Jumat, 07 Februari 2014

[cerita terjemahan] Bedtime V : Sleep Tight



Bedtime V : Sleep Tight
Credit to—Michael Whitehouse
Originally Translated by : RainiLa

tubuhku gemetar saat aku menulis ini. Polisi melepasku dua jam yang lalu dan aku dipaksa untuk mencatat kejadian kemarin seakurat mungkin. Aku ingin sekali melupakan kejadian itu, tapi aku tau aku tak bisa, dan tak seharusnya aku melakukannya. Demi kebaikanku sendiri, aku harus mengatakan apa yang telah terjadi, itu yang terpenting. Haruskah kubiarkan diriku dipengaruhi oleh kerasionalitasan dunia, sekali lagi? kata-kata itu seharusnya mengingatkanku kalau sesuatu yang tak terlihat itu sangat misterius dan menakutkan.
Sepeninggal Mary, aku tau aku telah kehilangan dia untuk selamanya, tapi alih-alih hanya meratap dan terkubur dalam depresi, semangatku tumbuh oleh satu tujuan, satu ide yang harus aku lakukan. Aku harus menghancurkan ‘makhluk’ itu, karena aku tak mau memberinya celah pada kemungkinan suatu hari ‘dia’ akan menyakiti orang yang aku sayang, atau menodai kepolosan anak kecil lain.
Aku sadar juga kalau aku menantang kematian, tapi kenyataan bahwa aku telah kehilangan semuanya, membuatku berpikir bahwa kematian hanyalah harga kecil yang harus dibayar. Ada yang bilang bahwa balas dendam adalah hidangan terbaik saat sudah dingin dan aku telah menunggu sepanjang hidupku untuk terbebas dari ‘makhluk’ ini, dari ingatan-ingatan dan bayangan-bayangan yang telah dia ciptakan, akhirnya  aku punya rencana untuk membunuh iblis ini—makhluk busuk dengan kuasa sesat—dengan senyum diwajahku.
Dia harus mati, bahkan jika aku harus menyeretnya ke neraka bersamaku.
Menyibukkan diri beberapa jam setelahnya, aku mengepak tas dan menulis surat untuk Mary dan keluargaku, menjelaskan apa yang telah terjadi dan sama sekali tak menyalahkan mereka. Aku menelpon ibu dan ayahku, kemudian saudara laki-lakiku, hanya agar mendengar suaranya untuk yang terakhir kalinya, tapi aku tak ingin mereka berpikir bahwa ini merupakan perbincangan terakhirku dengan mereka. Firasat ibuku tajam, dia bertanya apa semuanya baik-baik saja; aku tersenyum dan berkata bahwa aku menyayanginya, sebelum dengan enggan aku mengucapkan selamat tinggal.
Sekitar jam 7 aku keluar menuju mobil. Matahari telah tenggelam dan jalanan terasa sunyi, nyaris seperti adegan pemakaman tanpa para undangan. Aku duduk di kursi pengemudi, membiarkan pintu sebelah kiri terbuka, menunggu ‘penumpang’ yang tak kusukai itu masuk.
Jam 9, tak ada yang terjadi, tempat itu makin sunyi dan dinginnya angin malam yang mengalir melalui pintu yang terbuka mulai menusukku. Saat aku duduk disana, gaungan suara-suara memenuhi pikiranku. Aku memikirkan bagaimana sifat dari parasit pucat itu. Satu pertanyaan muncul dari banyaknya pikiran-pikiran yang lain, makin kuat dan mendominasi, terus berputar:
“Bisakah kau membunuh sesuatu yang sudah meninggal?”
Aku tak tau apakah ‘makhluk’ itu berasal dari kuburan atau roh yang bisa dikatakan ‘hidup’ dalam beberapa hal, tapi sesaat saat aku menaksir kembali rencanaku, dia ada disana. Awalnya samar-samar, ada gerakan kecil, nyaris tak terlihat, di suspensi mobil. Apa mungkin itu hanya sesuatu yang lain, seperti angin yang terus mendorong dan meniup badan mobil, tapi aku terlalu familiar dengan sensasi ini, perasaan dari beberapa tahun yang lalu, saat ranjang bawah bergerak-gerak halus dengan ‘makhluk’ itu diatasnya.  Aku kenal dia. Udara terasa padat seakan-akan terkontaminasi oleh mayat-mayat didekatnya. Dia didalam mobil bersamaku, ya, tidak terlihat, tapi dia ada disana. Saat aku mendengar desisan nafas samar dari kursi belakang, aku bersandar dan dengan tenang  menutup pintu penumpang. Kuputar kunci mobil dan saat aku turun ke jalan, aku bersumpah mendengar kikikkan jahat namun pelan, seolah-olah makhluk itu mengejekku.
Apa dia tau rencanaku untuknya?
Tempat tujuan kami tidak terlalu jauh, kami menembus jejeran bukit yang menjulang dan hilang bergantian saat mengambil jalan pedesaan; peringatan akan isolasi malam yang tak menyenangkan. Di tengah jalan aku mendengar sesuatu dari belakang, tapi aku tak mau menengok makhluk itu di kegelapan. Sabar; tak akan lama sampai aku berhadapan dengannya.
Aku telah sampai.
Roda mobil menggerum dan meluncur di semak-semak saat aku sampai di jalan pedesaan yang sempit. Lanskap terbuka dan saat aku melihat ke arah pepohonan yang patah dan membusuk di sekitarku, aku merasa pilihanku sangat tepat untuk datang di tempat gelap ini di tengah dinginnya malam, untuk menghancurkan makhluk paling terkutuk itu.
Tiba-tiba jalan berujung pada sebuah tebing yang curam; tebing yang muncul dari pertambangan tua, terdapat air yang sangat gelap dari danau dibawah sana. Tepian tebing relatif rata dan sebenarnya pada satu waktu ada pembangunan sebuah jalan yang kemudian beberapa orang tenggelam di danau itu berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Anak kecil setempat akan bercerita mengenai sebuah kisah hantu penuh dendam, hantu dari yang terbunuh saat peristiwa itu, namun itu hanya sebuah kisah belaka. Atau mungkin, tidak. Di waktu lalu aku mungkin akan mengabaikan kisah semacam itu, tapi siapa yang akan percaya pada ceritaku jika aku menceritakan pada mereka sekarang?
Kumatikan mesin dan parkir beberapa meter dari tepian danau, mematikan semua lampu dan menenangkan diri. Aku duduk di mobil untuk beberapa saat, terasa sangat lama, temanku hanyalah bunyi deburan air yang berasal dari bawah danau sana.
Aku menunggu.
Makhluk ini pintar, tak diragukan lagi. Dia bermain-main denganku, hanya makhluk cerdas dan jahat yang menikmati kesakitan dan siksaan-siksaan yang dia buat. Untuk alasan ini, aku tau mungkin dia mencurigaiku, bahkan bisa saja melarikan diri kalau aku parkir terlalu dekat dengan tepian jurang; aku harus menunggunya menyerangku, membiarkan dia menyergap, menyerang dan bersenang-senang, dan kemudian ia tak akan sadar saat dengan perlahan kuarahkan mobilku  menuju danau yang gelap dan dingin dibawah sana.
Aku akan menenggelamkan bajingan itu.
Aku telah memikirkan konsekuensinya dan beralasan bahwa nantinya akan ada satu titik dimana aku akan keluar dari mobil sebelum mobil itu mencapai tepian jurang. Mary dan aku kadang-kadang pergi kesana, sebuah tempat yang jauh dari mana-mana dan tempat ini tak nampak menyeramkan selama musim panas. Aku memilih tempat yang aku tau benar. Kedalaman danau itu kira-kira 30 kaki dan aku tak ingin berada di dalam mobil saat benda itu tercebur ke air, tidak juga ingin terjebak di dalamnya dengan iblis itu.
Aku menunggu.
Lalu aku mendengarnya. Awalnya pelan, lalu kemudian bertambah volume dan kecepatannya, sebuah desisan keriut nafas dari belakang. Aneh, suara itu terdengar lebih memburu dari sebelumnya. Tiap nafas menampakkan kepayahan, penuh dengan cairan, busuk dan rapuh. Aku gemetar. Menjijikkan, bau busuk mulai memenuhi udara.
Nafas itu mulai mendekat dari belakang.
Jantukku berdegup tak karuan, berdetak keras dan cepat ketika aku mendongak dan melihat kaca depan mulai berembun dari dalam. Aku bisa melihat nafasku, nafas makhluk itu juga, tapi makhluk apa  yang kini nafasnya berhembus di sisi wajahku? Ku alihkan pandanganku perlahan, aku ingin menangis, aku ingin pergi, berlari di tengah malam, tapi aku harus tetap disini, aku tak bisa membiarkan makhluk itu melarikan diri.
Dia duduk di kursi penumpang.
Aku sedang menatapnya, dan dia menatapku. Duduk membungkuk di dalam kegelapan, tangannya berkerut dan kurus, seolah-olah menderita rigamortis, perlahan-lahan dia bergerak ke arahku. Satu kakinya yang kurus berkeretak saat dia nyaris menyentuh pangkuanku dan berpindah ke sisi yang lain.
Ya tuhan, dia duduk di atasku!
Dia mendekat ke arahku dan melalui cahaya bulan, aku melihat wajahnya. Kulitnya menggantung di tulangnya. Matanya yang berair lekat menatapku saat seringaian lebar muncul di wajahnya, lebar dan terlihat aneh sebagai hasil dari kulitnya yang setengah membusuk, menampakkan otot-otot yang membusuk, gigi yang rusak dan urat dari senyum busuknya.
Lebih dekat lagi, dia membuka mulut, menampakkan lidahnya yang basah dan busuk yang bisa dilihat di sela-sela gigi bawahnya yang hilang. Mendesis, terengah-engah, bau busuk yang menyengat mataku dan memenuhi mulutku membuatku bereaksi, tubuhku mencoba untuk membuang gas beracun itu, dan saat aku melakukannya, dia berhenti sebentar, lalu terkekeh pada dirinya sendiri; senang dan puas. Mengamati matanya yang sedingin es, dia terkesan seperti seseorang yang menderita dan semakin lemah. Dia masih kuat, tapi seolah-olah kehilangan sebagian kekuatannya.
Mungkin meninggalkan ruangan itu memberikan efek padanya?
Jemari panjang kurusnya membelai wajahku, seakan menunjukkan minatnya, dia menekan bahuku keras-keras dengan salah satu jarinya. Aku menjerit saat dia makin menekan jarinya dan melakukan gerakan memutar,  iblis busuk itu memindahkan jarinya untuk menimbulkan efek yang menyakitkan separah mungkin. Lalau sementara itu, tangannya yang lain meluncur ke bagian bawah tubuhku.
Dia menyentuhku.
Inilah waktunya. Dengan satu tanganku yang bebas, aku menyalakan mobil. Meskipun bahuku masih tertekan, aku berusaha menahannya. Ku tarik persneling dan melajukan mobilku secepat mungkin.
Makhluk itu meronta dan berteriak, dia bermaksud merangkak melewatiku menuju kursi belakang, tapi aku menahannya sekuat tenagaku, ingatan akan apa yang telah menimpa Mary lebih dari cukup untuk membakar amarahku. Kami melaju melewati tepian jurang dan aku melihat pintu pengemudi dengan bingung. Saat kami makin dekat dengan danau dingin itu, aku berteriak penuh amarah didepan wajahnya yang busuk dan bernanah dan berusaha mendorongnya.
Dia matian-matian menuju kursi belakang demi hidupnya, begitupun denganku yang mati-matian membuka pintu mobil.
Aku terlalu lambat, mobil melewati jurang dan sebelum aku sadar, kami sudah tercebur ke dalam air yang gelap, membelah permukaan air seperti kaca dengan kekuatan luar biasa. Aku seharusnya mati saat itu, tapi sebuah kantong-udara melindungiku, walaupun  aku masih berusaha menyisipkan kepalaku di ambang pintu.
Terpana, aku melihat sekitar. Suara yang aku dengar dari makhluk itu terdengar aneh dan buruk, namun familiar. Jeritan dari beberapa anak setan segera memberi jalan untuk penderitaan dan kemarahan dari pemilik kecerdasan kuno yang tau bahwa dia menghadapi kematian.
Air membeku dan masuk melalui pintu mobil sedemikian rupa  sehingga pintu terbuka dan aku kekurangan oksigen. Aku terengah-engah mencari udara begitu juga dengan mangsaku. Aku menggeliat dan memutar saat dia mencari jalan keluar. Melihat pintu yang terbuka, dia dorong dirinya sendiri di depanku.
Tanganku mengepal dan meninju wajah makhluk itu. Bagian kulitnya yang busuk tergores hingga cairan hitam pekat mengalir dari luka itu.
Lagi-lagi iblis itu berusaha melewatiku namun aku harus tetap menahannya di dalam mobil, cukup lama agar dia tenggelam, itu artinya aku harus mati bersamanya. Aku mati rasa saat dinginnya air menyentuh daguku, jantungku meronta dan dengan sentakan tiba-tiba, aku menyisakan nafas terakhirku.
Aku menahan nafas, hanya untuk menyiapkan diri menghadapi kematian yang dingin dan menyiksa. Aku harap tak terlalu menyakitkan. Ingatanku kembali pada Mary dan keluargaku, rasa sedih dan putus asa memenuhi perasaanku, tapi saat aku bertarung dengan makhluk yang kini berusaha untuk melewatiku dan mencapai pintu, meraih dan memukul dengan tangannya, aku menunduk dan melihatnya.
Kakinya terjebak diantara dashboard dan lantai mobil karena terjatuh. Walaupun dia bisa bergerak, tapi dia tak bisa lepas dari sana.
Segera aku beralih ke pintu. Semua nampak samar, aku hanya bisa melihat kaki di depanku didalam air yang hitam, tapi terdapat cukup cahaya bulan untuk menerangi jalanku. Sesaat aku meraih pintu, iblis itu memegang tubuhku dan menarikku ke belakang. Dia telah putus asa untuk berusaha keluar, kini dia ingin menenggelamkanku bersamanya.
Kami bertarung nyaris seperti bertahun-tahun lamanya di dalam pekuburan yang dingin itu, saat perlahan mobil mulai tenggelam lebih dalam dan dalam lagi menuju kegelapan. Bisa ku rasakan tubuhku minta udara, untuk menghembuskan nafas terakhir dan menghirup air beku.
Aku senang karena aku menggunakan akalku untuk terbebas dari takdir yang mengerikan. Memusatkan badanku, aku mendorong kakiku di dashboar sekuat tenaga agar terlepas dari genggamannya. Aku tak terlalu ingat, rentetan jeritan sedih dan penuh kebencian yang dikeluarkan penyiksaku saat aku meninggalkannya hingga mati di dasar danau dingin itu.
Aku telah mengalahkan makhluk itu sekali dan selamanya!
Itu sebelum aku masuk ke dalam rumah dan menemukan jejak kaki yang basah dan lebar dari pintu depan menuju kamarku.
Aku sungguh tak percaya. Aku benar-benar putus asa hingga tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Makhluk itu berbaring di kasurku, menunggu, sebuah seprai putih menutupi badan kurusnya dari pandangan.
Pikiran manusia adalah sesuatu yang hebat. Sesaat setelah kau menyadari bahwa tubuhmu telah mencapai batas kelelahan hingga tak bisa di pulihkan dengan cepat, bahwa emosimu telah mencapai batas sehingga kau tak bisa lanjut, sebuah pikiran muncul secara ajaib dari badan yang letih ini.
Biarkan dia istrahat, untuk saat ini.
Aku berjalan perlahan dalam kegelapan dan memungut dompet yang aku tinggalkan di meja kopi kecil di tengah-tengah ruang tengah. Meninggalkan pintu tak terkunci, aku pergi untuk menyusun rencana baru dan kembali ke rumah satu jam kemudian. Selama persiapan, aku masuk ke kamar tamu. Disana aku berbaring di kasur, menunggu. Aku yakin ini adalah permainan terakhir, alih-alih makhluk itu yang mempermainkanku, dialah yang datang untuk dibunuh. Bagaimana caranya dia melepaskan diri dari kuburan air itu, aku tak tau, tapi terkutuklah jika dia bisa lari lagi. Aku hanya bisa berharap dia bisa merasakan kehadiranku dari kamar satunya.
Ku tutup mataku, berpura-pura tidur. Waktu berjalan perlahan dan meskipun aku melawannya, kepayahan akhirnya menguasaiku, membawaku ke dalam tidur yang nyenyak.
Aku bangun dengan tangan makhluk itu melingkar di leherku. Dia batuk dan gemetar di atasku, cairan hitam busuk menetes ke wajahku, menetes dari luka di wajahnya. Aku berontak, berusaha bernafas dan berharap aku punya kekuatan untuk membebaskan diri dari cengkramannya, tapi dia terlalu kuat dan tanganku tak bisa mencengkramnya, karena tubuhnya basah oleh air danau.
Mungkin aku terlihat tak rasional saat itu, tapi ketika mataku mulai kabur dan mulai agak tidak sadar, aku melakukan apa yang sebagian besar binatang lakukan disaat-saat terakhirnya; berpura-pura mati.
Berbaring diam, menahan nafaaku, dia mengguncang-guncang leherku dengan kasar lalu melepasku. Aku menunggu hingga saatnya tiba, kesempatan terakhirku untuk menghancurkan makhluk ini. Nafasnya yang mulanya memburu kini menjadi teratur dan melihatku dengan sorot yang nyaris aneh.
Aku masih menunggu dia pindah sehingga memudahkanku nantinya untuk membantingnya ke tanah.
Mencondongkan tubuhnya di dekatku, seringainya yang lebar menghilang. Mengumpulkan ludah busuknya di dalam mulut dan yang tertinggal di pipinya, dia kemudian mengucapkan kata-kata menjijikkan untuk yang hidup, dan yang mati; dia memuncratkan cairan busuknya ke wajahku, sisanya menetes ke tubuhku melalui lubang di giginya.
Aku ingin berteriak, dan membersihkan kotoran-kotoran itu dari kulitku, tapi aku tak bisa bergerak; belum saatnya. Mencondongkan tubuhnya lebih dekat, dia menekan dan menggores luka di bahuku, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhku. Sebisanya aku berusaha tetap diam tak bergerak.
Lalu, perlahan-lahan dia menyelipkan dua jemari kurusnya ke dalam mulutku. Rasanya sungguh busuk, anyir, mati. Sentakan jemarinya mengguncang tekatku. Saat dia membungkuk dengan gembira, tiba-tiba dia memasukkan jari-jarinya ke dalam tenggorokanku.
Aku tersedak, sebuah reaksi yang manusiawi.
Alih-alih terkejut, tawanya meledak dari sela gigi-giginya yang rusak. Saat dia mendorong jarinya lebih dalam lagi, ku rasakan kulit dinginnya mengorek-ngorek bagian dalam tenggorokanku yang berusaha menolak agar dia berhenti.
Di saat-saat yang tak menyenangkan kita, terkadang kita menemukan kekuatan kita yang sebenarnya. Aku berguling ke samping  melawan beban tubuhnya dan akhirnya, aku terbebas. Aku jatuh ke lantai.  Tangan panjangnya mencengkeram kakiku, aku menendang dan berteriak dan kemudian aku bebas. Dia melihatku, hanya beberapa detik lamanya. Berdiri di atas kasur, tulang rapunya berkeretak saat dia bergerak, kini dia menjulang tinggi dan membungkuk, siap untuk menerkam.
Sejak kecil aku selalu yang jadi korban. Dia telah menghantuiku, mengambil kepolosanku, menyerang Mary dan merusak hidupku.
Aku tak bisa lagi menahannya.
Kadang-kadang mangsa yang paling berbahaya adalah yang bisa mengecohmu , satu-satunya yang bisa membuatmu terlena dengan persepsi yang salah akan dominasi dan superioritas, satu-satunya yang telah menguasai tiap ketakutanmu dengan amarah dan penghianatan. Dia telah masuk ke dalam jebakanku, satu-satunya yang menggunakan logika, akal, dan pemahaman tentang dunia melalui kacamata ilmu sains.
Api membakar semuanya.
Saat dia mengerang, menjerit, berkeriut dan berubah bentuk, bersiap untuk menerkam, dengan satu gerakan cepat aku melepas selimut dari lantai, mengeluarkan sebotol bensin yang aku bawa selama waktu persiapan yang singkat. Aku melemparnya sekuat mungkin, cairan itu memercik ke tubuh makhluk itu dan ke kasur.
Dia menyeringai padaku, mengejek keberadaanku, meringankan rasa sakit dan penderitaan yang dia buat.
Dari dalam saku aku mengambil korek api, memantiknya  dan melemparnya ke arah makhluk sialan itu. Dia menggeliat dan berteriak kesakitan, nampak dagingnya hancur, terbakar habis di depan mataku; aku nyaris merasa bersalah padanya.
Biarkan dia terbakar.
Nyala api menjadi tak terkendali, beruntung tetangga sebelah yang mendengar teriakan dan melihat asap, segera memanggil pemadam kebakaran. Aku tak ingat bagaimana aku bisa selamat.
Ku habiskan beberapa jam di rumah sakit, dirawat karena menghirup asap ringan dan luka bakar di tanganku. Masih sakit saat kugunakan mengetik, tapi seperti banyaknya luka yang lain, mereka akan sembuh dengan sendirinya. Mungkin akan ada beberapa bekas luka, tapi aku bisa hidup dengannya.
Polisi menangkapku tak lama kemudian, menganggap akulah pembunuhnya. Mereka menduga aku telah membakar seseorang dan lebih mencurigakan lagi dengan luka dalam yang kupunya di bahuku, dan cakaran di sekujur tubuhku. Aku telah diberitau untuk tidak terlalu menyimpang dari kasus yang mereka tanyakan, tapi mereka bisa bertanya dengan leluasa, aku pikir mereka akan mempercayai jawabanku. Mereka tak menemukan sisa-sisa dan bukti bahwa seseorang  pernah ada disana, malahan garis-garis dari sosok yang aneh terbentuk di atas kasur dan di dinding. Nampak apapun yang pernah disana, berusaha untuk melarikan diri, tapi aku tidak berpikir dia bisa melakukannya.
Seakan-akan sebuah beban terangkat dari pundakku sekarang, satu hal yang  kini aku sadar selalu ada disana, sejak aku masih kecil.  Aku percaya makhluk itu punya pengaruh padaku bahkan dari jauh sekalipun, dan kini dia telah pergi, aku merasa utuh kembali.
Aku sedih karena telah kehilangan Mary, dan rumahku bisa di coret dari daftar pihak asuransi karena kemungkinan tuduhan pembakaran rumah dengan sengaja saat mereka menyadari bahwa aku yang sengaja menyulut api, yang artinya aku akan mengucapkan selamat tinggal pada jaminan asuransi.
Tanganku nyeri, begitu juga bahuku, tapi tidak dengan semangatku. Aku menulis ini di kamar hotel, kecil dan sederhana, tapi akan cocok dengan keinginanku.  Malam ini aku ingin tidur dan bermimpi, seperti yang aku lakukan saat aku kecil, sebelum iblis itu merusak hidupku.
Aku yakin rasonalitasku lah yang menyelamatkanku, pikiran logisku yang membuatku bisa menghancurkan iblis itu, tapi aku tak akan meninggalkan kemungkinan akan kesimpulan bahwa terdapat lebih banyak lagi yang hidup dibalik tabir, diluar sana, dalam kegelapan. Ini adalah dunia yang telah aku lihat, dan tak ingin aku kunjungi lagi, tapi malam ini aku akan istirahat dan besok aku akan membangun hidupku lagi dengan keyakinan bahwa tamu—yang—tak—diundang itu telah pergi untuk selamanya. Aku bisa merasakanya, aku tau itu!
Akan butuh waktu untuk membiasakan diri dan mungkin pikiranku akan memainkan tipuan nantinya, susah untuk meninggalkan paranoia (ketakutan) seumur hidup. Aku harus belajar menerima keadaan aman sekali lagi. Aku menolak untuk menengok ke bahuku selama sisa hari-hariku, tapi aku akan selalu berhati-hati, seperti saat aku di rumah sakit pagi ini, berbaring di kasur di dalam bangsal yang sunyi, ku pikir aku merasa kalau kasurnya bergetar beberapa detik, tapi aku tau itu hanya imajinasiku.
Aku senang karena telah menulis pengalamanku, dia telah menujukkan banyak hal padaku tentang diriku sendiri, dan yang terpenting harus ada orang yang pernah, amit-amit, mengalami situasi yang sama, nantinya mungkin kau akan tau apa yang harus di lakukan.
Sekarang, waktunya tidur dan aku harus istirahat karena aku tak pernah merasakan keletihan seperti ini sebelumnya.
Selamat tidur, dan tidur nyenyak...

(fin)

Tidak ada komentar: