DéjàVu
By C.F. Ciccozzi
Originally translated by Rain
If you wanna copy this
translated-story, take out with full/proper credit
“Sial!”
Tanganku mengepal, aku berteriak, dan menendang Michelin kempes ini kelewat keras sampai rasa nyeri merambati
kakiku.
Sambil
terus merengek, aku mengambil ponsel dari dalam saku. Tak ada sinyal. Rahangku
berkeletuk, tapi sebelum aku sempat memuntahkan semua dugaanku, samar kudengar
suara ayah berbisik di telingaku : “Kau berdiri 2 jam di jalan raya yang sepi
dan kau masih bertanya-tanya kenapa ponselmu tidak bekerja dengan benar. Kau
pikir bagaimana bodohnya dirimu?”
Kepalaku
berputar-putar, nafasku tercekat di tenggorokan. Dia tak ada disana. Tak ada
siapapun—hanya kaktus-kaktus raksasa, hamparan pasir, dan bermil-mil jalan raya
yang sepi. Apa yang kulihat di segala penjuru hanyalah gelombang panas yang
berpendar di atas aspal. Mataku tertumbuk pada koper...masih tertutup, “Kuasai
dirimu!” kataku pada diri sendiri. Alih-alih mengepalkan tangan hanya untuk
menenangkan tubuhku yang menggigil.
Ketakutan
mengambil alih jantungku yang berdebar tak karuan dan perasaan tak menyenangkan
muncul tatkala aku menangkap sebuah gerakan di sudut mataku. Rupanya hanya
seekor kadal yang berjalan di atas pasir. Aku memungut sebuah batu dan
melemparnya ke arah hewan sialan itu, tapi sayangnya meleset. Aku benci benda
kecil itu.
Menyeka
keringat di ujung bibirku, aku berhti-hati agar tidak menyenggol tindikan yang
baru kubuat. Tunggu. Apa aku mendengar suara mobil?
Beberapa
saat kemudian, station-wagon berselimut
debu berhenti tepat disampingku. Seorang wanita yang membawa senapan
menampakkan kebengisan, ekspresinya kelewat muram. Sangat cocok dengan
penampilannya. Matanya yang kelam melebar, mengamati rambut hitamku yang tergerai
hingga alis yang ditindik, melewati hidungku, dan tiga tindikan di bibirku.
Tidak, nyonya. Aku TIDAK berdandan untuk pesta Halloween, pikirku, tapi aku
tetap tutup mulut. Bibir wanita itu terbuka. Matanya berlanjut mengamati blus
putihku dan rok seragam kotak-kotak yang aku benci dengan penuh minat. Kini mataya
beralih ke kaki kananku—kaki dengan gambar tato yang tidak sopan. Desisan nyata
terdengat saat ia menghirup udara melalui sela-sela giginya. Dia berbalik,
menggumamkan sesuatu, lalu memandang lurus ke depan.
Sungguh
reaksi yang menarik, walaupun lebih “lembut” ketimbang reaksi yang sering
ditunjukkan ayahku. Aku melirik, bekas memar terlihat di pergelangan tanganku,
mengingatkanku pada reaksi ayah terhadap karya seni Blasphemous.
Ingatan tentang kegusaran Ayah yang sangat menganggu membuatku tersenyum samar.
Si
Sopir menggerutu lalu meraih engsel jendela yang setengah terbuka. Mata birunya
nampak ramah. Dia tak lebih dari seseorang yang Bible katakan sebagai yang pantas untuk di hormati... tapi sesuatu
tentang lelaki berambut pirang membuatku tak nyaman. Ketukan tak kasat mata
terasa di pangkal leher dan menjalar sampai ke punggungku.
Saat
lelaki itu menawari tumpangan, aku ragu-ragu lalu menolak hanya dengan gelengan
kepala.
“apa
kau yakin?” ekspresinya nampak prihatin, tapi kata-kata berikutnya membuatku
terlihat sangat bodoh—hal yang tiap hari ayah tercintaku katakan, “jarak dari
sini ke kedua kota berikutnya sama-sama 3 mil, dari segala arah. Sangat tidak
bijaksana jika kau berkeliaran disini sendirian.”
Apa
urusannya dengan dia? tidak mungkin aku semobil dengan si brengsek itu! Aku mengambil
ponsel dan menggoyang-goyangkannya di udara. “Terima kasih, tapi aku baru saja
bicara dengan Ayahku. Dia akan tiba disini sebentar lagi.”
Dua
jam kemudian, dari arah belakang suara klakson mobil membuatku tersadar dari
tidurku yang tak tenang. Rambut kusutku menggantung di kening, aku beranjak
dari jok depan dengan marah. Dengan lengan terbuka, aku berteriak, “Apa?”
Seorang
lelaki gemuk dengan wajah aneh karena kumis keluar dari Escalade. Bentuk wajah orang itu mengingatkanku pada Casper si
Hantu yang Ramah, hanya saja dia berambut. Dia melihat ban mobilku yang kempes,
“Uhm.. sorry.” Katanya, seraya mengusap lehernya yang berpeluh. “Aku hanya
berpikir kalau-kalau kau butuh bantuan.”
Lelaki
itu punya pipi yang gemuk, mirip Ayah.
“Aku
sendirian,” Ujarnya sambil meletakkan tangan
di dada, “Tapi jangan khawatir, kau aman. Aku berhenti karena aku tak
suka melihat gadis yang kesusahan, apalagi jika ia mash sangat muda. Kau bahkan
terlihat tak cukup tua untuk menyetir.”
Salah
; aku berumur 15 tahun minggu lalu, tapi hal ini sama sekali bukan urusannya. Mengamati
wajahnya yang aneh, membuatku berfikir jika ayah berada disini dia akan
bertanya pada orang bodoh ini, betapa bodohnya dia mengendarai SUV jika mengendarai
Sedan jauh lebih baik. Ayahku pernah berkata pada tiap orang yang mau
mendengarkan, jika ia berkuasa, SUV tidak akan masuk dalam hitungan. Ya, jika
ia menguasai dunia, aku tak akan menjadi satu-satunya orang yang menderita di
dunia ini.
“Jika
kau ingin aku mengganti ban-mu, sebaiknya kau memberitahuku lebih awal.” Ujar
Casper, sambil menyilangkan tangannya di dada. Dia menggeduk-gedukkan kakinya. “Aku
harus segera melanjutkan perjalananku lagi, perjalananku masih panjang.”
Saat
ini, aku sama sekali tak ragu ; aku menggoyang-goyangkan ponselku dan bilang
kalau ayahku dalam perjalanan menuju kesini.
Sudah
terlampau siang sekarang, kekurangan air dan makanan membuat tubuhku lemas. Tengorokanku
teramat kering, dan mungkin saja aku mengalami sedikit dehidrasi. “Berapa lama
aku akan berada di neraka ini.” Kataku pada udara kosong. Suaraku yang serak
menandakan jika aku telah berteriak untuk kesekian kali. Walaupun aku sama
sekali tak ingat, aku harap aku bisa menahannya.
Dari
kaca spion, aku melihat sebuah mobil dari kejauhan. Aku keluar dari sedan
ayahku, membuka kap mobil lalu berdiri di samping pintu mobil. Angin sepoi-sepoi
bertiup entah dari mana, dan aku mencium bau busuk dari koper. Terimakasih untuk
hawa panas yang aneh ini dan ayahku yang menjengkelkan. Sebuah sedan hitam—dengan
hanya ada sopir di dalamnya, melewatiku dengan pelan. Untuk sekilas aku
berpikir ia takkan berhenti., tetapi lelaki itu berhenti dan mundur. Dia keluar
dari mobilny—dia tinggi, berambut merah, dan binti-bintik menghiasi wajahnya. Dia
terlihat serupa pria berumur 30 tahun-an, tapi kenapa ia mengingatkanku pada
sosok Ayahku?
“Kau
sendirian—di sepanjang jalan ini?” tanya lelaki itu, “Kau pikir betapa bodohnya
dirimu?!”
Tanganku
mengepal. Kebencian mengalir melalui urat darahku. Sesautu dari dalam diriku
berontak, dan mulutku terbuka, namun aku tak bisa bernafas. Seakan kaku, aku
melihat rambut merah lelaki itu berubah menjadi cokelat ke abu-abuan, dan aku
melihat mata hijau kelamnya beralih menjadi biru. Serta binti-bintik di
wajahnya menghilang, hanya menyisakan garis dan kerutan. Dia menghampiri
mobilku, dan mencabut kunci dari lubangnya, lalu bergerak di depanku dengan kaki
terseret, persis seperti yang Ayah lakukan tiap malam ketika aku beranjak
remaja. Aku agak lemas. Tiap langkah yang di lancarkan orang itu di depanku,
membuatku mundur satu langkah ke belakang. Darahku serasa mengalir cepat ke
telinga hingga kata-kata yang di ucapkannya tak sanggup aku dengar.
Apa
yang ku lihat hanya kebohongan, ayah sialan itu kini memojokkanku dari segala
penjuru...lagi! dia memutar mobil ke arah koper, kunci itu terangkat, siap
untuk di masukkan. Kunci mobil telah di masukkan. Ayah membungkuk dan memutar
kunci tersebut.
Sebuah
pisau berkilat lantaran terkena sinar matahari tatkala aku mencabutnya dari
sarung di pahaku. Senjata itu terlihat sangat bagus ketika aku menggenggamnya ;
bobot benda itu membuatku nyaman. Ku miringkan kepalaku, semua panca inderaku
seakan waspada ketika sekali lagi berhadapan dengan lelaki yang telah membuat
hidupku serasa di neraka. Perasaan lega seketika menguar saat suara kucuran
darah keluar dari tenggorokan lelaki itu. Dengan tangan pembunuhku, pisau itu
membuat garis yang rapi disana. Seketika aku menutup mata, menikmati saat-saat
menyenangkan ini.
Lalu
aku melihat kebawah, mendapati tubuh kusut yang tergeletak, sebuah tubuh dari
seseorang yang tinggi, berambut merah, dengan bintik-bintik di wajahnya. Dan darah.
Oh Tuhan, darahnya banyak sekali! Suara-suara acak memenuhi kepalaku, membuatku
menahan diri untuk tak berteriak lagi. Bingung, aku terus mengerjap-ngerjapkan
mataku hingga plat mobil ayahku mulai nampak dari kejauhan.
Tapi
tidak mungkin! Kami tidak pernah tinggal di Nevada.
Berbalik,
aku terjatuh lalu bergeser beberapa meter dari mayat tak berdaya tadi. Pertanyaan-pertanyaan
acak silih berganti memenuhi kepalaku : mobil siapa ini ... dan siapa lelaki
yang berada di dalam koper? Atau apakah memang ada lelaki di dalam koper?
Wajah-wajah
mati dari ayah dan enam lelaki lain nampak bergantian di kedua mataku. Suara-suara
di kepalaku bergaung lagi. Lalu, serupa melihat layar bioskop, gambar-gambar di
ingatanku mulai terlihat jelas, dan aku melihat diriku sendiri bersusah payah
memindahakan mayat-mayat dari sedan yang berbeda ke dalam koper. Penglihatanku kembali berubah. Seperti seseorang
telah menekan tombol forward dengan
cepat, dan aku terus menyetir sampai sedan itu kehabisan bahan bakar atau macet
di sisi jalan. Tiap aku menepi, ayahku selalu muncul dan tiap itu pula aku
menancapkan pisau ke tenggorokannya.
Apa
aku gila?
Ketika
pertanyaan-pertanyaan itu terus-terusan berputar, sebentuk cahaya menyorot dari
belakangku. Seketika perasaan takut menyergapku, tapi aku memaksa diriku
sendiri untuk mengambil kunci mobil dari tangan mayat lelaki berambut merah itu
dan membuka koper.
Aku
tak mengenali lelaki yang ada di dalam koper.
Tawa
ayahku bergaung sumbang di telinga ketika ia terus-terusan menyangsikan tingkat
kecerdasanku.
“Kau
brengsek!” Teriakku, “ Harus berapa kali aku membunuhmu hingga kau benar-benar
mati?!”
THE END
6 komentar:
Translatenya oke banget kok nee, tapi gak tau kenapa gak dapet feel pas baca tu cerita. Mungkin karena ceritanya ada sangkut pautnya dengan seorang ayah. Agak sensi gitu kalo ada sangkut pautnya sama beliau *curcol*
kalo bisa cari story yang lebih greget lagi yak nee:) hwaiting..ganbatte!
hollaaa~ tante ^^
weewww~ translate.annya udah ok kok tan. udah rapih ini, kesan terjemahannya dapet *yaiyalah* dan mudah di pahami *bagi saya #plak
kritiknya cuma.... Typosssss.. wkkwkwkwk XDD
sayang tan udah bagus tpi msi ad typos....
good job tan ^^
silahkan ngasih bahan, ntar aku yang translatin buat dee xD
ah iya, typos bertebaran... editingnya sembrono ><
makasih yura :*
Aku fikir tadinya cowok,karna kan pake tindik...tapi pas bilang pake blus baru deh ngeh hehe...tapi horor juga yah?6 orang dia bunuh tanpa sadar,dia trauma atau kenapa??uuuh bagus nih ceritanya, walau sayang ga ada clue masalalu si cewe itu sama ayahnya....tapi keep writing teh hehe...
#ini rifqi bukan yatixD
Kayaknya si tokoh ada dendam kesumat sama sosok ayah,
pas ngeliat orang lain jadi delusi, yang kebayang malah wajah ayahnya, jadi deh dia kalap trus ngebunuh mereka :D ada unsur paranoid juga disini..
Coba, dari beberapa monolog ada clue kenapa doi benci sama ayahnya kok..
Posting Komentar