CONCRETE VOODOO - 1-
Written By : Benedict J. Jones
Originally Translated By : Rain
Please take out with
proper/full credit
Hantu
tidak di lahirkan, Laurie, mereka diciptakan. Barang kali kita sendiri yang
menciptakan mereka tiap hari, bukan tidak mungkin saat ini aku sedang membuat salah
satu dari mereka saat menulis ini untukmu—tapi kita sudah menikah selama 48
tahun dan aku tahu jika kau kembali padaku, aku tak punya alasan apapun untuk
merasa takut. Kau tak kan mungkin menjadi Hantu modern, Laurie, tak akan
pernah.
Apa
yang hantu modern inginkan? Apa yang mereka butuhkan? Mereka bisa saja merasa
lapar, Laurie, Oh bisa sangat merasa lapar. Lapar akan kehidupan, pengakuan,
lapar akan materi dan mereka bisa menjadi sangat lapar hingga apapun bisa
menciptakan hantu-hantu itu. Jaman modern ini terlampau jauh berbeda dengan
jaman kita, jaman ini ada begitu banyak momok-momok yang berbeda jauh dengan
masa kita di waktu lampau. Aku yakin kau benci Bir dan Whisky yang aku minum sekarang, tapi seandainya kau bisa melihat apa yang aku lihat di luar jendela Flat
kita, aku yakin kau akan memaklumi apa yang aku lakukan.
Hal
ini di mulai pada siang itu, dua minggu yang lalu, aku dalam perjalanan pulang
dari toko ketika aku melihat-“nya”, “Dia” terlihat seperti altar dari Dewa-Dewa
yang terlupakan. Bunga abu-abu tergeletak di kaki tiang lampu jalan di sisi perumahan.
Kaleng Lager (bir dengan kadar
alkohol rendah) yang berdebu terikat di bawah sebuah foto dari seorang pemuda
dalam balutan kantung plastik. Aku menarik nafas panjang, dan memalingkan muka.
Hidup lain dari seorang pemuda yang terbuang sia-sia. Tak ubahnya Tuhan yang telah mengambil nyawamu, Laurie. Aku
tahu kau tak suka jika aku berkata demikian, tapi kau pasti tau bagaimana
perasaanku tentang semua itu. Aku mungkin telah berkunjung ke Gereja bersamamu
dan menyanyikan lagu Gereja, serta menjabat tangan Pendeta, tapi kau tau apa
yang telah ku lihat di Malaya benar-benar merubah cara pandangku terhadap
sesuatu. Jika memang ada Tuhan di atas sana, dia tak lain hanyalah si Brengsek yang biasa.
Berulang
kali aku mencoba untuk membuang pikiran tentang pemuda mati tempo hari jauh-jauh, tapi
kemudian ribuan pertanyaan memberondongiku. Aku tak tahu kemungkinan ia mati
karena tertabrak Truk, ditusuk, ditembak, dikeroyok atau mati karena overdosis
tapi aku telah cukup banyak melihat nisan-nisan seperti itu bertebaran di masa
lalu, atau hanya sekedar tahu bahwa benda itu adalah penanda dari suatu akhir. Hal
itu terus berputar-putar di kepalaku tatkala aku hanya bermain-main dengan
makan malamku ; pie keju dan kacang polong—Microwave adalah chef-ku sekarang,
tentu saja tak sesering ketika kau masih disini, Laurie. Keadaan di batu nisan
itu mengganggu pikiranku, bagaimana nisan tersebut nampak begitu terlantar. Aku
datang untuk menjengukmu dua kali seminggu, Laurie, dan walaupun pengurus itu
melakukan tugasnya dengan baik, aku sering menyapu guguran daun dari pusaramu
dan memastikan bunga-bunga tetap segar. Lagi-lagi hal ini mengingatkanku pada
nisan pemuda yang terlantar itu. Aku yakin ada pusara di suatu tempat,
barangkali tertutup rangkaian bunga atau hadiah yang di rawat dengan baik, tapi
nisan kecil di depan Flat kita nampak akan di hanyutkan oleh hujan di bulan
November. Hal itu membuatku gusar. Aku meletakkan garpuku, dan ku putuskan jika
pemuda itu tak akan terlantar. Aku bermaksud turun kesana dengan beberapa
tangkai bunga atau sejenisnya besok.
Di
sepanjang perjalanan menuju toko bunga, aku terus menimbang-nimbang sekiranya
bunga apa yang harus aku beli untuk kenangan Pemuda seusianya. Aku berada
separuh jalan dari toko bunga tatkala aku membayangkan diriku sendiri saat
berumur 19 tahun di Malaya—bunga jenis apa yang harusnya aku inginkan? Tak ada,
aku lebih suka minuman beralkohol—aku cukup banyak melihat bunga-bungaan di
hutan, bunga merah darah di tengah hamparan lautan hijau. Saat itu aku
mengerti kenapa seseorang meniggalkan kaleng Lager di bawah lampu jalan. Aku kembali berjalan ke perumahan, dan
mampir ke Ahmed’s on the parade. Aku
membeli dua koran dan sebotol kecil Brandy. Langit mulai mendung, jadi aku berbalik
dan buru-buru menuju lampu jalan di mana nisan itu berada.
Aku
berhenti ketika sampai di lampu jalan, sekilas melirik langit yang menggelap
sebelum mengambil Brandy dan membuka segelnya. Setelah aku mencicipi Brandy
itu, aku bersulang dengan foto pemuda itu, dan mencipratkan sebagian
Brandy ke trotoar. Aku bersulang lagi, dan snifter
untukku sendiri. Ketika aku meletakkan botol Brandy, 2 anak kecil, dengan tudung yang menutupi kepala mereka, tengah mengawasiku. 30 tahun lalu mungkin aku akan menatap mereka balik, namun saat ini tatapan anak-anak kecil itu membuatku ngeri, dan aku
bukanlah diriku yang dulu. Ku masukkan Brandy itu ke dalam saku jaket, dan
berjalan secepat mungkin ke Flat-ku. Hujan mulai turun lagi.
Brandy
itu jatuh. Aku tahu, Laurie, aku tak seharusnya seperti ini, tapi jika tanpamu,
apa yang bisa aku lakukan. Aku melihat keluar dari jendela di ruang
tengah, hanya terlihat tiang lampu jalan
dimana nisan itu berada. Nampak seseorang telah membuang sampah di bawah foto
pemuda tadi. Barangkali perbuatan orang dungu, setidaknya mereka bisa
menunggu hingga hujan dan angin menghanyutkan foto itu. Sak sampah tersebut
nampak acak-acakan dan tak beraturan di
bawah tempaan sinar oranye dari lampu jalan. Untuk beberapa waktu aku hanya
melihat pemandangan itu, lalu mengambil 3 botol Brandy lagi. Ada seorang lelaki
kecil menyeramkan berkeliaran di tengah malam begini, jadi aku tertidur di
depan kotak kaca mata yang berpendar dan memimpikanmu, melihat apa saja yang
kau lakukan ketika kita pertama kali bertemu.
TBC
berlanjut ke part 2 : [cerita terjemahan] Concrete Voodoo -2-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar