In The Land of Black and White
Rating
: 9.2/10
Credit—Stephan
D. Harris
Originally
translated by : RainiLa
“kebencian
tak ubahnya kanker. Dia menggerogoti inangnya.
Sebaliknya
amarah layaknya api. Dia membakar habis semuanya.”
-Maya
Angelau-
Aku
pernah mendengar satu anekdot, tentang gadis kecil bernama Madeline. Madeline
kecil berumur 7 tahun, dengan rambut kastanye gelap dan mata birunya yang
lebar. Saat itu semua orang berpikir kalau dia akan tumbuh jadi wanita yang
cantik dan pintar. Maddie senang membaca buku, semua jenis buku; dongeng dan
sejarah, fantasi dan misteri. Orangtuanya sangat bangga karena kepandaian,
kecantikan dan keberaniannya, mereka tau dia sangat istimewa. Tapi mereka juga
merasa takut. Kau lihat, Maddie kecil sedang sakit... sangat sakit. Dia jarang
meninggalkan tempat tidurnya. Tapi dia punya setumpuk buku, dan kasih sayang
dari kedua orangtua yang setia menemaninya. Dia berani untuk dirinya sendiri,
dan juga mereka. Tentu saja, Maddie tak tau apa ada yang lebih baik dari itu
semua.
Suatu
hari, siang yang terik di bulan Desember (bukan malam gelap dan berangin di
musim gugur), hanya beberapa hari setelah Natal, orangtua Maddie masuk ke kamar
Maddie yang penuh dengan tumpukan buku, gulungan kertas berserakan, serta
cahaya matahari yang membias melalui kaca jendela. Mereka berkata kalau mereka
harus meninggalkan Maddie sendirian untuk sementara waktu. Tidak terlalu lama,
hanya satu jam. waktu yang cukup untuk bertemu dengan dokter. Mereka berkata
kalau mereka akan segera kembali, dan jika ada sesuatu, Maddie bisa menelpon
mereka dengan telepon yang ada di meja berwarna merah, di dekat tempat
tidurnya. Maddie tidak takut, dan dia tau, bukan ide yang bagus bergerak
terlalu banyak. Dia hanya terlalu berani. Dia mendapat ciuman di kening dari
ayahnya, dan ciuman di pipi dari ibunya. Maddie tersenyum, lalu meminta mereka
untuk membuka jendela kamarnya jika bisa. Hari ini udara begitu hangat, dan
langit juga terlihat biru cerah. Udara segar bisa jadi sangat bagus untuknya.
Ayah Maddie membalas senyum Maddie saat dia membuka jendela.
“Ada
yang lain?” tanya orangtua Maddie sebelum mereka pergi.
“Tidak,
aku akan baik-baik saja,” Katanya. “Aku akan membaca buku.”
Lalu
Maddie sendirian. Hanya sendiri di dalam rumah yang sangat luas, tak ada suara
apapun kecuali bunyi dari mesin yang selalu memantau jantung Maddie. Dia
berusaha untuk membaca buku, tapi cahaya matahari yang menerpa wajahnya membuat
dia mengantuk. Maddie menutup matanya, dia tak tau sudah berapa lama. Tak
terlalu lama untuk bermimpi, tapi cukup lama untuk membuang-buang waktu.
Baginya itu hanya serupa kedipan mata, tak lebih. Tapi ia membuka mata bukan
karena kemauannya sendiri. Suara burung gagak hitam memaksanya untuk terbangun
dari tidur nyenyaknya. Baiklah, bukan hanya seekor gagak. Maddie juga merasakan
udara hangat, terlalu hangat untuk bulan Desember. Saat bangun, dia melihat
gagak itu bertengger di ambang jendela. Dia juga melihat sesuatu yang lain,
sesuatu yang membuatnya menjerit.
Kursi
yang selalu ada di kamar Maddie, kursi yang sebelumnya selalu diduduki ibunya
saat menjelang waktu tidur, kursi yang seharusnya kosong, diduduki oleh makhluk
asing. Bagi Maddie, dia nampak seperti manusia, tapi juga tak terlalu mirip
manusia sepenuhnya. Dia punya wajah, dengan mata dan sebuah mulut dan hidung
dan yang lain, dan dia punya lengan dan kaki, persis seperti manusia. Dia
bahkan mengenakan baju, setelan hitam dengan kemeja putih dan dasi ungu. Tapi makhluk
asing ini—atau manusia—nampak ganjil bagi Maddie. Wajahnya punya semua organ
yang seharusnya, tapi mereka nampak rusak dengan cara yang tak bisa dimengerti.
Berkilat dan berwarna merah muda di beberapa tempat, sementara yang lain
berwarna hitam dan dedas. Dia tidak punya bibir, dan hidungnya yang berupa dua
lubang kecil yang mengembang dan mengempis saat dia bernapas. Matanya berwarna
kuning dan cekung, tak pernah berkedip satu kalipun. Badannya, walaupun tidak
pernah menjadi abu, mengeluarkan lidah api kecil di lengan dan wajahnya,
mengobarkan cahaya panas. Bajunya berlumuran noda darah. Dia seperti korban
kebakaran yang berhasil selamat sebelum api sempat padam. Mesin yang selalu
memantau jantung Maddie berbunyi keras dan cepat. maddie lupa bagaimana cara
menjadi berani.
“Jangan takut Madeline,”
Kata lelaki berbaju hitam itu, suaranya terdengar seperti kuku yang menggores
permukaan gelas, lebih serupa deritan daripada suara. “Aku kesini bukan untuk menyakitimu.”
“Siapa
kau?” Tanya Maddie, tak terlalu takut sekarang.
“Aku Lazarus, dan aku orang yang
jahat untuk alasan yang bagus.” Jawabnya. Asap
perlahan-lahan keluar dari lidah api.dia nampak kesakitan, tapi ia tahan
sebisanya.
“Lazarus.”
Kata Maddie dengan lantang, mengeja persuku-kata dengan hati-hati. “Nama yang
aneh.”
“Itu nama kuno. Sangat kuno,
dari sebuah kisah yang sangat tua.” Matanya menyusuri
wajah Maddie, mencari tanda-tanda ekspresi, tapi Maddie tak menunjukkan
ekspresi apapun. Matanya beralih ke buku yang ada di pangkuan Maddie, Alice in
Wonderland. “Kau suka cerita,” Maddie
mengangguk. semua tau dia suka cerita. “Aku
baru tau sekarang. Bisakah aku menceritakan padamu satu cerita? Kita punya
waktu senggang.”
Maddie
tak tau harus berkata apa. Dia pikir manusia api itu cukup ramah, walaupun dia
sangat menakutkan. Tapi Maddie sendirian, dia sadar dia selalu sendirian. Dia
tak pernah bertemu orang-orang baru,
jadi akan lebih baik jika Lazarus tetap tinggal. Dan lagi, dia suka
cerita, bahkan yang buruk sekalipun.
“Baik,”
Katanya, “Kau bisa mengisahkan padaku sebuah cerita. Tapi kau harus pergi
sebelum ibu dan ayah pulang. Aku tak berpikir mereka akan menyukaimu.” Lazarus
menarik napas dalam-dalam, sebuah desahan keluar dari mulutnya, dan hembusan
asap keluar dari lubang hidungnya. Dia mengangguk setuju.
“Ada sebuah keluarga kelinci,
ibu kelnci dan ketiga bayi kelici. Mereka tinggal di sebuah lubang di hutan.
Mereka hidup bahagia. Bayi kelinci akan melompat dan bermain seharian dibawah
bayangan popohonan atau di rerumputan tinggi di padang rumput yang cerah
sedangkan ibunya mencari makan di hutan. Saat malam, mereka akan kembali ke
lubang. Dan mereka akan tidur bersama-sama dalam kehangatan dan rasa aman.
Mereka tidak pernah mengkhawatirkan apapun, selama masih ada banyak persediaan
makanan dan hal-hal menyenangkan untuk dilakukan, dan mereka punya satu sama
lain yang membuat mereka nyaman saat mereka sedih atau ketakutan. Hal yang
bagus. Tapi suatu hari, saat mereka bermain di padang rumput, seekor rubah
bersembunyi d rerumputan, menghampiri tiga kelinci kecil yang tak sadar dengan
bahaya yang mengancam mereka. Ibu mereka muncul dari dalam hutan saat ia
melihat rubah itu, namun jarak mereka terlalu jauh untuk memanggil ketiga
bayinya. Dia sadar dia tak akan bisa menyelamatkan mereka tepat waktu, dan
bahkan demikian, rubah itu selalu tau dimana harus menunggu.”
“Apa
yang dia lakukan?” tanya Maddie. Lazarus mengangkat tangannya yang hangus,
memberi isyarat pada Maddie untuk menunggu dan mendengarkan. “Baiklah, ibu kelinci suah untuk memutuskan
salah satu. Jika dia ingin agar anak-anaknya menjauhi rubah, maka dia harus
berbuat sesuatu. Tapi semua perbuatan pasti ada akibatnya. Dia tau itu, tapi
dia menyayangi anak-anaknya melebihi rasa takutnya pada rubah. Jadi, dia
berlari dari hutan secepat mungkin. Dia berlari menuju rubah yang bersembunyi
di rerumputan, dan saat dia cukup dekat , dia berteriak memanggil anak-anaknya.
‘Pergi, kembali ke lubang!’ teriaknya. Tiga kelinci kecil itu mendengar teriakan
ibunya tepat saat mereka melihat rubah itu. Tapi si rubah tak lagi tertarik
dengan kelinci-kelinci kecil. Ibu kelinci menarik perhatiannya saat ibu kelinci
itu memancing si rubah menuju ke padang rumput, jauh dari lubang dan
anak-anaknya. Kelinci-kelinci kecil itu selamat, namun tidak dengan ibu mereka.
Si rubah menangkapnya, mengoyak dagingnya kecil-kecil. Dan begitulah akhirnya.”
Maddie
diam untuk beberapa waktu. Lazarus juga. “Cerita yang sedih,” Kata Maddie.
Lazarus mengangguk, karena ia tau kalau itu memang cerita menyedihkan, namun
lagi-lagi, kenyataan tidak pernah pilih kasih. “Aku tidak suka ibu kelinci
mati.”
Lazarus
menggertakkan gigi-giginya. “Dia bisa
tetap hidup jika dia mau. Tapi apa yang akan terjadi pada anak-anaknya? Dia
meninggal untuk menyelamatkan mereka, untuk kebaikan.”
“Benar
juga, tapi tetap saja sedih, mereka harus tumbuh tanpa ibunya.” Maddie melihat
ke ambang jendela, kini ada dua gagak hitam yang bertengger disana. Salah
satunya menggaruk sayapnya dan berdiri disamping yang lain. Sangat aneh, tapi
Maddie tak mengatakan apapun tentang gagak-gagak itu.
“Maukah kau mendengarkan cerita
yang lain? Kita masih punya beberapa...waktu.” sangat
sulit bagi Maddie untuk menerka-nerka ekspresi Lazarus, bahagia ataukah sedih;
suaranya terdengar sama saja. Wajahnya pun tak pernah berubah.
Sebelum
dia bisa menjawab, Maddie batuk lalu menyekanya dengan tisu. Batuk yang panjang
dan parau. Saat batuknya mereda, dia melihat darah membasahi permukaan tisu.
“Aku
sakit,” Katanya, sambil melihat Lazarus. Dia mencondongkan badannya ke arah
Maddie, sangat dekat hingga Maddie bisa menghitung gigi-gigi Lazarus yang
menguning. Dia mendekat dan berbisik.
“Aku tau.”
“Apa
kau punya cerita tentang orang yang sakit?” Tanya Maddie. Lagi-lagi, Lazarus,
si manusia api, mengangguk.
“Cerita dengan akhir yang sedih
juga.”
“Tak
apa-apa.” Katanya. “Aku akan tetap menyimak.”
Lazarus
meletakkan jari-jari kurusnya di atas pangkuannya, lalu menarik nafas
dalam-dalam.
“Suatu hari, ada sebuah kota
kecil di tepi laut. Ada beberapa orang yang tinggal di kota ini, semua jenis
manusia; tukang roti, tukang tenun, tukang kayu, dan banyak lagi. Mereka hidup
bahagia, dan sangat produktif. Mereka
akan bekerja dan bermain dan menikah dan hidup bahagia. Tapi suatu hari,
orang-orang mulai sakit. Tidak semuanya, tapi beberapa dari mereka, dan
bertambah setiap harinya. Salah satu yang sakit akan timbuh bisul hitam di
wajah dan leher mereka, kulit mereka berubah kuning dan hijau. Penyakit yang
menyakitkan dan mematikan. Dokter dari kota
tak bisa melakukan apapun untuk menghentikannya, dan lagi tak ada obat untuk
menyembuhkan penyakit itu. Salah satu pilihan hanyalah dengan membuat
penghalang di sekitar kota, untuk menghentikan penyebaran wabah penyakit. Sekali
masuk ke kota itu, maka tak boleh ada yang keluar. Salah satu yang tinggal
disana, seorang penjahit, pinya istri yang tinggal di batas kota sebelum wabah
itu menyebar. Dia pergi untuk mengunjungi keluarganya. Saat dia kembali, dia
dihentikan oleh penjaga yang bilang kalau sebaiknya dia tidak masuk ke kota
tanpa ijin. Istri si penjahit memohon pada penjaga, bierkata kalau suami yang
dia cintai tinggal di kota. Penjaga itu akhirnya berkata, jika suaminya
mengijinkan maka ia dibolehkan masuk. Penjaga itu juga bilang kalau dia tak
boleh keluar lagi dari kota.”
“Sebuah surat dikirim keada si
penjahit, bilang kalau istri tercintanya sedang menunggu ijin darinya di
gerbang. Awalnya, dia merasa bahagia, membayangkan bisa bertemu lagi dengan
istri tercintanya sejak kepergiannya yang lalu. Tapi, semakin ia memikirkan hal
itu, hatinya makin gelisah. Dia sadar, jika ia mengijinkan istrinya masuk, maka
dia akan memiliki takdir yang sama dengan orang-orang disini. Pikiran mengenai
penderitaan dan kesengsaraan karena penyakit, ia tak bisa membiarkan hal itu
terjadi. Dia ingin bersama dengan istrinya, tentu saja, tapi ia terlalu
mencintai istrinya hingga tak mampu membuatnya ikut menderita. Dia telah
menunjukkan gejala-gejala penyakit itu. Dengan berat hati ia menolak permintaan
istrinya. Dia sangat terluka, matanya basah oleh air mata. Saat surat itu
kembali ke tangan istri si penjahit yang telah menunggu di gerbang sepagian,
hatinya pun ikut terluka. Tak berapa lama kemudian, setelah ia menikah lagi dan
memiliki beberapa anak, ia baru bisa memaafkan mantan suaminya. Dia mengerti
bahwa cinta pertamanya hanya berharap dia bisa melanjutkan hidupnya dan hidup
bahagia.”
Kini
matahari tak lagi bersinar. Awan mendung membuat langit jadi kelabu, hampir
putih jika dibandingkan dengan gagak-gagak hitam yang bertengger di ambang
jendela. Lebih banyak gagak saat Lazarus menceritakan kisahnya, sangat banyak
hingga tak ada cukup ruang bagi mereka semua. Mereka mulai bertengger di
pepohonan terdekat. Maddie terbatuk lagi.
“Aku
lebh suka yang itu daripada yang pertama tadi. Setidaknya, tidak terlalu
buruk.” Katanya setelah batuknya yang hebat. “Tapi kenapa kau menceritakan
semua kisah sedih itu padaku?”
Lazarus
melihat Maddie, tak berkedip, tak tersenyum. Dalam suara yang sehitam batu
bara, dia berkata, “Kupikir kau tau alasannya.”
Maddie
melihat kebawah, ke pangkuannya. Dia tau kenapa. Tapi ia tak takut. Tidak,
Maddie tau caranya menjadi berani, berani untuk semuanya. Dia beralih memandang
Lazarus, wajahnya hangus dan tergores diluar bentuk sosok manusia, tadi atau
sebaliknya.
“Kapan?”
tanya Maddie. Lazarus menoleh ke arah jendela, menuju gagak-gagak hitam yang
tengah berkumpul.
“Segera.” Kata Lazarus. Bunyi
dari mesin yang senantiasa memantau kondisi Maddie menjadi jarang, dan lebih
jarang terdengar lagi.
“Apa
kita punya cukup waktu untuk satu cerita lagi?” Maddie bertanya.
“Tak banyak, tapi
kita bisa mencoba.” Jawabnya. Maddie menggelengkan kepalanya. Dia
bilang tak apa-apa, dia akan tetap mendengarkan. Bahkan jika kisah itu punya
akhir yang sedih.
“Ada gadis kecil
yang manis, dengan rambut kastanye dan mata birunya yang lebar. Dia sangat
menyukai cerita, semua jenis cerita...”
Saat
orang tua Maddie kembali, mereka menemukan Maddie diam di atas tempat tidur.
Dia berhenti tersenyum, berhenti bernapas. Mereka menangis di bahu satu sama
lain. Apa yang mereka dengar dari dokter, mereka tau bahwa ini hanya masalah
waktu. Walau begitu, mereka tak menyangka akan secepat ini. Jiwa mereka
terguncang, pecah menjadi bagian-bagian kecil. Tapi dengan cara yang janggal,
tidak dengan cara yang kejam atau jahat, mereka sadar. Takdir yang tak
terelakkan sudah terjadi, dengan cara yang menyedihkan. Mereka melihat langit
yang makin lama makin kelabu dan kelam. Mereka terlalu terpaku pada duka
mereka, sehingga tak menyadari jilatan api yang tertinggal di atas kursi.
Gagak-gagak
hitam telah terbang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar