Bedtime
V : Sleep Tight
Credit to—Michael Whitehouse
Originally
Translated by : RainiLa
Bedtime II : The aftermath
Bedtime III : My Fear Realised
Bedtime IV : Something wicked this way comes
Bedtime III : My Fear Realised
Bedtime IV : Something wicked this way comes
tubuhku gemetar saat
aku menulis ini. Polisi melepasku dua jam yang lalu dan aku dipaksa untuk
mencatat kejadian kemarin seakurat mungkin. Aku ingin sekali melupakan kejadian
itu, tapi aku tau aku tak bisa, dan tak seharusnya aku melakukannya. Demi kebaikanku
sendiri, aku harus mengatakan apa yang telah terjadi, itu yang terpenting.
Haruskah kubiarkan diriku dipengaruhi oleh kerasionalitasan dunia, sekali lagi?
kata-kata itu seharusnya mengingatkanku kalau sesuatu yang tak terlihat itu
sangat misterius dan menakutkan.
Sepeninggal Mary, aku
tau aku telah kehilangan dia untuk selamanya, tapi alih-alih hanya meratap dan
terkubur dalam depresi, semangatku tumbuh oleh satu tujuan, satu ide yang harus
aku lakukan. Aku harus menghancurkan ‘makhluk’ itu, karena aku tak mau
memberinya celah pada kemungkinan suatu hari ‘dia’ akan menyakiti orang yang
aku sayang, atau menodai kepolosan anak kecil lain.
Aku sadar juga kalau
aku menantang kematian, tapi kenyataan bahwa aku telah kehilangan semuanya,
membuatku berpikir bahwa kematian hanyalah harga kecil yang harus dibayar. Ada yang
bilang bahwa balas dendam adalah hidangan terbaik saat sudah dingin dan aku
telah menunggu sepanjang hidupku untuk terbebas dari ‘makhluk’ ini, dari
ingatan-ingatan dan bayangan-bayangan yang telah dia ciptakan, akhirnya aku punya rencana untuk membunuh iblis ini—makhluk
busuk dengan kuasa sesat—dengan senyum diwajahku.
Dia harus mati, bahkan
jika aku harus menyeretnya ke neraka bersamaku.
Menyibukkan diri
beberapa jam setelahnya, aku mengepak tas dan menulis surat untuk Mary dan
keluargaku, menjelaskan apa yang telah terjadi dan sama sekali tak menyalahkan
mereka. Aku menelpon ibu dan ayahku, kemudian saudara laki-lakiku, hanya agar
mendengar suaranya untuk yang terakhir kalinya, tapi aku tak ingin mereka
berpikir bahwa ini merupakan perbincangan terakhirku dengan mereka. Firasat
ibuku tajam, dia bertanya apa semuanya baik-baik saja; aku tersenyum dan
berkata bahwa aku menyayanginya, sebelum dengan enggan aku mengucapkan selamat
tinggal.
Sekitar jam 7 aku
keluar menuju mobil. Matahari telah tenggelam dan jalanan terasa sunyi, nyaris
seperti adegan pemakaman tanpa para undangan. Aku duduk di kursi pengemudi,
membiarkan pintu sebelah kiri terbuka, menunggu ‘penumpang’ yang tak kusukai
itu masuk.
Jam 9, tak ada yang
terjadi, tempat itu makin sunyi dan dinginnya angin malam yang mengalir melalui
pintu yang terbuka mulai menusukku. Saat aku duduk disana, gaungan suara-suara
memenuhi pikiranku. Aku memikirkan bagaimana sifat dari parasit pucat itu. Satu
pertanyaan muncul dari banyaknya pikiran-pikiran yang lain, makin kuat dan
mendominasi, terus berputar:
“Bisakah kau membunuh
sesuatu yang sudah meninggal?”
Aku tak tau apakah
‘makhluk’ itu berasal dari kuburan atau roh yang bisa dikatakan ‘hidup’ dalam
beberapa hal, tapi sesaat saat aku menaksir kembali rencanaku, dia ada disana.
Awalnya samar-samar, ada gerakan kecil, nyaris tak terlihat, di suspensi mobil.
Apa mungkin itu hanya sesuatu yang lain, seperti angin yang terus mendorong dan
meniup badan mobil, tapi aku terlalu familiar dengan sensasi ini, perasaan dari
beberapa tahun yang lalu, saat ranjang bawah bergerak-gerak halus dengan
‘makhluk’ itu diatasnya. Aku kenal dia.
Udara terasa padat seakan-akan terkontaminasi oleh mayat-mayat didekatnya. Dia
didalam mobil bersamaku, ya, tidak terlihat, tapi dia ada disana. Saat aku mendengar
desisan nafas samar dari kursi belakang, aku bersandar dan dengan tenang menutup pintu penumpang. Kuputar kunci mobil
dan saat aku turun ke jalan, aku bersumpah mendengar kikikkan jahat namun
pelan, seolah-olah makhluk itu mengejekku.
Apa dia tau rencanaku
untuknya?
Tempat tujuan kami
tidak terlalu jauh, kami menembus jejeran bukit yang menjulang dan hilang
bergantian saat mengambil jalan pedesaan; peringatan akan isolasi malam yang
tak menyenangkan. Di tengah jalan aku mendengar sesuatu dari belakang, tapi aku
tak mau menengok makhluk itu di kegelapan. Sabar; tak akan lama sampai aku
berhadapan dengannya.
Aku telah sampai.
Roda mobil menggerum
dan meluncur di semak-semak saat aku sampai di jalan pedesaan yang sempit. Lanskap
terbuka dan saat aku melihat ke arah pepohonan yang patah dan membusuk di
sekitarku, aku merasa pilihanku sangat tepat untuk datang di tempat gelap ini di
tengah dinginnya malam, untuk menghancurkan makhluk paling terkutuk itu.
Tiba-tiba jalan
berujung pada sebuah tebing yang curam; tebing yang muncul dari pertambangan
tua, terdapat air yang sangat gelap dari danau dibawah sana. Tepian tebing relatif
rata dan sebenarnya pada satu waktu ada pembangunan sebuah jalan yang kemudian
beberapa orang tenggelam di danau itu berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Anak
kecil setempat akan bercerita mengenai sebuah kisah hantu penuh dendam, hantu
dari yang terbunuh saat peristiwa itu, namun itu hanya sebuah kisah belaka. Atau
mungkin, tidak. Di waktu lalu aku mungkin akan mengabaikan kisah semacam itu,
tapi siapa yang akan percaya pada ceritaku jika aku menceritakan pada mereka
sekarang?
Kumatikan mesin dan
parkir beberapa meter dari tepian danau, mematikan semua lampu dan menenangkan
diri. Aku duduk di mobil untuk beberapa saat, terasa sangat lama, temanku
hanyalah bunyi deburan air yang berasal dari bawah danau sana.
Aku menunggu.
Makhluk ini pintar, tak
diragukan lagi. Dia bermain-main denganku, hanya makhluk cerdas dan jahat yang
menikmati kesakitan dan siksaan-siksaan yang dia buat. Untuk alasan ini, aku
tau mungkin dia mencurigaiku, bahkan bisa saja melarikan diri kalau aku parkir
terlalu dekat dengan tepian jurang; aku harus menunggunya menyerangku,
membiarkan dia menyergap, menyerang dan bersenang-senang, dan kemudian ia tak
akan sadar saat dengan perlahan kuarahkan mobilku menuju danau yang gelap dan dingin dibawah
sana.
Aku akan menenggelamkan
bajingan itu.
Aku telah memikirkan
konsekuensinya dan beralasan bahwa nantinya akan ada satu titik dimana aku akan
keluar dari mobil sebelum mobil itu mencapai tepian jurang. Mary dan aku
kadang-kadang pergi kesana, sebuah tempat yang jauh dari mana-mana dan tempat
ini tak nampak menyeramkan selama musim panas. Aku memilih tempat yang aku tau
benar. Kedalaman danau itu kira-kira 30 kaki dan aku tak ingin berada di dalam
mobil saat benda itu tercebur ke air, tidak juga ingin terjebak di dalamnya
dengan iblis itu.
Aku menunggu.
Lalu aku mendengarnya.
Awalnya pelan, lalu kemudian bertambah volume dan kecepatannya, sebuah desisan
keriut nafas dari belakang. Aneh, suara itu terdengar lebih memburu dari
sebelumnya. Tiap nafas menampakkan kepayahan, penuh dengan cairan, busuk dan
rapuh. Aku gemetar. Menjijikkan, bau busuk mulai memenuhi udara.
Nafas itu mulai
mendekat dari belakang.
Jantukku berdegup tak
karuan, berdetak keras dan cepat ketika aku mendongak dan melihat kaca depan
mulai berembun dari dalam. Aku bisa melihat nafasku, nafas makhluk itu juga,
tapi makhluk apa yang kini nafasnya
berhembus di sisi wajahku? Ku alihkan pandanganku perlahan, aku ingin menangis,
aku ingin pergi, berlari di tengah malam, tapi aku harus tetap disini, aku tak
bisa membiarkan makhluk itu melarikan diri.
Dia duduk di kursi
penumpang.
Aku sedang menatapnya,
dan dia menatapku. Duduk membungkuk di dalam kegelapan, tangannya berkerut dan
kurus, seolah-olah menderita rigamortis, perlahan-lahan dia bergerak ke arahku.
Satu kakinya yang kurus berkeretak saat dia nyaris menyentuh pangkuanku dan
berpindah ke sisi yang lain.
Ya tuhan, dia duduk di
atasku!
Dia mendekat ke arahku
dan melalui cahaya bulan, aku melihat wajahnya. Kulitnya menggantung di
tulangnya. Matanya yang berair lekat menatapku saat seringaian lebar muncul di
wajahnya, lebar dan terlihat aneh sebagai hasil dari kulitnya yang setengah
membusuk, menampakkan otot-otot yang membusuk, gigi yang rusak dan urat dari
senyum busuknya.
Lebih dekat lagi, dia
membuka mulut, menampakkan lidahnya yang basah dan busuk yang bisa dilihat di
sela-sela gigi bawahnya yang hilang. Mendesis, terengah-engah, bau busuk yang
menyengat mataku dan memenuhi mulutku membuatku bereaksi, tubuhku mencoba untuk
membuang gas beracun itu, dan saat aku melakukannya, dia berhenti sebentar,
lalu terkekeh pada dirinya sendiri; senang dan puas. Mengamati matanya yang
sedingin es, dia terkesan seperti seseorang yang menderita dan semakin lemah.
Dia masih kuat, tapi seolah-olah kehilangan sebagian kekuatannya.
Mungkin meninggalkan
ruangan itu memberikan efek padanya?
Jemari panjang kurusnya
membelai wajahku, seakan menunjukkan minatnya, dia menekan bahuku keras-keras
dengan salah satu jarinya. Aku menjerit saat dia makin menekan jarinya dan
melakukan gerakan memutar, iblis busuk
itu memindahkan jarinya untuk menimbulkan efek yang menyakitkan separah
mungkin. Lalau sementara itu, tangannya yang lain meluncur ke bagian bawah
tubuhku.
Dia menyentuhku.
Inilah waktunya. Dengan
satu tanganku yang bebas, aku menyalakan mobil. Meskipun bahuku masih tertekan,
aku berusaha menahannya. Ku tarik persneling dan melajukan mobilku secepat
mungkin.
Makhluk itu meronta dan
berteriak, dia bermaksud merangkak melewatiku menuju kursi belakang, tapi aku
menahannya sekuat tenagaku, ingatan akan apa yang telah menimpa Mary lebih dari
cukup untuk membakar amarahku. Kami melaju melewati tepian jurang dan aku
melihat pintu pengemudi dengan bingung. Saat kami makin dekat dengan danau
dingin itu, aku berteriak penuh amarah didepan wajahnya yang busuk dan bernanah
dan berusaha mendorongnya.
Dia matian-matian
menuju kursi belakang demi hidupnya, begitupun denganku yang mati-matian
membuka pintu mobil.
Aku terlalu lambat,
mobil melewati jurang dan sebelum aku sadar, kami sudah tercebur ke dalam air
yang gelap, membelah permukaan air seperti kaca dengan kekuatan luar biasa. Aku
seharusnya mati saat itu, tapi sebuah kantong-udara melindungiku, walaupun aku masih berusaha menyisipkan kepalaku di
ambang pintu.
Terpana, aku melihat
sekitar. Suara yang aku dengar dari makhluk itu terdengar aneh dan buruk, namun
familiar. Jeritan dari beberapa anak setan segera memberi jalan untuk
penderitaan dan kemarahan dari pemilik kecerdasan kuno yang tau bahwa dia
menghadapi kematian.
Air membeku dan masuk
melalui pintu mobil sedemikian rupa
sehingga pintu terbuka dan aku kekurangan oksigen. Aku terengah-engah
mencari udara begitu juga dengan mangsaku. Aku menggeliat dan memutar saat dia
mencari jalan keluar. Melihat pintu yang terbuka, dia dorong dirinya sendiri di
depanku.
Tanganku mengepal dan
meninju wajah makhluk itu. Bagian kulitnya yang busuk tergores hingga cairan
hitam pekat mengalir dari luka itu.
Lagi-lagi iblis itu
berusaha melewatiku namun aku harus tetap menahannya di dalam mobil, cukup lama
agar dia tenggelam, itu artinya aku harus mati bersamanya. Aku mati rasa saat
dinginnya air menyentuh daguku, jantungku meronta dan dengan sentakan
tiba-tiba, aku menyisakan nafas terakhirku.
Aku menahan nafas,
hanya untuk menyiapkan diri menghadapi kematian yang dingin dan menyiksa. Aku
harap tak terlalu menyakitkan. Ingatanku kembali pada Mary dan keluargaku, rasa
sedih dan putus asa memenuhi perasaanku, tapi saat aku bertarung dengan makhluk
yang kini berusaha untuk melewatiku dan mencapai pintu, meraih dan memukul
dengan tangannya, aku menunduk dan melihatnya.
Kakinya terjebak
diantara dashboard dan lantai mobil karena terjatuh. Walaupun dia bisa
bergerak, tapi dia tak bisa lepas dari sana.
Segera aku beralih ke
pintu. Semua nampak samar, aku hanya bisa melihat kaki di depanku didalam air
yang hitam, tapi terdapat cukup cahaya bulan untuk menerangi jalanku. Sesaat
aku meraih pintu, iblis itu memegang tubuhku dan menarikku ke belakang. Dia
telah putus asa untuk berusaha keluar, kini dia ingin menenggelamkanku
bersamanya.
Kami bertarung nyaris
seperti bertahun-tahun lamanya di dalam pekuburan yang dingin itu, saat
perlahan mobil mulai tenggelam lebih dalam dan dalam lagi menuju kegelapan.
Bisa ku rasakan tubuhku minta udara, untuk menghembuskan nafas terakhir dan
menghirup air beku.
Aku senang karena aku
menggunakan akalku untuk terbebas dari takdir yang mengerikan. Memusatkan
badanku, aku mendorong kakiku di dashboar sekuat tenaga agar terlepas dari
genggamannya. Aku tak terlalu ingat, rentetan jeritan sedih dan penuh kebencian
yang dikeluarkan penyiksaku saat aku meninggalkannya hingga mati di dasar danau
dingin itu.
Aku telah mengalahkan
makhluk itu sekali dan selamanya!
Itu sebelum aku masuk
ke dalam rumah dan menemukan jejak kaki yang basah dan lebar dari pintu depan
menuju kamarku.
Aku sungguh tak
percaya. Aku benar-benar putus asa hingga tak bisa di ungkapkan dengan
kata-kata. Makhluk itu berbaring di kasurku, menunggu, sebuah seprai putih
menutupi badan kurusnya dari pandangan.
Pikiran manusia adalah
sesuatu yang hebat. Sesaat setelah kau menyadari bahwa tubuhmu telah mencapai
batas kelelahan hingga tak bisa di pulihkan dengan cepat, bahwa emosimu telah
mencapai batas sehingga kau tak bisa lanjut, sebuah pikiran muncul secara ajaib
dari badan yang letih ini.
Biarkan dia istrahat,
untuk saat ini.
Aku berjalan perlahan
dalam kegelapan dan memungut dompet yang aku tinggalkan di meja kopi kecil di
tengah-tengah ruang tengah. Meninggalkan pintu tak terkunci, aku pergi untuk
menyusun rencana baru dan kembali ke rumah satu jam kemudian. Selama persiapan,
aku masuk ke kamar tamu. Disana aku berbaring di kasur, menunggu. Aku yakin ini
adalah permainan terakhir, alih-alih makhluk itu yang mempermainkanku, dialah
yang datang untuk dibunuh. Bagaimana caranya dia melepaskan diri dari kuburan
air itu, aku tak tau, tapi terkutuklah jika dia bisa lari lagi. Aku hanya bisa
berharap dia bisa merasakan kehadiranku dari kamar satunya.
Ku tutup mataku,
berpura-pura tidur. Waktu berjalan perlahan dan meskipun aku melawannya,
kepayahan akhirnya menguasaiku, membawaku ke dalam tidur yang nyenyak.
Aku bangun dengan
tangan makhluk itu melingkar di leherku. Dia batuk dan gemetar di atasku,
cairan hitam busuk menetes ke wajahku, menetes dari luka di wajahnya. Aku
berontak, berusaha bernafas dan berharap aku punya kekuatan untuk membebaskan
diri dari cengkramannya, tapi dia terlalu kuat dan tanganku tak bisa
mencengkramnya, karena tubuhnya basah oleh air danau.
Mungkin aku terlihat
tak rasional saat itu, tapi ketika mataku mulai kabur dan mulai agak tidak
sadar, aku melakukan apa yang sebagian besar binatang lakukan disaat-saat
terakhirnya; berpura-pura mati.
Berbaring diam, menahan
nafaaku, dia mengguncang-guncang leherku dengan kasar lalu melepasku. Aku
menunggu hingga saatnya tiba, kesempatan terakhirku untuk menghancurkan makhluk
ini. Nafasnya yang mulanya memburu kini menjadi teratur dan melihatku dengan
sorot yang nyaris aneh.
Aku masih menunggu dia
pindah sehingga memudahkanku nantinya untuk membantingnya ke tanah.
Mencondongkan tubuhnya
di dekatku, seringainya yang lebar menghilang. Mengumpulkan ludah busuknya di
dalam mulut dan yang tertinggal di pipinya, dia kemudian mengucapkan kata-kata
menjijikkan untuk yang hidup, dan yang mati; dia memuncratkan cairan busuknya
ke wajahku, sisanya menetes ke tubuhku melalui lubang di giginya.
Aku ingin berteriak,
dan membersihkan kotoran-kotoran itu dari kulitku, tapi aku tak bisa bergerak;
belum saatnya. Mencondongkan tubuhnya lebih dekat, dia menekan dan menggores luka
di bahuku, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhku. Sebisanya aku berusaha tetap
diam tak bergerak.
Lalu, perlahan-lahan
dia menyelipkan dua jemari kurusnya ke dalam mulutku. Rasanya sungguh busuk,
anyir, mati. Sentakan jemarinya mengguncang tekatku. Saat dia membungkuk dengan
gembira, tiba-tiba dia memasukkan jari-jarinya ke dalam tenggorokanku.
Aku tersedak, sebuah
reaksi yang manusiawi.
Alih-alih terkejut,
tawanya meledak dari sela gigi-giginya yang rusak. Saat dia mendorong jarinya
lebih dalam lagi, ku rasakan kulit dinginnya mengorek-ngorek bagian dalam
tenggorokanku yang berusaha menolak agar dia berhenti.
Di saat-saat yang tak
menyenangkan kita, terkadang kita menemukan kekuatan kita yang sebenarnya. Aku
berguling ke samping melawan beban
tubuhnya dan akhirnya, aku terbebas. Aku jatuh ke lantai. Tangan panjangnya mencengkeram kakiku, aku
menendang dan berteriak dan kemudian aku bebas. Dia melihatku, hanya beberapa
detik lamanya. Berdiri di atas kasur, tulang rapunya berkeretak saat dia
bergerak, kini dia menjulang tinggi dan membungkuk, siap untuk menerkam.
Sejak kecil aku selalu
yang jadi korban. Dia telah menghantuiku, mengambil kepolosanku, menyerang Mary
dan merusak hidupku.
Aku tak bisa lagi
menahannya.
Kadang-kadang mangsa
yang paling berbahaya adalah yang bisa mengecohmu , satu-satunya yang bisa
membuatmu terlena dengan persepsi yang salah akan dominasi dan superioritas,
satu-satunya yang telah menguasai tiap ketakutanmu dengan amarah dan
penghianatan. Dia telah masuk ke dalam jebakanku, satu-satunya yang menggunakan
logika, akal, dan pemahaman tentang dunia melalui kacamata ilmu sains.
Api membakar semuanya.
Saat dia mengerang,
menjerit, berkeriut dan berubah bentuk, bersiap untuk menerkam, dengan satu
gerakan cepat aku melepas selimut dari lantai, mengeluarkan sebotol bensin yang
aku bawa selama waktu persiapan yang singkat. Aku melemparnya sekuat mungkin,
cairan itu memercik ke tubuh makhluk itu dan ke kasur.
Dia menyeringai padaku,
mengejek keberadaanku, meringankan rasa sakit dan penderitaan yang dia buat.
Dari dalam saku aku
mengambil korek api, memantiknya dan
melemparnya ke arah makhluk sialan itu. Dia menggeliat dan berteriak kesakitan,
nampak dagingnya hancur, terbakar habis di depan mataku; aku nyaris merasa
bersalah padanya.
Biarkan dia terbakar.
Nyala api menjadi tak
terkendali, beruntung tetangga sebelah yang mendengar teriakan dan melihat
asap, segera memanggil pemadam kebakaran. Aku tak ingat bagaimana aku bisa
selamat.
Ku habiskan beberapa
jam di rumah sakit, dirawat karena menghirup asap ringan dan luka bakar di
tanganku. Masih sakit saat kugunakan mengetik, tapi seperti banyaknya luka yang
lain, mereka akan sembuh dengan sendirinya. Mungkin akan ada beberapa bekas
luka, tapi aku bisa hidup dengannya.
Polisi menangkapku tak
lama kemudian, menganggap akulah pembunuhnya. Mereka menduga aku telah membakar
seseorang dan lebih mencurigakan lagi dengan luka dalam yang kupunya di bahuku,
dan cakaran di sekujur tubuhku. Aku telah diberitau untuk tidak terlalu
menyimpang dari kasus yang mereka tanyakan, tapi mereka bisa bertanya dengan
leluasa, aku pikir mereka akan mempercayai jawabanku. Mereka tak menemukan
sisa-sisa dan bukti bahwa seseorang
pernah ada disana, malahan garis-garis dari sosok yang aneh terbentuk di
atas kasur dan di dinding. Nampak apapun yang pernah disana, berusaha untuk
melarikan diri, tapi aku tidak berpikir dia bisa melakukannya.
Seakan-akan sebuah
beban terangkat dari pundakku sekarang, satu hal yang kini aku sadar selalu ada disana, sejak aku
masih kecil. Aku percaya makhluk itu
punya pengaruh padaku bahkan dari jauh sekalipun, dan kini dia telah pergi, aku
merasa utuh kembali.
Aku sedih karena telah
kehilangan Mary, dan rumahku bisa di coret dari daftar pihak asuransi karena
kemungkinan tuduhan pembakaran rumah dengan sengaja saat mereka menyadari bahwa
aku yang sengaja menyulut api, yang artinya aku akan mengucapkan selamat
tinggal pada jaminan asuransi.
Tanganku nyeri, begitu
juga bahuku, tapi tidak dengan semangatku. Aku menulis ini di kamar hotel,
kecil dan sederhana, tapi akan cocok dengan keinginanku. Malam ini aku ingin tidur dan bermimpi,
seperti yang aku lakukan saat aku kecil, sebelum iblis itu merusak hidupku.
Aku yakin rasonalitasku
lah yang menyelamatkanku, pikiran logisku yang membuatku bisa menghancurkan
iblis itu, tapi aku tak akan meninggalkan kemungkinan akan kesimpulan bahwa
terdapat lebih banyak lagi yang hidup dibalik tabir, diluar sana, dalam
kegelapan. Ini adalah dunia yang telah aku lihat, dan tak ingin aku kunjungi
lagi, tapi malam ini aku akan istirahat dan besok aku akan membangun hidupku
lagi dengan keyakinan bahwa tamu—yang—tak—diundang itu telah pergi untuk
selamanya. Aku bisa merasakanya, aku tau itu!
Akan butuh waktu untuk
membiasakan diri dan mungkin pikiranku akan memainkan tipuan nantinya, susah
untuk meninggalkan paranoia (ketakutan) seumur hidup. Aku harus belajar menerima
keadaan aman sekali lagi. Aku menolak untuk menengok ke bahuku selama sisa
hari-hariku, tapi aku akan selalu berhati-hati, seperti saat aku di rumah sakit
pagi ini, berbaring di kasur di dalam bangsal yang sunyi, ku pikir aku merasa
kalau kasurnya bergetar beberapa detik, tapi aku tau itu hanya imajinasiku.
Aku senang karena telah
menulis pengalamanku, dia telah menujukkan banyak hal padaku tentang diriku
sendiri, dan yang terpenting harus ada orang yang pernah, amit-amit, mengalami
situasi yang sama, nantinya mungkin kau akan tau apa yang harus di lakukan.
Sekarang, waktunya
tidur dan aku harus istirahat karena aku tak pernah merasakan keletihan seperti
ini sebelumnya.
Selamat tidur, dan
tidur nyenyak...
(fin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar