Sabtu, 20 April 2013

[cerita terjemahan] Concrete Voodoo -1-

CONCRETE VOODOO - 1-

Written By : Benedict J. Jones
Originally Translated By : Rain

Please take out with proper/full credit





Hantu tidak di lahirkan, Laurie, mereka diciptakan. Barang kali kita sendiri yang menciptakan mereka tiap hari, bukan tidak mungkin saat ini aku sedang membuat salah satu dari mereka saat menulis ini untukmu—tapi kita sudah menikah selama 48 tahun dan aku tahu jika kau kembali padaku, aku tak punya alasan apapun untuk merasa takut. Kau tak kan mungkin menjadi Hantu modern, Laurie, tak akan pernah.
Apa yang hantu modern inginkan? Apa yang mereka butuhkan? Mereka bisa saja merasa lapar, Laurie, Oh bisa sangat merasa lapar. Lapar akan kehidupan, pengakuan, lapar akan materi dan mereka bisa menjadi sangat lapar hingga apapun bisa menciptakan hantu-hantu itu. Jaman modern ini terlampau jauh berbeda dengan jaman kita, jaman ini ada begitu banyak momok-momok yang berbeda jauh dengan masa kita di waktu lampau. Aku yakin kau benci Bir dan Whisky yang aku minum sekarang, tapi seandainya kau bisa melihat apa yang aku lihat di luar jendela Flat kita, aku yakin kau akan memaklumi apa yang aku lakukan.
Hal ini di mulai pada siang itu, dua minggu yang lalu, aku dalam perjalanan pulang dari toko ketika aku melihat-“nya”, “Dia” terlihat seperti altar dari Dewa-Dewa yang terlupakan. Bunga abu-abu tergeletak di kaki tiang lampu jalan di sisi perumahan. Kaleng Lager (bir dengan kadar alkohol rendah) yang berdebu terikat di bawah sebuah foto dari seorang pemuda dalam balutan kantung plastik. Aku menarik nafas panjang, dan memalingkan muka. Hidup lain dari seorang pemuda yang terbuang sia-sia. Tak ubahnya Tuhan yang telah mengambil nyawamu, Laurie. Aku tahu kau tak suka jika aku berkata demikian, tapi kau pasti tau bagaimana perasaanku tentang semua itu. Aku mungkin telah berkunjung ke Gereja bersamamu dan menyanyikan lagu Gereja, serta menjabat tangan Pendeta, tapi kau tau apa yang telah ku lihat di Malaya benar-benar merubah cara pandangku terhadap sesuatu. Jika memang ada Tuhan di atas sana, dia tak lain hanyalah si Brengsek yang biasa.
Berulang kali aku mencoba untuk membuang pikiran tentang pemuda mati tempo hari jauh-jauh, tapi kemudian ribuan pertanyaan memberondongiku. Aku tak tahu kemungkinan ia mati karena tertabrak Truk, ditusuk, ditembak, dikeroyok atau mati karena overdosis tapi aku telah cukup banyak melihat nisan-nisan seperti itu bertebaran di masa lalu, atau hanya sekedar tahu bahwa benda itu adalah penanda dari suatu akhir. Hal itu terus berputar-putar di kepalaku tatkala aku hanya bermain-main dengan makan malamku ; pie keju dan kacang polong—Microwave adalah chef-ku sekarang, tentu saja tak sesering ketika kau masih disini, Laurie. Keadaan di batu nisan itu mengganggu pikiranku, bagaimana nisan tersebut nampak begitu terlantar. Aku datang untuk menjengukmu dua kali seminggu, Laurie, dan walaupun pengurus itu melakukan tugasnya dengan baik, aku sering menyapu guguran daun dari pusaramu dan memastikan bunga-bunga tetap segar. Lagi-lagi hal ini mengingatkanku pada nisan pemuda yang terlantar itu. Aku yakin ada pusara di suatu tempat, barangkali tertutup rangkaian bunga atau hadiah yang di rawat dengan baik, tapi nisan kecil di depan Flat kita nampak akan di hanyutkan oleh hujan di bulan November. Hal itu membuatku gusar. Aku meletakkan garpuku, dan ku putuskan jika pemuda itu tak akan terlantar. Aku bermaksud turun kesana dengan beberapa tangkai bunga atau sejenisnya besok.
Di sepanjang perjalanan menuju toko bunga, aku terus menimbang-nimbang sekiranya bunga apa yang harus aku beli untuk kenangan Pemuda seusianya. Aku berada separuh jalan dari toko bunga tatkala aku membayangkan diriku sendiri saat berumur 19 tahun di Malaya—bunga jenis apa yang harusnya aku inginkan? Tak ada, aku lebih suka minuman beralkohol—aku cukup banyak melihat bunga-bungaan di hutan, bunga merah darah di tengah hamparan lautan hijau. Saat itu aku mengerti kenapa seseorang meniggalkan kaleng Lager di bawah lampu jalan. Aku kembali berjalan ke perumahan, dan mampir ke Ahmed’s on the parade. Aku membeli dua koran dan sebotol kecil Brandy. Langit mulai mendung, jadi aku berbalik dan buru-buru menuju lampu jalan di mana nisan itu berada.
Aku berhenti ketika sampai di lampu jalan, sekilas melirik langit yang menggelap sebelum mengambil Brandy dan membuka segelnya. Setelah aku mencicipi Brandy itu, aku bersulang dengan foto pemuda itu, dan mencipratkan sebagian Brandy ke trotoar. Aku bersulang lagi, dan snifter untukku sendiri. Ketika aku meletakkan botol Brandy, 2 anak kecil, dengan tudung yang menutupi kepala mereka, tengah mengawasiku. 30 tahun lalu mungkin aku akan menatap mereka balik, namun saat ini tatapan anak-anak kecil itu membuatku ngeri, dan aku bukanlah diriku yang dulu. Ku masukkan Brandy itu ke dalam saku jaket, dan berjalan secepat mungkin ke Flat-ku. Hujan mulai turun lagi.
Brandy itu jatuh. Aku tahu, Laurie, aku tak seharusnya seperti ini, tapi jika tanpamu, apa yang bisa aku lakukan. Aku melihat keluar dari jendela di ruang tengah,  hanya terlihat tiang lampu jalan dimana nisan itu berada. Nampak seseorang telah membuang sampah di bawah foto pemuda tadi. Barangkali perbuatan orang dungu, setidaknya mereka bisa menunggu hingga hujan dan angin menghanyutkan foto itu. Sak sampah tersebut nampak acak-acakan  dan tak beraturan di bawah tempaan sinar oranye dari lampu jalan. Untuk beberapa waktu aku hanya melihat pemandangan itu, lalu mengambil 3 botol Brandy lagi. Ada seorang lelaki kecil menyeramkan berkeliaran di tengah malam begini, jadi aku tertidur di depan kotak kaca mata yang berpendar dan memimpikanmu, melihat apa saja yang kau lakukan ketika kita pertama kali bertemu.
 
TBC

berlanjut ke part 2 : [cerita terjemahan] Concrete Voodoo -2-

Tidak ada komentar: