I'm Not Scared
Rating: 8.3/10 (111 votes cast)
Credit To – Reece
Ayers
Orginally Translated by : RainiLa
Please Take Out With Proper Credit !!!
Aku harus berani, tak tau untuk berapa lama lagi
sampai “dia” menemukanku.
Aku Daniel Lockwood, umur 20 tahun,
berkebangsaan Inggris, dan aku tinggal di China selama 18 bulan terakhir. Ibuku
bernama Deborah Lockwood. Aku mengetik tulisan ini di iPad. Sekarang sekitar
jam 10.45 malam, selasa, 30 April 2013. Aku tak yakin dimana tepatnya lokasiku
saat ini, aku berada di suatu tempat di selatan pegunungan Beijing, di batas
Provinsi Hebei, dekat dengan desa kecil bernama Shidu.
Jari-jariku gemetar saat dengan diam-diam aku
mengetik di atas layar iPad, dan air mata mengalir dari kedua mataku. Terdengar suara samar saat jari-jariku menyentuh permukaan tablet yang halus.
Satu rokok tergantung lemah di sela-sela bibirku. Tempat ini sangat tak bersahabat, bukan sejenis makam yang aku harapkan.
Mohon maklumi jika ada kesalahan pengetikan atau
kata yang tidak teratur, penglihatanku agak kabur dan pikiranku penuh dengan
kengerian yang tak bisa di bayangkan.
Bukankah ini konyol, bahkan dalam kematian, otak masih bisa terfokus pada hal
sepele seperti grammar?
Bagaimanapun...ini adalah warisanku. Jika kau
membacanya, aku berharap pada Tuhan agar kau merasa nyaman dan aman, baik di
dalam ruangan yang tertutup atau di suatu daerah padat penduduk. Aku harap
teman-teman dan keluargamu ada di dekatmu atau barangkali hewan peliharaanmu
meringkuk di pangkuanmu. Kisah yang akan aku ceritakan tak di peruntukkan bagi yang punya lemah jantung, cerita ini juga bukan cerita yang dibuat-buat atau di
besar-besarkan. Kisah ini bercerita mengenai jam-jam terakhir di kehidupan
seorang lelaki yang putus asa, salah satunya di penuhi dengan horror. Ketakutan
dan pengalaman yang tak ia harapakan datang dari musuh terburuknya. Tujuan dari
catatan terakhir ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran, agar kisah ini di
dokumentasikan dan memberi bukti bahwa di dunia ini ada hal-hal yang masih tak
kita ketahui—dan yang belum kita ungkap. Masih ada hal-hal di dunia ini yang
belum muncul dari kegelapan untuk menampakkan wajah-wajah mereka yang aneh
dan mengerikan. Tapi aku tak lagi takut.
Jika kau membaca kisah ini, bisa dipastikan kalau
aku sudah mati.
Sekitar 11 jam yang lalu, aku dan 4 teman memulai “petualangan kecil” di
luar area aman menuju alam liar. Aku tak akan membuang-buang waktu untuk
flashback dan semacamnya, hal yang harus kau tau adalah kami berlima adalah
petualang yang pemberani, sekumpulan teman dekat yang menikmati kebersamaan
satu sama lain dan seringkali menikmati bersepedah dan menjelajah bersama-sama.
Dari kami berlima, hanya aku yang masih suka berpetualang, dan akan terus
seperti itu sampai aku menua.
Petualangan khusus ini mendaratkan kami di Shidu,
sebuah pedesaan kecil jauh di pinggiran kota Beijing, China. Shidu terkenal
karena pemandangan yang indah, kegiatan petualangan, dan ketenangannya. Shidu
juga terkenal karena kaya akan cerita rakyat yang beragam, sebuah area di Asia
yang seringkali menarik minat crypto-zoologist dari seluruh dunia.
Jika kau tinggal cukup lama di suatu negara yang
asing, dan memberi cukup minat pada tradisinya, kau akan menjangkau lebih dalam
ke pondasi budayanya, belajar mengenai makanan dan sejarahnya serta cara
bersikapnya. Pada akhirnya kau akan menemukan aspek budaya yang seringkali
menjadi fitur yang sangat unik—dongeng dan cerita mengenai binatang dan hantu
yang bersembunyi di hutan atau di bawah tempat tidurmu. Goblin dan hantu yang
akan menghisap jiwamu melalui mulutnya, atau menyeretmu sampai kau berteriak
sambil menendang-nendang ke seluruh bumi sampai kau mencapai inti neraka. Kau
akan mempelajari kuburan dan ritual, takhayul dan mantra, kutukan dan hantu.
Hal semacam itu menambah pesona tersendiri pada suatu budaya dan budaya China
penuh dengan legenda semacam itu.
Aku telah di renggut dari realitas menuju ranah
legenda. Aku tak lagi skeptis pada bayangan di lemari atau suara berderik dari
loteng. Sekarang aku percaya bahwa ada orang-orang telah dirasuki atau diculik atau
diteliti atau dihantui atau dimakan atau dikotori dengan cara yang mengerikan
oleh sesuatu yang mengerikan pula. Kini aku tau bahwa hal itu memang nyata.
Tapi aku tak lagi takut. Aku hanya berharap bahwa ada Tuhan yang bisa memberiku
suatu bentuk kedamaian setelah cobaan ini berakhir...
Kami berangkat dari pusat kota Beijing sekitar
pukul 11 pagi, kami sangat bersemangat dan menyiapkan segala sesuatunya dengan
baik untuk 2 hari kedepan di gunung, berbekal beberapa makanan ringan, kamera,
dan semangat berpetualang. Ketika hutan beton di belakang kami perlahan memudar
dalam barisan kabut tebal yang acapkali menutupi kota, kami berlima menikmati
perjalanan panjang yang nyaman melalui pedesaan China, melewati padang terbuka
dan lautan gubuk-gubuk kayu reot, yang menjadi semakin jarang ketika kami
memasuki lembah dan ngarai miring yang memutari area barat daya Beijing.
Persinggahan pertama kami di rumah singgah, kami
bisa merenggangkan otot-otot kaki kami, cuci muka dan membuang barang-barang
yang tidak diperlukan. Aku sama sekali tak berniat untuk membuat kisah ini
menjadi cerita horror klise dengan membuat klaim palsu atas tuan tanah atau
peringatan dari penduduk setempat, karena tak satupun dari hal itu yang
terjadi. Tempat ini hanya rumah singgah biasa di pinggiran pegunungan biasa, di
huni oleh orang biasa yang menjalani kehidupan biasa. Tak ada yang spesial
tentang tempat ini dulu.
Setelah mandi kilat, satu gigitan makanan dan
satu batang rokok, kami masuk kembali ke dalam bis dan memulai perjalanan
singkat menuju ambang gunung, yang akan membawa kami menuju bagian paling tak
terjamah dari gunung ini. Pukul 5.20 sore, kami sampai. Sopir, orang lokal yang
berwatak keras namun menyenangkan, bilang pada kami untuk menelponnya 30 menit
sebelum minta di jemput. Kami menimpali dengan memberitahukan padanya kalau
pendakian kami akan berakhir sekitar pukul 9 malam.
Kupikir dia merasa khawatir sekarang.
Kami sengaja memulai pendakian agak terlambat
dari biasanya, untuk menghindari berpapasan dengan gerombolan wisatawan lain,
tapi nyatanya tak seterlambat biasanya. Cahaya matahari sudah memudar di
langit, tanda bahwa sebentar lagi pudaran cahaya akan segera di telan
kegelapan. Beberapa gerombolan pelancong terakhir muncul dari jalanan sempit di
depan, melihat kami dengan raut khawatir ketika dengan langkah terseok kami
melewati mereka. Kami sudah pernah melewati medan berat sebelumnya, jadi kami
tak terlalu memikirkan akibat dari pendakian malam nanti.
Satu jam pertama saat pendakian relatif ringan,
dengan ringan melangkah di atas lereng, dikelilingi oleh ukiran batu dan
simbol-simbol yang diterjemahkan dengan buruk. Seluruh kios dan pasar yang
mulanya menyertai perjalanan kami, sudah mulai jarang sekarang, menyisakan satu
atau dua penduduk yang mengumpulkan renda dan pernak-pernik murah untuk di jual
keesokan harinya. Kami berpapasan dengan beberapa orang saja,
mereka—lagi-lagi—melihat kami dengan pandangan khawatir seperti sebelumnya. Area
gunung ditelan oleh bayangan gelap, sementara bagian lain sedang menikmati
kilauan cahaya matahari terakhir.
Secara bertahap rute pendakian makin sulit dan
jalanan pun makin sempit, bersamaan dengan itu langkah kaki kami makin jarang.
Setelah satu jam setengah mendaki, kami menghampiri papan petunjuk lusuh yang
memberitahukan dimana posisi kami sekarang ini, dan jarak dari puncak gunung.
Tak terlalu jauh.
Satu-satunya suara yang terdengar hanya suara
kami yang berdiskusi tentang aktivitas esok hari—arung jeram dan berkuda.
Kesenjangan dalam percakapan akan menimbulkan keheningan yang mencekam. Bahkan
disini tak ada suara keresak pepohonan, derik jangkrik, ataupun kicau burung.
Hanya keheningan. Bahkan suara langkah kaki kami pun tenggelam oleh luasnya gunung.
Makin dekat dengan puncak gunung, kami mampir ke
pagoda tradisional kecil. Jalan bercabang dua disini. Satu mengarah lurus ke
depan, mengarah ke atas gunung menuju puncaknya. Aku ingat dari peta kalau
jalan ini juga merupakan rute keluar, yang akhirnya melandai turun dan memotong
jalan dekat dengan lembah. Jalan yang satunya lagi menyimpang di sisi kanan kami.
Jalan ini bernama “jalan awan”, curam dan membimbing menuju dataran setinggi
200 meter.
Kami menghabiskan beberapa saat untuk berunding,
apa harus mengambil jalan kecil untuk melihat matahari terbenam dari salah satu
dataran tinggi di gunung. Sarah dan Thomas, dua dari kami, memutuskan untuk
beristirahat di Pagoda. Sisanya, dengan asumsi bahwa mereka ingin ketenangan,
mengambil nafas dan mulai berjalan menuju dataran tinggi.
Tak banyak jalan memutar, kira-kira 10 menit tiap
jalannya, tapi tetap melelahkan. Tak satupun dari kami berbicara banyak di
perjalanan, jalanan terlalu bergelombang sehingga susah untuk bercakap-cakap,
tapi di puncak dataran tinggi, kami di suguhi pemandangan alam yang
mengagumkan. Gunung-gunung membentang sejauh mata memandang. Bahkan dalam
keremangan cahaya, aku bisa melihat kejauhan. Jajaran perbukitan nampak sangat
panjang dan tanda-tanda awal musim panas mulai tampak di sepanjang lereng. Kami
menghabiskan 5 menit lebih untuk beristirahat. Aku menikmati rokok perayaan,
beristirahat di bawah cemara dimana dataran tinggi itu berada, mengagumi pemandangan
indah di depanku.
Mataku tak bisa beralih dari pemandangan itu.
Bukit-bukit nampak memutar dan beriak di sekitarku, bukan dengan cara yang mengancam,
namun dengan tampilan yang megah dan indah. Hingga temanku—Jay—menyenggolku
hingga aku terbangun dari khayalanku, menekan puntung rokok ke tanah dan
memulai perjalanan kembali menuju ke Pagoda.
Saat ini Matahari menggantung sangat rendah,
menghilang ke balik jajaran Gunung ketika kami turun ke bawah. Secara perlahan,
Pagoda mulai muncul dari balik semak-semak. Sarah dan Thomas tak lagi ada
disana. Perkiraan pertamaku adalah bahwa mereka menghampiri panggilan alam dan
pergi ke semak-semak terdekat, atau mungkin saja mereka telah melnajutkan
perjalanan tanpa kami.
Lalu Clare melihatnya. Lalu dia menjerit. Lalu
kami semua melihatnya.
Sebuah kepala manusia, tumbuh panjang, rambut
kusut berwarna pirang dengan sepuhan darah tergeletak di areal belakang Pagoda.
Potongan daging nampak akan terlepas dari tempatnya semula. Seolah-olah di buat
menggunakan benda tumpul, atau mungkin oleh cakar hewan raksasa. Sudah jelas
kalau itu adalah kepala Sarah. Sisa tubuh yang lainnya tak terlihat. Coretan
panjang merah mengotori lantai kayu Pagoda, mengarah jauh ke arah dedaunan.
Mataku bergeser dari kekacauan berdarah ini menuju ke arah kiri depanku, dimana
potongan rahang tergeletak ganjil disana. Urat daging beludru nampak mencuat
dari sesuatu. Apapun atau siapapun itu pastilah telah menyobek paksa dari pemiliknya
dengan gerakan kilat dan kekuatan luar biasa.
Aku mulai merasakan asam di pangkal lidahku,
seakan sisa-sisa makananku memaksa keluar melalui perut ke kerongkongan. Aku
hampir tak bisa membedakan antara suara teriakan temanku dan suara muntahan
yang bercampur empedu yang keluar dari mulutku. Perutku telah mengosongkan
dirinya sendiri, hidung dan mataku pun demikian. Seseorang meraih bahuku dan
meneriakkan kata-kata gila nan samar. Secara naluriah kakiku membawaku keluar
dari mimpi buruk menuju jalan yang belum terjelajah di depan.
Suara nafas berat dan langkah-langkah janggal
menggema melalui pepohonan dan memantul di permukaan batu ke arah kami. Senja
mulai menghilang, dan beberapa bintang bersinar dalam kegelapan di atasku. Kami
berlari selama beberapa menit, dan jatuh di semak-semak saat kami benar-benar kehilangan
arah, semata-mata kami berlari tanpa tujuan karena didorong oleh adrenalin kami.
Jalanan sangat sempit disini, hampir tidak ada cukup
ruang bagi dua orang untuk berdiri berdampingan. Aku melirik melewati bahuku, memastikan
bahwa yang lain berjalan tak jauh di belakangku. Raut panik mereka hanya
membuatku makin ketakutan. Setelah berlari selama dua puluh detik, kami
diarahkan pada belokan tajam ke arah kiri di sekitar tumpukan bebatuan besar,
setelah itu aku berhenti—membeku.
Ketakutan adalah emosi yang susah untuk di
gambarkan. Hal yang dapat di telusuri sejak spesies manusia paling awal
terbentuk. Rasa takut membuat bulu kami merenggang sehingga sosok kami menjadi
menakutkan. Ini perintah untuk melawan atau naluri untuk bertahan, di rancang
untuk menjaga eksistensi kita saat berhadapan dengan sesuatu yang mengancam.
Takut juga dapat melumpuhkan manusia, reaksi terhadap rangsangan hal-hal menakutkan
yang kurang di pahami oleh orang-orang yang mempelajarinya.
Reaksi terakhir, menjadi lumpuh, adalah respon
tak menguntungkan saat berhadapan dengan terror di luar sana. Jalan di depan
sangat panjang dan sempit. Jalanan itu dikelilingi oleh pepohonan, sebagian
besar menggantung rendah di sepanjang garis jalan. Kira-kira 100 meter jauhnya
di jalanan sempit, tengah berdiri—atau lebih tepatnya “membungkuk”—seuatu sosok.
Aku berkesimpulan bahwa itu bukan manusia. Dia terlalu tinggi, mungkin
tingginya mencapai 8 kaki, bahkan dengan posturnya yang bungkuk itu. Lengan dan
kakinya sangat tidak proporsional,memanjang hampir ke tanah. Aku tak terlalu bisa
menggambarkan, terlalu gelap, hanya bisa menangkap bentuk badannya. Satu hal
yang aku perhatikan, bagaimanapun, adalah bahwa ia menggenggam sesuatu di
tangan kanannya. Dari sesuatu itu menetes cairan yang sangat kental, menetes
dan menggenang ke tanah di bawahnya.
Aku yakin jika temanku yang lain juga menyaksikan
penampakan mengerikan yang sama denganku ; aku bisa merasakan mereka berdiri
tak jauh dariku. Bahkan di saat seperti ini, kedekatan kami menimbulkan sedikit
rasa aman. Aku tak yakin sudah berapa lama kami berdiri disana. Mungkin sudah
beberapa menit lamanya. Aku tak tau bagaimana, tapi aku yakin sedang mengamati
apapun itu yang ada di depan sana. Kehampaan memenuhi area tersebut, seperti
sebuah tirai kegelapan, sangat janggal.
“Dia” menjatuhkan sesuatu yang ia genggam di sela
cakar-cakarnya, merenggangkan jemari kurusnya hingga menggaruk tanah. Objek
itu, yang aku pikir merupakan potongan daging, berhamburan ke tanah. “Makhluk”
itu mulai mengerang ketika ia bergerak.
Lalu “dia” mulai berlari ke arah kami. Aku
bergegas menggerakkan kakiku ke arah berlawanan, mendorong temanku yang lain
dengan egois hanya agar aku bisa berlari lebih dulu. Kini “Makhluk”itu memekik.
Suaranya membuat bergidik ketika ia
makin dekat. Aku telah berlari selama beberapa detik ketika aku mendengar suara
jeritan yang berbeda. Aku hanya bisa menebak-nebak jika makhluk itu menangkap
Jay, dari jeritan lemah itu—jelas jika itu suara lelaki—memenuhi telingaku,
segera diikuti oleh suara gedebuk yang keras. Tiba-tiba jeritan Jay dipotong
oleh suara keretakan keras yang menggema. Tentu saja itu bukan suara patahan
ranting pohon.
Air mata memburamkan penglihatanku, membuatku
susah untuk menentukan arah di jalan yang bergelombang. beberapa lirikan
sekilas ke belakang membuatku yakin jika Clare berada tak jauh di belakangku.
Melihat lebih jauh ke belakang Clare, aku bisa melihat makhluk itu duduk di atas
dada Jay dan dengan buas menggerogoti wajahnya. Aku melihat lebih lama sekali lagi,
dan melihat makhluk itu mencongkel bola mata jay dengan giginya. Ilusi
mengerikan terpampang di depanku, sebelum akhirnya mata itu terlepas dan memantul.
Makhluk itu seperti anak kecil yang sedang memainkan sesuatu. “Dia” menelan
mata Jay bulat-bulat, mengirim benda itu ke dalam perutnya.
Aku menoleh lagi ke arah Clare kali ini, wajahnya
sangat berantakan—make up-nya bercampur keringat dan air mata. Perutku terasa
mual lagi tatkala menyadari makhluk itu telah hilang dari penglihatanku. Mayat Jay
yang terkoyak masih berhamburan di tanah. Aku berteriak keras pada Clare.
“DIA MENGHILANG, DIA MENGHILANG”
Clare bergegas menoleh kebelakang, memastikan apa
perkataanku benar atau tidak. Saat itu juga, kakinya tersandung akar besar yang
menggeliat di atas tanah. Aku berhenti, hanya sekilas melihat kejadian kilat
saat tubuh layaknya boneka terguling ke tepi jurang sebelah kirinya. Aku tak
bisa melakukan apapun, kecuali hanya berdiri dan mendengar teriakan teredam
saat ia terjatuh dan menghempas dedaunan di bawahnya. Jurang curam itu
kira-kira 20 meter dalamnya, di penuhi bebatuan tajam dan pepohonan.
Saat itu aku membuat keputusan untuk
menyelamatkan diri, melanjutkan perjalanan tanpa Clare. Walaupun dia selamat di
jurang, makhluk itu akan tetap memburunya. Aku kembali ke arah sebelumnya,
melewati Pagoda, serta sisa-sisa potongan kepala dan rahang. Aku jatuh beberapa
kali, cukup menyakitkan.
Aku terus berlari sampai tubuhku benar-benar tak
sanggup untuk berlari lagi, dan ambruk ke atas tanah. Dada dan kepalaku
terantuk keras untuk pertama kalinya sejak peristiwa mengerikan itu terjadi. Aku
punya beberapa detik untuk menguraikan semua kejadian barusan. 3 dari 4 temanku
pasti telah mati, sedangkan nasib Clare belum jelas. Makhluk itu bergerak dengan
sangat cepat, seolah-olah mempunyai kemampuan indera layaknya manusia super. Apa
hanya ada satu di antara mereka? Ataukah ada sekumpulan klan monster di daratan
tak tersentuh di China? Memikirkan sekumpulan
makhluk janggal masih ada di luar sana membuatku ngeri.
Aku menjerit pelan saat ponselku bergetar di
kakiku. Aku segera memungutnya dari saku celanaku, supaya benda terkutuk ini
diam dan menggunakannya untuk meminta bantuan. Sekarang aku hanya punya satu
kesempatan. Clare menelponku. Aku segera menjawab dan menempelkannya ke
telingaku. Dia menangis, sangat memilukan. Di sela isakannya, aku bisa
mendengar ia berbicara,
“Kenapa kau meninggalkanku? Kenapa kau
meninggalkan aku? Kenapa?”
Dan lalu,
“Makhlu itu ada di sana. Dia disini. Dia hanya
berdiri. Mengawasiku. Dia hanya berdiri disana. Tepat di depanku.”
Sebuah pekikan, jeritan, dan suara pukulan yang
memuakkan menggema melalui speaker. Aku bergegas berlari menuju ke dalam celah kecil
di sisi gunung gunung, di balik semak-semak, dan membenamkan wajah ke lutut. Suara
mengerikan itu terus menggaung dari speaker ponsel—yang aku geletakkan begitu
saja ke atas tanah didepanku. Sesaat kemudian, hanya ada keheningan. Lalu suara
endusan yang mendadak mematahkan kesenyapan. Suara deritan dari makhluk itu. “Dia”
memegang ponsel itu untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengeluarkan suara
lengkingan, menjatuhkannya dan berlari menembus malam.
Aku melempar ponselku. Merogoh ke dalam tas
ransel untuk mengambil satu buah rokok dan iPad.
Aku telah menghabiskan 30 menit terakhir untuk
merokok dan mengabadikan kata-kata terakhirku. Sudah hampir waktunya. Aku tak
takut lagi, karena aku tau semua akan segera berakhir. Siapa saja yang membaca
ini mungkin berpikir kalau aku gila, hanya duduk dan menunggu datangnya
kematian, alih-alih berusaha untuk menyelamatkan diri.
Aku tak tau kenapa aku tidak berkeliaran di
tengah malam untuk melarikan diri ; aku hanya merasa nyaman sehingga aku hanya
duduk dan menunggu. Aku tak takut lagi.
Makhluk itu disini sekarang. Aku mendengar
langkah-langkah kaki pelannya beberapa menit yang lalu. Kini “dia” berdiri
kira-kira setengah meter dariku, di sisi lain dari semak ini. Aku bisa melihat
kakinya yang pucat, bersisik, dan teramat kurus dari sela-sela semak belukar. Aku
bisa melihat cakarnya yang berwarna merah tua menggantung bebas di sisi
tubuhnya, hampir menyentuh tanah. Aku bisa mendengar suara keretakan dan
nafasnya yang tertahan. Aku bisa mencium bau bulunya yang tebal dan darah
kering yang mengitari wajahnya. Sekarang giliranku, dan aku sama sekali tak
takut.
...
2 komentar:
Hohoho, siang2 bacanya ga berasa, tapi kalo malem2 pasti ngeri =='
dan akoh mengutuk kemampuan visualisasiku, hiiiy... Ngeri sekaligus ngilu pas part yg di pagoda >,<
Mikirin uratnya yang berwarna ungu kebiru-biruan xD
Posting Komentar