Rabu, 28 Januari 2015

[cerita terjemahan] This is My Goodbye



This Is My Goodbye
Credit to Sabrina S—Creepypasta
Originally Translated by Rain
Rating : 8.3/10



Pembaca yang tersayang,
Saat aku masih kecil, aku tinggal di sebuah lingkungan kecil dimana orang-orang kenal satu sama lain. Tipe  seperti: rumah-rumah di pinggiran kota, masing-masing beranggotakan seorang ibu, seorang ayah, dan satu atau dua anak-anak kecil. Lingkungan yang seperti itu, dimana matahari selalu bersinar terang dan bahkan saat musim dingin bersalju terasa seperti musim panas.
Aku tinggal di salah satu rumah berbata merah tepat di tengah-tengah persimpangan berbentuk T. Terdapat sebuah jalan; jika ke kiri menuju ke jalan buntu; jika ke kanan menuju ke jaringan jalan-jalan kecil; dan jika lurus, mulai dari tengah-tengah jalan terdapat jalan kecil dengan rumah-rumah di kedua sisinya.
Saat aku masih berusia lima tahun, aku pergi memotong rambut ke rumah salah satu tetangga. Teman keluargaku yang tinggal di lingkungan kami menyarankan pada ibuku soal si penata rambut tersebut, dan, saat mendengar kalau orang itu punya anak perempuan seumuranku, aku langsung setuju untuk di ajak kesana.
Walaupun lingkungan kami banyak anak-anak kecil, namun populasinya kebanyakan terdiri dari anak laki-laki, dan aku tak cocok dengan mereka. Salah satu dari sedikitnya anak perempuan di daerahku telah pindah saat umurku empat tahun. Ada anak perempuan lain yang pernah dekat denganku, terlalu dekat sampai-sampai dia mencuri mainan tepat di depanku. Setelah itu kami tak bertegur sapa. Tapi, dengan potong rambut nampaknya aku punya kesempatan untuk punya sahabat baru seperti yang sudah Barbie katakan padaku saat itu. Aku sangat bersemangat.
Si penata rambut tinggal di sisi kanan jalan utama, sangat dekat dengan rumahku. Dalam beberapa menit, aku dan ibuku sudah sampai disana.
Kami menekan bel dan menunggu dengan sabar sampai pintunya terbuka. Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka dan menampakkan wajah si penata rambut.
Si penata rambut adalah wanita yang nampak muda dengan kulit halus dan sebuah senyum yang amat hangat. Warna rambutnya serupa susu coklat sementara matanya seperti warna madu. Dia menampakkan keramahan dan kebaikan hati, dan mudah bagiku menebak bahwa dia punya suami dan dua anak-anak yang penyayang. Untuk menjaga privasinya, kupanggil dia Helena.
Helena memandu kami mauk ke rumah, lalu menuju basement, tempat yang penuh dengan perabotan yang berbau harus dan penuh dengan boneka. Tepat di sisi kiri tangga ada basement dimana—studio—tempat kerja Helena berada.
Masuk ke dalam studio—sebuah ruangan dengan lampu kuning terang dan bau menyengat dari produk sampo dll—Helena dan ibuku tertawa-tawa berdua sampai membuatku sedikit bosan, dan kuanggap itu sebagai pertanda baik.
Helena membantuku untuk duduk di kursi dan mulai memotong rambutku di depan ibuku. Kira-kira 20 menit berlalu, aku punya poni yang rapi dan rambut hitam panjang sebahu, orang tuaku akan menyukainya.
Aku berterima kasih pada Helena saat dia membantuku bangkit dari kursi. Aku mulai gelisah saat itu. Sepanjang waktu aku terus memikirkan pertemuan dengan teman baru, tapi aku tak melihat anak perempuan yang disebut-sebut itu. aku khawatir, lalu seolah-olah Helena mengerti, dia berkata, “Kau tau, ku pikir putriku akan menyukaimu.”
Aku mendongak ke arahnya, barangkali saat itu bola mataku membesar. “Bisakah aku menemuinya?” kataku, sedikit malu sembunyi di belakang kaki ibuku. Aku tak terlalu suka jadi pusat perhatian, dan bahkan hingga sekarang masih seperti itu.
Helena tertawa sambil meraih tanganku, “Tentu saja, asalkan ibumu mengizinkan.” Katanya, melirik ibuku sekilas.
Helena tersenyum lagi, menggandeng tanganku, dan menuntunku ke lantai atas, melewati ruang utama lalu ke bekas loteng dengan kerpet di lantainya.
Dia menuntunku ke lorong lalu ke pintu kedua dari kanan, dimana, banyak bertebaran boneka Barbie dan aksesorie Polly Pocket, disanalah anak perempuan itu. dia sedikit tembem, dengan pipi bulat dan mata lebar dengan warna yang sama seperti ibunya. Rambutnya berwarna coklat keemasan, diikat kebelakang menjadi kunciran kecil. Nampaknya ia bisa jadi sahabatku.
Aku berjalan ke dalam ruangan, malu-malu, mengamati mainan-mainan berserakan di lantai. Dia melihatku datang dan duduk di sebelahnya.
“Hai.” Kataku, gugup, sambil tersenyum. “Namaku Sabrina.”
“Halo!” Katanya, tiba-tiba nampak gembira dengan kedatanganku. “Aku Sharon! Mau lihat Barbie Fairytopia-ku?”
Aku ingat, aku tercekat saat dia berkata begitu. Bukan karna aku memulai dengan teman baru, tapi karena dia punya Barbie yang tak bisa aku punya waktu itu. aku ingin melihatnya.
“Iya.” Kataku, masih malu. Tak pernah seorangpun bisa secepat ini akrab denganku, jadi rasa maluku adalah campuran dari perasaan gugup dan insting untuk waspada.
Sharon melompat, tertawa, dan berlari menuju lemari yang dia jejali dengan mainan. Dia serahkan boneka itu padaku, membiarkanku melihatnya.
Itulah saat dimana aku menemukan sahabatku.
Sharon dan aku tetap bersahabat selama beberapa tahun, sampai kelas dua, Ayahnya mendapat pekerjaan di Newfoundland. Dia pindah di bulan Maret tahun itu, dan aku ditinggalkan, menjadi anak paling kesepian saat SD.
Aku sangat buruk untuk memulai pertemanan, tak seorangpun ingin mengajakku bermain lompat tali saat istirahat, atau dekat dengan mereka saat di kelas. Seolah-olah aku tak bisa menemukan seorangpun untuk kujadikan teman kecuali Sharon.
Namu, di bulan Juni saat aku kelas dua, Sharon menelponku dari Newfoundland, dia berjanji akan mengunjungiku di musim panas. Berita yang menggembirakan, aku menunggu, menyiapkan kamarku dan barang-barangku untuk bulan depan saat dia datang. Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Sharon mengunjungiku dan menelponku selama beberapa tahun setelahnya. Karena jadwal liburan ayahnya sangat sedikit, dia jarang mengunjungiku, tapi dia menelponku hampir setiap minggu.
Aku mempunyai teman lain di tahun yang sama saat Sharon pindah. Luar biasa. Aku di kelilingi oleh orang-orang yang menyayangiku apa adanya, ditambah lagi satu teman, walau mereka berada berkilometer jauhnya, namun terasa sangat dekat bagiku.
Kami saling berkirim surat, menelpon, berkirim e-mail, seringkali menelpon dan berkirim SMS, melewati jarak 9 yard. Kami mengobrol sepuasnya. Dia mengirimiku foto dan video, dan aku juga sebaliknya. Dia harus tau temanku di sekolah, dan aku juga harus tau teman-temannya. Seolah-olah dia sama sekali tak pernah pindah.
Lalu, entah kenapa,dua tahun yang lalu saat aku kelas 9, dia berhenti menelpon. Aku sangat khawatir. Ku coba menelpon rumahnya, tapi tak seorangpun pernah menjawab. Membuatku berpikir kalau dia melumpuhkan panggilan di luar area, ku telpon ponselnya, namun malah tersambung di voicemail. SMS tak pernah di balas, surat tak pernah datang. Tak ada penjelasan apapun soal apa yang terjadi pada temanku.
Teman sekolahku mencoba menghiburku, katanya mungkin saja temanku mengubah nomor telepon rumahnya atau pindah rumah lagi. Aku percaya, dan mencoba bangkit. Tapi sebagian diriku masih terikat olehnya, berharap dia akan menghubungiku lagi.
Aku khawatir aku telah membuatnya marah dan membuatnya tak menyukaiku. Aku terus berpikir soal hal terakhir yang aku katakan padanya, tapi seingatku tak ada kata-kata yang salah. Aku tersesat, tak tau bagaimana mengembalikan salah satu sosok terbaik dalam hidupku.
Hal ini berlangsung selama dua bulan, sampai suatu hari, akhirnya aku mendapatkan SMS darinya.
Semangatku bangkit. Aku bisa ngobrol dengan sahabat terlamaku lagi. Aku merasa hidupku lengkap lagi. Tak bisa kujelaskan dengan kata-kata perasaan yang kurasakan saat dia menghubungiku lagi. seperti beban berat terangkat dari pundakku. Aku bisa berdiri lebih tinggi, dan bernafas lebih dalam. Aku benar-benar senang, setelah dua bulan penuh kekhawatiran.
Kami ngobrol segalanya via SMSS. Dia bilang dia harus pindah lagi ke kota lain di Newfoundland dan tidak bisa roaming. Dia bilang jangan khawatir soal surat, karena kami punya ponsel. Masuk akal waktu itu, jadi aku tak ragu dan lanjut mengobrol dengannya.
Tak lama setelah itu, Sharon dan aku menjalani kehidupan kami seperti biasa. Hanya terbatas pada SMS untuk berkomunikasi, dan kadang kami mengirim email satu sama lain. Kami ngobrol soal sekolah, baju, cowok dan semuanya.
Suatu hari, di pertengahan-maret, kira-kira sebulan setelah Sharon mulai mengirimiku SMS, aku mendapat telepon.
Aku hafal kode area Newfoundland. Segera, aku berpikir bahwa Sharon yang menelpon, segera setelah dia bisa roaming. Kurasakan jantungku berdebar keras sekali, dan aku menjawab telponnya.
“Halo?” kataku sedikit gemetar, bercampur gelisah.
“Hai, Sabrina.”
Rupanya Helena. Kupikir dia menelpon untuk memberitau nomor telepon barunya dan aku bisa menelpon Sharon kapanpun aku mau sekarang.
“Ya, Halo nyonya Stevenson,” kataku, tersenyum. Senang mendengar suaranya. Aku lega, aku bisa bicara dengan Sharon segera.
“Hai juga, manis, bagaimana keadaanmu?”
“Sangat baik, ha ha, dan anda?” Kataku.
“Kami...baik, sepertinya. Sayang, aku menelponmu untuk mengatakan sesuatu , seharusnya aku langsung menelponmu segera setelah kejadian itu terjadi. Aku kesulitan mencari nomormu, tapi sekarang aku mendapatkannya, ha ha. Aku tau ini sedikit terlambat, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?” Kata Helena.
Aku ingat gumpalan liur yang tersangkut begitu saja di tenggorokanku. Setelah Helena berkata begitu. Mendadak aku punya firasat buruk.
“Ap—apa yang kau maksud, Nyonya Stevenson?” Tanyaku, suaraku bergetar.
“Aku menyesal harus memberitaumu soal ini, Sabrina, Sharon telah meninggal.”
“Apa?” kataku, suaraku jadi parau. Aku benar-benar tak percaya. Tak mungkin hal itu terjadi. Bagaimana bisa orang yang cantik, ramah, dan luar biasa seperti itu bisa meninggal. Aku shock.
“Kapan?” tanyaku. Saat itu aku menangis, sama sekali tak mencoba untuk menahan atau menyembunyikannya.
“Ini mengapa aku sangat menyesal, sayang. Dia meninggal tiga bulan yang lalu. Dia pergi berkendara dengan Derek (Derek adalah saudaranya) dengan ATV. Dia menabrak, tanpa bisa menghindarinya. Mengerikan. Aku sangat menyesal.” Kata Helena.
Tubuhku kaku. Kurasakan kengerian di sekujur tubuhku, kengerian dan kebingungan. Kengerian, dan penyangkalan.
Kukatakan pada diriku sendiri bahwa hal itu tak mungkin terjadi. Tak masuk akal. Aku telah mengobrol dengan Sharon lewat SMS selama 3 bulan terakhir. Membuatku berpikir sejenak dengan apa yang dikatakan Helena.
Sekarang aku lebih merasa takut daripada sedih. Aku khawatir karena aku berkirim SMS dengan seseorang yang harusnya sudah meninggal beberapa bulan lalu.
Ini artinya orang lain memegang ponsel Sharon dan menggunakannya. Tapi, bagaimana bisa? bukankah semua data di ponsel dihapus? Bagaimana si pencuri tau soal hubunganku dengan Sharon? Aku benar-benar ngeri.
“Helena?” kataku, suaraku gemetar.
“Ya?”
“Apa yang kau lakukan dengan ponsel Sharon?”
“Oh, kami kembalikan ke penyedia layanan telpon, nomornya, semuanya, kenapa?” tanyanya.
“Itu...itu... aku cuma penasaran.” Kataku.
Aku tak bisa mengatakannya. Aku tak bisa bilang pada Helena soal SMS itu. kemudian, kuucapkan salam perpisahan dengan sedih lalu ku tutup telponnya.
Lalu, kurasakan ponselku bergetar di sakuku.
Kurasakan jantungku berdebar, perutku melompat, dan buluku bergidik ngeri.
Ragu-ragu, dengan mata penuh air mata, ku ambil ponselku.
Di layar home terpampang bubble display bertuliskan, “Hai kau J bisakah aku mengunjungimu minggu depan? Saat liburan bulan Maret.”
Pengirimnya adalah Sharon.
Aku tak membalas SMSnya, tak pernah sama sekali sekarang.
2 tahun sudah berlalu, dan “dia” tak pernah berhenti mengirimi aku SMS. Aku telah memblokir nomor”nya”, tapi “dia” selalu berganti nomor tiap aku melakukannya. Aku telah berganti nomor, tapi “dia”—entah bagaimana—selalu bisa menghubungiku.
Yang lebih buruk lagi adalah “Sharon” tak lagi mengirim hal-hal baik seperti harapan-harapan baik atau gambar roti yang baru dipanggang. Malahan, dia menakut-nakutiku dan mengutukku, dengan bahasa kasar dan gambar yang mengerikan. “Dia” mengirim gambar orang yang tubuh yang terpotong-potong, dengan kalimat “Kau yang selanjutnya kalau kau tak membalas.”
Aku tak tahan lagi. aku tak mengerti kenapa hal ini harus terjadi. Aku tak tau siapa yang mengirim SMS, barangkali hanya orang gila  yang—entah bagaimana—memiliki ponsel gadis yang sudah meninggal, data-datanya, dan semuanya. Aku khawatir dengan diriku sendiri, dan keluargaku. Aku tak ingin dan tak berharap hal ini terjadi. Aku hanya ingin teman.
Aku menulis ini sekarang dengan harapan seseorang akan melihat laptopku dan mengunggah cerita ini entah dimana. Aku tak tau—terserah.
Jika kau membaca ini, berarti “Sharon” berhasil menemukanku dan aku sudah meninggal.
Katakan pada ibuku, ayahku dan saudaraku, maaf telah menyerah. Harusnya aku melawan. Tapi “mereka” menemukanku.
Aku ingin punya sahabat. Memang aku mendapatkannya, sahabat yang akan membawaku berakhir ke dalam pekuburan.
Sebagai saran terakhir, aku hanya bisa memperingatkan kalian, siapapun kau, berhati-hatilah pada apa yang kau harapkan, karena terkadang kau mendapat apa yang kau ingin, dan itu bisa jadi hal yang paling mengerikan yang pernah kau alami.
Tolong bilang pada ibuku, ayahku, dan saudaraku kalau aku menyayangi mereka. Ini kata perpisahakanku.

Penuh cinta,
Sabrina.

Tidak ada komentar: