Selasa, 02 Juli 2013

[Cerita terjemahan] In The Land of Black and White



In The Land of Black and White
Rating : 9.2/10
Credit—Stephan D. Harris
Originally translated by : RainiLa



“kebencian tak ubahnya kanker. Dia menggerogoti inangnya.
Sebaliknya amarah layaknya api. Dia membakar habis semuanya.”
-Maya Angelau-

Aku pernah mendengar satu anekdot, tentang gadis kecil bernama Madeline. Madeline kecil berumur 7 tahun, dengan rambut kastanye gelap dan mata birunya yang lebar. Saat itu semua orang berpikir kalau dia akan tumbuh jadi wanita yang cantik dan pintar. Maddie senang membaca buku, semua jenis buku; dongeng dan sejarah, fantasi dan misteri. Orangtuanya sangat bangga karena kepandaian, kecantikan dan keberaniannya, mereka tau dia sangat istimewa. Tapi mereka juga merasa takut. Kau lihat, Maddie kecil sedang sakit... sangat sakit. Dia jarang meninggalkan tempat tidurnya. Tapi dia punya setumpuk buku, dan kasih sayang dari kedua orangtua yang setia menemaninya. Dia berani untuk dirinya sendiri, dan juga mereka. Tentu saja, Maddie tak tau apa ada yang lebih baik dari itu semua.

Suatu hari, siang yang terik di bulan Desember (bukan malam gelap dan berangin di musim gugur), hanya beberapa hari setelah Natal, orangtua Maddie masuk ke kamar Maddie yang penuh dengan tumpukan buku, gulungan kertas berserakan, serta cahaya matahari yang membias melalui kaca jendela. Mereka berkata kalau mereka harus meninggalkan Maddie sendirian untuk sementara waktu. Tidak terlalu lama, hanya satu jam. waktu yang cukup untuk bertemu dengan dokter. Mereka berkata kalau mereka akan segera kembali, dan jika ada sesuatu, Maddie bisa menelpon mereka dengan telepon yang ada di meja berwarna merah, di dekat tempat tidurnya. Maddie tidak takut, dan dia tau, bukan ide yang bagus bergerak terlalu banyak. Dia hanya terlalu berani. Dia mendapat ciuman di kening dari ayahnya, dan ciuman di pipi dari ibunya. Maddie tersenyum, lalu meminta mereka untuk membuka jendela kamarnya jika bisa. Hari ini udara begitu hangat, dan langit juga terlihat biru cerah. Udara segar bisa jadi sangat bagus untuknya. Ayah Maddie membalas senyum Maddie saat dia membuka jendela.

“Ada yang lain?” tanya orangtua Maddie sebelum mereka pergi.

“Tidak, aku akan baik-baik saja,” Katanya. “Aku akan membaca buku.”

Lalu Maddie sendirian. Hanya sendiri di dalam rumah yang sangat luas, tak ada suara apapun kecuali bunyi dari mesin yang selalu memantau jantung Maddie. Dia berusaha untuk membaca buku, tapi cahaya matahari yang menerpa wajahnya membuat dia mengantuk. Maddie menutup matanya, dia tak tau sudah berapa lama. Tak terlalu lama untuk bermimpi, tapi cukup lama untuk membuang-buang waktu. Baginya itu hanya serupa kedipan mata, tak lebih. Tapi ia membuka mata bukan karena kemauannya sendiri. Suara burung gagak hitam memaksanya untuk terbangun dari tidur nyenyaknya. Baiklah, bukan hanya seekor gagak. Maddie juga merasakan udara hangat, terlalu hangat untuk bulan Desember. Saat bangun, dia melihat gagak itu bertengger di ambang jendela. Dia juga melihat sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatnya menjerit.

Kursi yang selalu ada di kamar Maddie, kursi yang sebelumnya selalu diduduki ibunya saat menjelang waktu tidur, kursi yang seharusnya kosong, diduduki oleh makhluk asing. Bagi Maddie, dia nampak seperti manusia, tapi juga tak terlalu mirip manusia sepenuhnya. Dia punya wajah, dengan mata dan sebuah mulut dan hidung dan yang lain, dan dia punya lengan dan kaki, persis seperti manusia. Dia bahkan mengenakan baju, setelan hitam dengan kemeja putih dan dasi ungu. Tapi makhluk asing ini—atau manusia—nampak ganjil bagi Maddie. Wajahnya punya semua organ yang seharusnya, tapi mereka nampak rusak dengan cara yang tak bisa dimengerti. Berkilat dan berwarna merah muda di beberapa tempat, sementara yang lain berwarna hitam dan dedas. Dia tidak punya bibir, dan hidungnya yang berupa dua lubang kecil yang mengembang dan mengempis saat dia bernapas. Matanya berwarna kuning dan cekung, tak pernah berkedip satu kalipun. Badannya, walaupun tidak pernah menjadi abu, mengeluarkan lidah api kecil di lengan dan wajahnya, mengobarkan cahaya panas. Bajunya berlumuran noda darah. Dia seperti korban kebakaran yang berhasil selamat sebelum api sempat padam. Mesin yang selalu memantau jantung Maddie berbunyi keras dan cepat. maddie lupa bagaimana cara menjadi berani.

“Jangan takut Madeline,” Kata lelaki berbaju hitam itu, suaranya terdengar seperti kuku yang menggores permukaan gelas, lebih serupa deritan daripada suara. “Aku kesini bukan untuk menyakitimu.”

“Siapa kau?” Tanya Maddie, tak terlalu takut sekarang.

“Aku Lazarus, dan aku orang yang jahat untuk alasan yang bagus.” Jawabnya. Asap perlahan-lahan keluar dari lidah api.dia nampak kesakitan, tapi ia tahan sebisanya.

“Lazarus.” Kata Maddie dengan lantang, mengeja persuku-kata dengan hati-hati. “Nama yang aneh.”

“Itu nama kuno. Sangat kuno, dari sebuah kisah yang sangat tua.” Matanya menyusuri wajah Maddie, mencari tanda-tanda ekspresi, tapi Maddie tak menunjukkan ekspresi apapun. Matanya beralih ke buku yang ada di pangkuan Maddie, Alice in Wonderland. “Kau suka cerita,” Maddie mengangguk. semua tau dia suka cerita. “Aku baru tau sekarang. Bisakah aku menceritakan padamu satu cerita? Kita punya waktu senggang.”

Maddie tak tau harus berkata apa. Dia pikir manusia api itu cukup ramah, walaupun dia sangat menakutkan. Tapi Maddie sendirian, dia sadar dia selalu sendirian. Dia tak pernah bertemu orang-orang baru,  jadi akan lebih baik jika Lazarus tetap tinggal. Dan lagi, dia suka cerita, bahkan yang buruk sekalipun.

“Baik,” Katanya, “Kau bisa mengisahkan padaku sebuah cerita. Tapi kau harus pergi sebelum ibu dan ayah pulang. Aku tak berpikir mereka akan menyukaimu.” Lazarus menarik napas dalam-dalam, sebuah desahan keluar dari mulutnya, dan hembusan asap keluar dari lubang hidungnya. Dia mengangguk setuju.

“Ada sebuah keluarga kelinci, ibu kelnci dan ketiga bayi kelici. Mereka tinggal di sebuah lubang di hutan. Mereka hidup bahagia. Bayi kelinci akan melompat dan bermain seharian dibawah bayangan popohonan atau di rerumputan tinggi di padang rumput yang cerah sedangkan ibunya mencari makan di hutan. Saat malam, mereka akan kembali ke lubang. Dan mereka akan tidur bersama-sama dalam kehangatan dan rasa aman. Mereka tidak pernah mengkhawatirkan apapun, selama masih ada banyak persediaan makanan dan hal-hal menyenangkan untuk dilakukan, dan mereka punya satu sama lain yang membuat mereka nyaman saat mereka sedih atau ketakutan. Hal yang bagus. Tapi suatu hari, saat mereka bermain di padang rumput, seekor rubah bersembunyi d rerumputan, menghampiri tiga kelinci kecil yang tak sadar dengan bahaya yang mengancam mereka. Ibu mereka muncul dari dalam hutan saat ia melihat rubah itu, namun jarak mereka terlalu jauh untuk memanggil ketiga bayinya. Dia sadar dia tak akan bisa menyelamatkan mereka tepat waktu, dan bahkan demikian, rubah itu selalu tau dimana harus menunggu.”

“Apa yang dia lakukan?” tanya Maddie. Lazarus mengangkat tangannya yang hangus, memberi isyarat pada Maddie untuk menunggu dan mendengarkan. “Baiklah, ibu kelinci suah untuk memutuskan salah satu. Jika dia ingin agar anak-anaknya menjauhi rubah, maka dia harus berbuat sesuatu. Tapi semua perbuatan pasti ada akibatnya. Dia tau itu, tapi dia menyayangi anak-anaknya melebihi rasa takutnya pada rubah. Jadi, dia berlari dari hutan secepat mungkin. Dia berlari menuju rubah yang bersembunyi di rerumputan, dan saat dia cukup dekat , dia berteriak memanggil anak-anaknya. ‘Pergi, kembali ke lubang!’ teriaknya. Tiga kelinci kecil itu mendengar teriakan ibunya tepat saat mereka melihat rubah itu. Tapi si rubah tak lagi tertarik dengan kelinci-kelinci kecil. Ibu kelinci menarik perhatiannya saat ibu kelinci itu memancing si rubah menuju ke padang rumput, jauh dari lubang dan anak-anaknya. Kelinci-kelinci kecil itu selamat, namun tidak dengan ibu mereka. Si rubah menangkapnya, mengoyak dagingnya kecil-kecil. Dan begitulah akhirnya.”

Maddie diam untuk beberapa waktu. Lazarus juga. “Cerita yang sedih,” Kata Maddie. Lazarus mengangguk, karena ia tau kalau itu memang cerita menyedihkan, namun lagi-lagi, kenyataan tidak pernah pilih kasih. “Aku tidak suka ibu kelinci mati.”

Lazarus menggertakkan gigi-giginya. “Dia bisa tetap hidup jika dia mau. Tapi apa yang akan terjadi pada anak-anaknya? Dia meninggal untuk menyelamatkan mereka, untuk kebaikan.”

“Benar juga, tapi tetap saja sedih, mereka harus tumbuh tanpa ibunya.” Maddie melihat ke ambang jendela, kini ada dua gagak hitam yang bertengger disana. Salah satunya menggaruk sayapnya dan berdiri disamping yang lain. Sangat aneh, tapi Maddie tak mengatakan apapun tentang gagak-gagak itu.

“Maukah kau mendengarkan cerita yang lain? Kita masih punya beberapa...waktu.” sangat sulit bagi Maddie untuk menerka-nerka ekspresi Lazarus, bahagia ataukah sedih; suaranya terdengar sama saja. Wajahnya pun tak pernah berubah.

Sebelum dia bisa menjawab, Maddie batuk lalu menyekanya dengan tisu. Batuk yang panjang dan parau. Saat batuknya mereda, dia melihat darah membasahi permukaan tisu.

“Aku sakit,” Katanya, sambil melihat Lazarus. Dia mencondongkan badannya ke arah Maddie, sangat dekat hingga Maddie bisa menghitung gigi-gigi Lazarus yang menguning. Dia mendekat dan berbisik.
“Aku tau.”

“Apa kau punya cerita tentang orang yang sakit?” Tanya Maddie. Lagi-lagi, Lazarus, si manusia api, mengangguk.
“Cerita dengan akhir yang sedih juga.”

“Tak apa-apa.” Katanya. “Aku akan tetap menyimak.”
Lazarus meletakkan jari-jari kurusnya di atas pangkuannya, lalu menarik nafas dalam-dalam.

“Suatu hari, ada sebuah kota kecil di tepi laut. Ada beberapa orang yang tinggal di kota ini, semua jenis manusia; tukang roti, tukang tenun, tukang kayu, dan banyak lagi. Mereka hidup bahagia, dan sangat produktif.  Mereka akan bekerja dan bermain dan menikah dan hidup bahagia. Tapi suatu hari, orang-orang mulai sakit. Tidak semuanya, tapi beberapa dari mereka, dan bertambah setiap harinya. Salah satu yang sakit akan timbuh bisul hitam di wajah dan leher mereka, kulit mereka berubah kuning dan hijau. Penyakit yang menyakitkan dan mematikan.  Dokter dari kota tak bisa melakukan apapun untuk menghentikannya, dan lagi tak ada obat untuk menyembuhkan penyakit itu. Salah satu pilihan hanyalah dengan membuat penghalang di sekitar kota, untuk menghentikan penyebaran wabah penyakit. Sekali masuk ke kota itu, maka tak boleh ada yang keluar. Salah satu yang tinggal disana, seorang penjahit, pinya istri yang tinggal di batas kota sebelum wabah itu menyebar. Dia pergi untuk mengunjungi keluarganya. Saat dia kembali, dia dihentikan oleh penjaga yang bilang kalau sebaiknya dia tidak masuk ke kota tanpa ijin. Istri si penjahit memohon pada penjaga, bierkata kalau suami yang dia cintai tinggal di kota. Penjaga itu akhirnya berkata, jika suaminya mengijinkan maka ia dibolehkan masuk. Penjaga itu juga bilang kalau dia tak boleh keluar lagi dari kota.”

“Sebuah surat dikirim keada si penjahit, bilang kalau istri tercintanya sedang menunggu ijin darinya di gerbang. Awalnya, dia merasa bahagia, membayangkan bisa bertemu lagi dengan istri tercintanya sejak kepergiannya yang lalu. Tapi, semakin ia memikirkan hal itu, hatinya makin gelisah. Dia sadar, jika ia mengijinkan istrinya masuk, maka dia akan memiliki takdir yang sama dengan orang-orang disini. Pikiran mengenai penderitaan dan kesengsaraan karena penyakit, ia tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Dia ingin bersama dengan istrinya, tentu saja, tapi ia terlalu mencintai istrinya hingga tak mampu membuatnya ikut menderita. Dia telah menunjukkan gejala-gejala penyakit itu. Dengan berat hati ia menolak permintaan istrinya. Dia sangat terluka, matanya basah oleh air mata. Saat surat itu kembali ke tangan istri si penjahit yang telah menunggu di gerbang sepagian, hatinya pun ikut terluka. Tak berapa lama kemudian, setelah ia menikah lagi dan memiliki beberapa anak, ia baru bisa memaafkan mantan suaminya. Dia mengerti bahwa cinta pertamanya hanya berharap dia bisa melanjutkan hidupnya dan hidup bahagia.”

Kini matahari tak lagi bersinar. Awan mendung membuat langit jadi kelabu, hampir putih jika dibandingkan dengan gagak-gagak hitam yang bertengger di ambang jendela. Lebih banyak gagak saat Lazarus menceritakan kisahnya, sangat banyak hingga tak ada cukup ruang bagi mereka semua. Mereka mulai bertengger di pepohonan terdekat. Maddie terbatuk lagi.

“Aku lebh suka yang itu daripada yang pertama tadi. Setidaknya, tidak terlalu buruk.” Katanya setelah batuknya yang hebat. “Tapi kenapa kau menceritakan semua kisah sedih itu padaku?”

Lazarus melihat Maddie, tak berkedip, tak tersenyum. Dalam suara yang sehitam batu bara, dia berkata, “Kupikir kau tau alasannya.”

Maddie melihat kebawah, ke pangkuannya. Dia tau kenapa. Tapi ia tak takut. Tidak, Maddie tau caranya menjadi berani, berani untuk semuanya. Dia beralih memandang Lazarus, wajahnya hangus dan tergores diluar bentuk sosok manusia, tadi atau sebaliknya.

“Kapan?” tanya Maddie. Lazarus menoleh ke arah jendela, menuju gagak-gagak hitam yang tengah berkumpul.

“Segera.”  Kata Lazarus. Bunyi dari mesin yang senantiasa memantau kondisi Maddie menjadi jarang, dan lebih jarang terdengar lagi.

“Apa kita punya cukup waktu untuk satu cerita lagi?” Maddie bertanya.

“Tak banyak, tapi kita bisa mencoba.”  Jawabnya. Maddie menggelengkan kepalanya. Dia bilang tak apa-apa, dia akan tetap mendengarkan. Bahkan jika kisah itu punya akhir yang sedih.

“Ada gadis kecil yang manis, dengan rambut kastanye dan mata birunya yang lebar. Dia sangat menyukai cerita, semua jenis cerita...”

Saat orang tua Maddie kembali, mereka menemukan Maddie diam di atas tempat tidur. Dia berhenti tersenyum, berhenti bernapas. Mereka menangis di bahu satu sama lain. Apa yang mereka dengar dari dokter, mereka tau bahwa ini hanya masalah waktu. Walau begitu, mereka tak menyangka akan secepat ini. Jiwa mereka terguncang, pecah menjadi bagian-bagian kecil. Tapi dengan cara yang janggal, tidak dengan cara yang kejam atau jahat, mereka sadar. Takdir yang tak terelakkan sudah terjadi, dengan cara yang menyedihkan. Mereka melihat langit yang makin lama makin kelabu dan kelam. Mereka terlalu terpaku pada duka mereka, sehingga tak menyadari jilatan api yang tertinggal di atas kursi.

Gagak-gagak hitam telah terbang lagi.

Tidak ada komentar: