This Is My Goodbye
Credit
to Sabrina S—Creepypasta
Originally
Translated by Rain
Rating
: 8.3/10
Pembaca yang tersayang,
Saat aku masih kecil,
aku tinggal di sebuah lingkungan kecil dimana orang-orang kenal satu sama lain.
Tipe seperti: rumah-rumah di pinggiran kota, masing-masing beranggotakan
seorang ibu, seorang ayah, dan satu atau dua anak-anak kecil. Lingkungan yang
seperti itu, dimana matahari selalu bersinar terang dan bahkan saat musim dingin
bersalju terasa seperti musim panas.
Aku tinggal di salah
satu rumah berbata merah tepat di tengah-tengah persimpangan berbentuk T. Terdapat
sebuah jalan; jika ke kiri menuju ke jalan buntu; jika ke kanan menuju ke
jaringan jalan-jalan kecil; dan jika lurus, mulai dari tengah-tengah jalan
terdapat jalan kecil dengan rumah-rumah di kedua sisinya.
Saat aku masih berusia
lima tahun, aku pergi memotong rambut ke rumah salah satu tetangga. Teman keluargaku
yang tinggal di lingkungan kami menyarankan pada ibuku soal si penata rambut
tersebut, dan, saat mendengar kalau orang itu punya anak perempuan seumuranku,
aku langsung setuju untuk di ajak kesana.
Walaupun lingkungan
kami banyak anak-anak kecil, namun populasinya kebanyakan terdiri dari anak
laki-laki, dan aku tak cocok dengan mereka. Salah satu dari sedikitnya anak
perempuan di daerahku telah pindah saat umurku empat tahun. Ada anak perempuan
lain yang pernah dekat denganku, terlalu dekat sampai-sampai dia mencuri mainan
tepat di depanku. Setelah itu kami tak bertegur sapa. Tapi, dengan potong
rambut nampaknya aku punya kesempatan untuk punya sahabat baru seperti yang sudah
Barbie katakan padaku saat itu. Aku sangat bersemangat.
Si penata rambut
tinggal di sisi kanan jalan utama, sangat dekat dengan rumahku. Dalam beberapa
menit, aku dan ibuku sudah sampai disana.
Kami menekan bel dan
menunggu dengan sabar sampai pintunya terbuka. Beberapa detik kemudian, pintu
itu terbuka dan menampakkan wajah si penata rambut.
Si penata rambut adalah
wanita yang nampak muda dengan kulit halus dan sebuah senyum yang amat hangat. Warna
rambutnya serupa susu coklat sementara matanya seperti warna madu. Dia menampakkan
keramahan dan kebaikan hati, dan mudah bagiku menebak bahwa dia punya suami dan
dua anak-anak yang penyayang. Untuk menjaga privasinya, kupanggil dia Helena.
Helena memandu kami
mauk ke rumah, lalu menuju basement, tempat yang penuh dengan perabotan yang
berbau harus dan penuh dengan boneka. Tepat di sisi kiri tangga ada basement
dimana—studio—tempat kerja Helena berada.
Masuk ke dalam studio—sebuah
ruangan dengan lampu kuning terang dan bau menyengat dari produk sampo dll—Helena
dan ibuku tertawa-tawa berdua sampai membuatku sedikit bosan, dan kuanggap itu
sebagai pertanda baik.
Helena membantuku untuk
duduk di kursi dan mulai memotong rambutku di depan ibuku. Kira-kira 20 menit
berlalu, aku punya poni yang rapi dan rambut hitam panjang sebahu, orang tuaku
akan menyukainya.
Aku berterima kasih
pada Helena saat dia membantuku bangkit dari kursi. Aku mulai gelisah saat itu.
Sepanjang waktu aku terus memikirkan pertemuan dengan teman baru, tapi aku tak
melihat anak perempuan yang disebut-sebut itu. aku khawatir, lalu seolah-olah
Helena mengerti, dia berkata, “Kau tau, ku pikir putriku akan menyukaimu.”
Aku mendongak ke
arahnya, barangkali saat itu bola mataku membesar. “Bisakah aku menemuinya?”
kataku, sedikit malu sembunyi di belakang kaki ibuku. Aku tak terlalu suka jadi
pusat perhatian, dan bahkan hingga sekarang masih seperti itu.
Helena tertawa sambil
meraih tanganku, “Tentu saja, asalkan ibumu mengizinkan.” Katanya, melirik
ibuku sekilas.
Helena tersenyum lagi,
menggandeng tanganku, dan menuntunku ke lantai atas, melewati ruang utama lalu
ke bekas loteng dengan kerpet di lantainya.
Dia menuntunku ke
lorong lalu ke pintu kedua dari kanan, dimana, banyak bertebaran boneka Barbie
dan aksesorie Polly Pocket, disanalah anak perempuan itu. dia sedikit tembem,
dengan pipi bulat dan mata lebar dengan warna yang sama seperti ibunya. Rambutnya
berwarna coklat keemasan, diikat kebelakang menjadi kunciran kecil. Nampaknya ia
bisa jadi sahabatku.
Aku berjalan ke dalam
ruangan, malu-malu, mengamati mainan-mainan berserakan di lantai. Dia melihatku
datang dan duduk di sebelahnya.
“Hai.” Kataku, gugup,
sambil tersenyum. “Namaku Sabrina.”
“Halo!” Katanya,
tiba-tiba nampak gembira dengan kedatanganku. “Aku Sharon! Mau lihat Barbie
Fairytopia-ku?”
Aku ingat, aku tercekat
saat dia berkata begitu. Bukan karna aku memulai dengan teman baru, tapi karena
dia punya Barbie yang tak bisa aku punya waktu itu. aku ingin melihatnya.
“Iya.” Kataku, masih
malu. Tak pernah seorangpun bisa secepat ini akrab denganku, jadi rasa maluku
adalah campuran dari perasaan gugup dan insting untuk waspada.
Sharon melompat,
tertawa, dan berlari menuju lemari yang dia jejali dengan mainan. Dia serahkan
boneka itu padaku, membiarkanku melihatnya.
Itulah saat dimana aku
menemukan sahabatku.
Sharon dan aku tetap
bersahabat selama beberapa tahun, sampai kelas dua, Ayahnya mendapat pekerjaan
di Newfoundland. Dia pindah di bulan Maret tahun itu, dan aku ditinggalkan,
menjadi anak paling kesepian saat SD.
Aku sangat buruk untuk
memulai pertemanan, tak seorangpun ingin mengajakku bermain lompat tali saat
istirahat, atau dekat dengan mereka saat di kelas. Seolah-olah aku tak bisa
menemukan seorangpun untuk kujadikan teman kecuali Sharon.
Namu, di bulan Juni
saat aku kelas dua, Sharon menelponku dari Newfoundland, dia berjanji akan
mengunjungiku di musim panas. Berita yang menggembirakan, aku menunggu,
menyiapkan kamarku dan barang-barangku untuk bulan depan saat dia datang. Aku tak
bisa menunggu lebih lama lagi.
Sharon mengunjungiku
dan menelponku selama beberapa tahun setelahnya. Karena jadwal liburan ayahnya sangat
sedikit, dia jarang mengunjungiku, tapi dia menelponku hampir setiap minggu.
Aku mempunyai teman
lain di tahun yang sama saat Sharon pindah. Luar biasa. Aku di kelilingi oleh
orang-orang yang menyayangiku apa adanya, ditambah lagi satu teman, walau mereka
berada berkilometer jauhnya, namun terasa sangat dekat bagiku.
Kami saling berkirim
surat, menelpon, berkirim e-mail, seringkali menelpon dan berkirim SMS,
melewati jarak 9 yard. Kami mengobrol sepuasnya. Dia mengirimiku foto dan
video, dan aku juga sebaliknya. Dia harus tau temanku di sekolah, dan aku juga
harus tau teman-temannya. Seolah-olah dia sama sekali tak pernah pindah.
Lalu, entah kenapa,dua
tahun yang lalu saat aku kelas 9, dia berhenti menelpon. Aku sangat khawatir. Ku
coba menelpon rumahnya, tapi tak seorangpun pernah menjawab. Membuatku berpikir
kalau dia melumpuhkan panggilan di luar area, ku telpon ponselnya, namun malah tersambung
di voicemail. SMS tak pernah di balas, surat tak pernah datang. Tak ada
penjelasan apapun soal apa yang terjadi pada temanku.
Teman sekolahku mencoba
menghiburku, katanya mungkin saja temanku mengubah nomor telepon rumahnya atau pindah
rumah lagi. Aku percaya, dan mencoba bangkit. Tapi sebagian diriku masih
terikat olehnya, berharap dia akan menghubungiku lagi.
Aku khawatir aku telah
membuatnya marah dan membuatnya tak menyukaiku. Aku terus berpikir soal hal
terakhir yang aku katakan padanya, tapi seingatku tak ada kata-kata yang salah.
Aku tersesat, tak tau bagaimana mengembalikan salah satu sosok terbaik dalam
hidupku.
Hal ini berlangsung
selama dua bulan, sampai suatu hari, akhirnya aku mendapatkan SMS darinya.
Semangatku bangkit. Aku
bisa ngobrol dengan sahabat terlamaku lagi. Aku merasa hidupku lengkap lagi. Tak
bisa kujelaskan dengan kata-kata perasaan yang kurasakan saat dia menghubungiku
lagi. seperti beban berat terangkat dari pundakku. Aku bisa berdiri lebih
tinggi, dan bernafas lebih dalam. Aku benar-benar senang, setelah dua bulan penuh
kekhawatiran.
Kami ngobrol segalanya
via SMSS. Dia bilang dia harus pindah lagi ke kota lain di Newfoundland dan
tidak bisa roaming. Dia bilang jangan khawatir soal surat, karena kami punya
ponsel. Masuk akal waktu itu, jadi aku tak ragu dan lanjut mengobrol dengannya.
Tak lama setelah itu,
Sharon dan aku menjalani kehidupan kami seperti biasa. Hanya terbatas pada SMS
untuk berkomunikasi, dan kadang kami mengirim email satu sama lain. Kami ngobrol
soal sekolah, baju, cowok dan semuanya.
Suatu hari, di
pertengahan-maret, kira-kira sebulan setelah Sharon mulai mengirimiku SMS, aku
mendapat telepon.
Aku hafal kode area
Newfoundland. Segera, aku berpikir bahwa Sharon yang menelpon, segera setelah
dia bisa roaming. Kurasakan jantungku berdebar keras sekali, dan aku menjawab
telponnya.
“Halo?” kataku sedikit
gemetar, bercampur gelisah.
“Hai, Sabrina.”
Rupanya Helena. Kupikir
dia menelpon untuk memberitau nomor telepon barunya dan aku bisa menelpon Sharon
kapanpun aku mau sekarang.
“Ya, Halo nyonya
Stevenson,” kataku, tersenyum. Senang mendengar suaranya. Aku lega, aku bisa
bicara dengan Sharon segera.
“Hai juga, manis,
bagaimana keadaanmu?”
“Sangat baik, ha ha,
dan anda?” Kataku.
“Kami...baik,
sepertinya. Sayang, aku menelponmu untuk mengatakan sesuatu , seharusnya aku
langsung menelponmu segera setelah kejadian itu terjadi. Aku kesulitan mencari
nomormu, tapi sekarang aku mendapatkannya, ha ha. Aku tau ini sedikit
terlambat, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?” Kata
Helena.
Aku ingat gumpalan liur
yang tersangkut begitu saja di tenggorokanku. Setelah Helena berkata begitu. Mendadak
aku punya firasat buruk.
“Ap—apa yang kau
maksud, Nyonya Stevenson?” Tanyaku, suaraku bergetar.
“Aku menyesal harus
memberitaumu soal ini, Sabrina, Sharon telah meninggal.”
“Apa?” kataku, suaraku
jadi parau. Aku benar-benar tak percaya. Tak mungkin hal itu terjadi. Bagaimana
bisa orang yang cantik, ramah, dan luar biasa seperti itu bisa meninggal. Aku shock.
“Kapan?” tanyaku. Saat itu
aku menangis, sama sekali tak mencoba untuk menahan atau menyembunyikannya.
“Ini mengapa aku sangat
menyesal, sayang. Dia meninggal tiga bulan yang lalu. Dia pergi berkendara
dengan Derek (Derek adalah saudaranya) dengan ATV. Dia menabrak, tanpa bisa
menghindarinya. Mengerikan. Aku sangat menyesal.” Kata Helena.
Tubuhku kaku. Kurasakan
kengerian di sekujur tubuhku, kengerian dan kebingungan. Kengerian, dan
penyangkalan.
Kukatakan pada diriku
sendiri bahwa hal itu tak mungkin terjadi. Tak masuk akal. Aku telah mengobrol
dengan Sharon lewat SMS selama 3 bulan terakhir. Membuatku berpikir sejenak
dengan apa yang dikatakan Helena.
Sekarang aku lebih
merasa takut daripada sedih. Aku khawatir karena aku berkirim SMS dengan
seseorang yang harusnya sudah meninggal beberapa bulan lalu.
Ini artinya orang lain
memegang ponsel Sharon dan menggunakannya. Tapi, bagaimana bisa? bukankah semua
data di ponsel dihapus? Bagaimana si pencuri tau soal hubunganku dengan Sharon?
Aku benar-benar ngeri.
“Helena?” kataku,
suaraku gemetar.
“Ya?”
“Apa yang kau lakukan
dengan ponsel Sharon?”
“Oh, kami kembalikan ke
penyedia layanan telpon, nomornya, semuanya, kenapa?” tanyanya.
“Itu...itu... aku cuma
penasaran.” Kataku.
Aku tak bisa
mengatakannya. Aku tak bisa bilang pada Helena soal SMS itu. kemudian,
kuucapkan salam perpisahan dengan sedih lalu ku tutup telponnya.
Lalu, kurasakan
ponselku bergetar di sakuku.
Kurasakan jantungku
berdebar, perutku melompat, dan buluku bergidik ngeri.
Ragu-ragu, dengan mata
penuh air mata, ku ambil ponselku.
Di layar home
terpampang bubble display bertuliskan, “Hai kau J bisakah aku
mengunjungimu minggu depan? Saat liburan bulan Maret.”
Pengirimnya adalah
Sharon.
Aku tak membalas
SMSnya, tak pernah sama sekali sekarang.
2 tahun sudah berlalu,
dan “dia” tak pernah berhenti mengirimi aku SMS. Aku telah memblokir nomor”nya”,
tapi “dia” selalu berganti nomor tiap aku melakukannya. Aku telah berganti
nomor, tapi “dia”—entah bagaimana—selalu bisa menghubungiku.
Yang lebih buruk lagi
adalah “Sharon” tak lagi mengirim hal-hal baik seperti harapan-harapan baik
atau gambar roti yang baru dipanggang. Malahan, dia menakut-nakutiku
dan mengutukku, dengan bahasa kasar dan gambar yang mengerikan. “Dia” mengirim
gambar orang yang tubuh yang terpotong-potong, dengan kalimat “Kau yang
selanjutnya kalau kau tak membalas.”
Aku tak tahan lagi. aku
tak mengerti kenapa hal ini harus terjadi. Aku tak tau siapa yang mengirim SMS,
barangkali hanya orang gila yang—entah bagaimana—memiliki
ponsel gadis yang sudah meninggal, data-datanya, dan semuanya. Aku khawatir
dengan diriku sendiri, dan keluargaku. Aku tak ingin dan tak berharap hal ini
terjadi. Aku hanya ingin teman.
Aku menulis ini
sekarang dengan harapan seseorang akan melihat laptopku dan mengunggah cerita
ini entah dimana. Aku tak tau—terserah.
Jika kau membaca ini,
berarti “Sharon” berhasil menemukanku dan aku sudah meninggal.
Katakan pada ibuku,
ayahku dan saudaraku, maaf telah menyerah. Harusnya aku melawan. Tapi “mereka”
menemukanku.
Aku ingin punya
sahabat. Memang aku mendapatkannya, sahabat yang akan membawaku berakhir ke
dalam pekuburan.
Sebagai saran terakhir,
aku hanya bisa memperingatkan kalian, siapapun kau, berhati-hatilah pada apa
yang kau harapkan, karena terkadang kau mendapat apa yang kau ingin, dan itu
bisa jadi hal yang paling mengerikan yang pernah kau alami.
Tolong bilang pada
ibuku, ayahku, dan saudaraku kalau aku menyayangi mereka. Ini kata
perpisahakanku.
Penuh cinta,
Sabrina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar