadang-kadang lembah di hutan di isi oleh tanah lapang dan perkebunan kecil yang terlantar selama bertahun-tahun.
Robert sadar kalau ia bersepedah cukup jauh ke dalam hutan yang tak terjangkau—bahkan oleh penjaga hutan sekalipun—yang normalnya selalu memantau tempat semacam ini. Bagaimanapun juga, dari titik ini, terlihat kalau daerah tersebut telah di tinggalkan pemiliknya untuk beberapa alasan. Pemikiran—bahwa bahkan yang akrab dengan belantara sekalipun takut untuk melangkah kesana—bermain-main dengan benak Robert sesaat, sebelum akhirnya menghilang dengan cepat seperti bayangan.
Langit berwarna abu-abu saat siang menjelang, tandanya hujan akan segera turun dengan volume yang lumayan. Setelah mendorong sepedahnya melewati lereng yang curam—karena ia pikir bukan ide bagus jika ia menaiki sepedahnya—Robert tiba di puncak dan mendapati pemandangan alam bebas disana. Dia tidur telentang di antara pepohonan dalam diam. Terlihat air yang menggenangi ceruk-ceruk dalam dari lembah hingga membentang beberapa mil luasnya. Tempat ini dipenuhi oleh area kecil rerumputan yang memberi penjelajah batas jelas dari areal hutan.
Hujan akan segera turun, pikir Robert, akan lebih baik jika ia bermalam lebih awal di tengah hamparan rerumputan yang terlihat dari kaki bukit. Tak genap satu setengah jam dia hanya tinggal mengumpulkan beberapa ranting kayu kering untuk di bakar.
Penting bagi Robert untuk membuat api secepat mungkin. Bukan tidak mungkin manusia kerdil Skotlandia (tipe yang bisa terbang dan menghisap darah) berkeliaran di hutan dan asap dari kobaran api bisa membantu mengusir mereka. Satu-satunya masalah adalah Robert memilih tempat yang lebih banyak di tumbuhi rerumputan, semak-semak dan belukar ketimbang pepohonan. Dia harus menyeberangi lembah sebentar dan mengumpulkan ranting kayu dari salah satu areal pepohonan terdekat.
Sekumpulan pohon pinus dan cemara nampak seperti mengelilingi pulau yang terisolasi, dengan jarak kira-kira setengah mil, cukup dekat dari tendanya. Setelah 10 atau 15 menit bersusah payah melewati rerumputan hijau, atau kadang terperosok rawa-rawa di bawahnya, Robert sadar ia telah sampai di tepian hutan.
Tepian hutan di dominasi oleh pepohonan tua yang telah lama mati, tertutup lumut tebal yang menggantung—tertutup oleh makam alaminya sendiri. Batang pohon pinus yang patah serta pepohonan lain, mengotori tempat ini, patah dan busuk dari dalam—seperti hewan malang yang terluka. Entah bagaimana, pepohonan ini menyadarkan Robert bahwa pohon-pohon ini nampak ganjil jika di bandingkan dengan yang lainnya, pohon-pohon itu tak semestinya berada disini. Rerumputan tinggi yang tumbuh di sepanjang area tersebut terlihat jarang-jarang dan berubah dari warna alaminya—hijau—menjadi coklat-kekuning-kuningan yang ganjil. Kemudian ia merenung, di sertai perasaan ngeri yang tak bisa ia jelaskan, Robert sadar jika ia tengah melihat lingkaran kematian dari tumbuh-tumbuhan di sana—yang seakan menandai area tersebut sebagai tempat pemakaman.
Di bagian lain dunia yang terlupakan, sebagian orang mungkin akan berhati-hati jika melihat pemandangan semacam ini, tapi tidak dengan Robert, secepatnya menghilangkan kewaspadaan yang tadi muncul lalu mencari area yang menarik. Dengan langkah keras, ia berjalan menyusuri ambang hutan menuju keremangan di dalamnya.
Di dalam hutan, dia bisa melihat banyaknya sisa-sisa pohon dari masa lalu yang tergeletak serampangan di atas tanah, pohon-pohon tersebut sangat lembab, seolah-olah telah tergeletak di dalam sungai untuk waktu yang lama. Robert pikir pohon-pohon tersebut tentu akan lebih kering jika berada jauh dari tempat ini. Dedaunan di hutan membentuk kanopi yang makin lama makin rimbun tiap Robert melangkah, melindungi apa yang ada di bawahnya dari serangan hujan.
Robert memindai sekitar, lalu mendongak dan kemudian menyadari jika ia sudah berjalan agak jauh ke bagian dalam hutan. Tentu saja, siang hari di luar, pohon-pohon di hutan menyerap sinar matahari. Jika saja Robert tidak jeli, ia bersumpah akan mengira bahwa saat ini adalah tengah malam.
Akhirnya ia menemukan beberapa ranting dan pohon kayu kering. Robert sadar jika ia hanya sanggup pergi sejauh ini, lagipula makin sulit untuk menentukan arah di tengah-tengah pepohonan rapat seperti ini, dahan-dahan pohon banyak yang tersambung dan bersentuhan satu sama lain, seakan berusaha untuk menahan apapun yang ada di dalamnya untuk tidak keluar.
Pikiran yang bodoh, Robert menyeringai.
Hujan mulai turun, meskipun ia bisa mendengar tetesan hujan yang menimpa dedaunan di atasnya, tempatnya berdiri sekarang benar-benar kering. Membuatnya ingin kembali ke tenda dan membuat api unggun sesegera mungkin. Karena jika semuanya basah, maka akan sulit baginya untuk melakukan hal tersebut.
Robert bergegas mengumpulkan ranting kayu terakhir ke dalam pelukannya, namun ketika ia berbalik dan mengikuti jejak batang-batang pohon pinus mati tersebut, sesuatu tertangkap oleh matanya. Hanya berjarak beberapa kaki jauhnya—nampak samar di tengah pepohonan yang berdekatan satu sama lain—sebuah susunan batu aneh di atas tanah.
Robert tetaplah Robert, dia hanya perlu memeriksa benda tersebut.
Setelah melewati semak belukar, dia sadar sedang menatap sesuatu yang terlihat seperti kuburan. Ratusan bebatuan abu-abu sebesar kepalan tangan manusia, dan sebagian lagi berukuran lebih besar, ditumpuk di atas satu sama lain dengan lebar 3 kaki, panjang 7 kaki, dan berjarak 2 kaki dari tanah. Nampaknya orang yang berkabung telah membuat tempat peristirahatan terakhir untuk seseorang.
Sebuah kantung tidur, potongan koran, bahkan beberapa makanan kaleng lama merusak kesucian “kuburan” ; tempat perkemahan seseorang.
Robert menghela nafas lega. Dari sekeliling ia menduga bahwa beberapa pelajar mungkin datang ke sini selama musim panas, terkena serangan hujan, lalu pindah ke hutan untuk mencari tempat berteduh. Bukan tidak mungkin jika bebatuan itu di letakkan di sana untuk mengatasi kebosanan yang melanda mereka, atau bahkan bertujuan untuk menakut-nakuti beberapa orang yang lewat nantinya.
Perkemahan musim panas sangat hebat, pikir Robert, mengingat kembali kenangan saat ia dan teman-temannya bepergian di musim panas.
Bagaimanapun, satu hal tentang bentuk batu-batu itu menarik minat Robert. Nampak sebuah batu yang berbeda terselip di antara dua bebatuan besar berwarna abu-abu. Berbentuk segitiga. Batu tersebut lebih besar bila di bandingkan dengan telapak tangan manusia, halus, seperti kelereng berwarna hitam, dan tumpul memanjang di salah satu ujungnya. Sebelum dia mempertimbangkan untuk memeriksa batu itu, Robert menurunkan tumpukan ranting kayu kering yang ia bawa, membungkuk, lalu menyentuh batu itu. Terasa halus dan dingin di tangannya, namun nampaknya batu itu enggan meninggalkan rumahnya, seolah-olah batu itu menempel kuat diantara bebatuan yang lain.
Robert gusar, ia mencengkeram batu itu dengan kedua tangannya. Akhirnya, dengan satu sentakan keras ke belakang, batu itu terlepas dari tempatnya.
Robert mengamati batu itu dengan hati-hati, bentuk batu itu seperti kepala kapak kuno. Terlepas dari benar tidaknya dugaan Robert, ia tak masuk hitungan untuk menjawab. Bagaimanapun juga, batu itu seperti benda buatan tangan manusia, dia bisa melihat bekas pahatan di sepanjang sisi batu itu. Mungkin pelancong sebelumnya menemukan benda ini di dekat tenda lalu menggunakan bebatuan besar yang lain dalam pembuatannya tanpa ada maksud tertentu. Robert tertarik untuk menduga-duga dan berencana untuk menanyakan hal ini pada salah satu temannya yang belajar Arkeologi di salah satu Perguruan Tinggi. Apapun itu, dugaan Robert hanya sebatas yang ia paparkan tadi.
Setelah memeriksa benda itu beberapa kali, Robert teringat akan hujan di luar sana. Ia memasukkan batu itu ke saku, lalu membungkuk untu mengambil tumpukan ranting kering, tapi kemudian di mendengar sebuah suara. Rupanya salah satu batu jatuh dan tergelincir ke tanah. Seketika tubuh Robert di liputi oleh perasaan ngeri. Secepatnya ia memungut ranting kayu terakhir, lalu meninggalkan sisa-sisa bebatuan itu tak tersentuh sedikitpun dan kembali ke tenda.
Tiap ia melangkah, sesuatu dalam benaknya berkata bahwa ia tak lagi sendirian. Dia sedang di ikuti seseorang di dalam hutan. Namun tiap ia menoleh ke belakang, tak ada apapun disana. Bahkan beberapa kali ia mengira telah mendengar bunyi keretak dari ranting dan pinus yang di injak, tapi sekali lagi, tak ada siapapun disana.
Robert menarik nafas lega, barisan pohon sudah terlihat, senang mengetahui beberapa saat lagi ia akan kembali ke daerah terbuka. Namun, tepat sebelum ia sampai di ambang hutan, dia mendengar bunyi keretak lagi. Kali ia ia sangat yakin dengan apa yang ia dengar, lebih keras dan  jelas dari sebelumnya. Bulu kuduk Robert mulai merenggang.
Dia benar-benar yakin, seseorang tengah berdiri hanya beberapa kaki di belakangnya ; memandang tepat ke arahnya.
Terjabak di antara ketakutan akan kesadaran dan ketidak-sadaran, Robert akhirnya berbalik perlahan.
Ya! “Dia” disana, Robert melihatnya! Hanya sebentar, tapi Robert melihatnya!
Sebuah bahu atau lengan, sesuatu telah menghilang ke balik pepohonan terdekat.
Mulut Robert kaku, jantungnya berdetak tak karuan dari dalam dadanya. Dia berbalik perlahan menuju tendanya, berharap tak tersandung akar atau tumbuh-tumbuhan yang tak terlihat, sehingga membuatnya mudah untuk di serang di atas tanah.
Makin jauh ia melangkah, hutan makin terang. Ketika ia makin dekat dengan ambang hutan, cahaya dari luar masuk ke dalam celah-celah dedaunan hutan dengan warna kebiruan. Dia tidak mengalihkan matanya dari pohon besar—dimana bayangan itu bersembunyi. Tidak sedetikpun.
Memang aneh, namun sebuah kekuatan untuk menyelamatkan dirinya benar-benar mendominasi benak Robert. Normalnya, seseorang akan merasa terancam dan lemah di belantara bebas, tapi Robert tidak, setidaknya, tidak di situasi seperti ini.
Saat ia berlari perlahan menuju dataran berumput di luar, sesuatu yang tak tampak, suatu pertanda buruk tentang suara di belakangnya yang bergemerisik dan mendayu hampir seperti luapan kemarahan, makin lama makin bertambah keras. Tak ada angin yang berhembus. Hanya ada satu kesimpulan yang mungkin terjadi ; sesuatu sedang bergerak. Tak berapa lama kemudian ia telah berada di luar. Keluar dari hutan, berada jauh dari siapapun yang telah mengikutinya—tidak, bukan mengikuti—tapi menguntitnya.

[bersambung...]

Tidak ada komentar: