The
Draft
By—Michael
J. Tops
Translated
By—RainiLa
Sudah lama sejak setelah
aku terakhir kali menulis. Aku meminta maaf pada semua fansku karena telah
membuat mereka berpikir aku mengalami writer’s block atau semacamnya.
Aku yakinkan bahwa aku
sama sekali tak kehilangan “sentuhan”ku, dan aku punya banyak ide. Hanya
saja... sesuatu terjadi. Kau lihat, aku telah melakukan penelitian belakangan
ini. kau tau, untuk cerita baruku, dan kau tak akan percaya apa yang terjadi
saat aku sedang melakukannya...
...
...
Aku berencana membuat
cerita horror pendek tentang sebuah kastil berhantu. Aku suka cerita klasik
yang gila. Lokasinya tak terlalu sulit, karena aku tinggal di kota tua berusia
delapan ribu tahun di Jerman, dan disana terdapat kastil yang letaknya tak jauh
dari rumahku. Aku mengamati kastil itu beberapa saat, melihat-lihat beberapa
lukisan tua, berjalan-jalan di ruang bawah tanah dan menaiki menara.
Sempurna! Selama berada
disana, aku merasakan kegelisahanku memuncak. Kita semua tau rasanya di
awasi—perasaan bahwa seseorang tengah mengamati tiap gerakanmu dari kegelapan.
Makin lama aku berada disana, makin kuat kegelisahan yang kurasakan. Ya,
bangunan tua itu akan jadi latar yang sempurna untuk ceritaku.
Setelah berterimakasih
pada pemilik kastil karena telah mengijinkanku melihat-lihat, aku bertolak ke
perpustakaan lokal untuk mencari pemilik kastil sebelumnya. Aku tau kalau para
walikota terdahulu dan para ksatria pernah tinggal disana. mungkin saja salah
satu dari mereka membunuh pelayan wanita atau istrinya selama masa kegelapan.
Akan jadi cerita mengesankan seperti kisah “Bloody Mary”. Apa yang aku temukan,
entah bagaimana, jauh lebih menarik ketimbang apa yang aku bayangkan.
Disana tertulis bahwa
kastil itu pernah menjadi kuil orang Yahudi, sebelum akhirnya Nazi mengusir
mereka. Tentu saja, menulis sebuah cerita berdarah pada Perang Dunia ke-II mengenai
Nazi yang menyiksa anak-anak Yahudi bukanlah gayaku, tapi kalian semua tau
kalau aku senang mengejutkan para pembaca.
Aku merenung kali ini.
cerita itu mulai terbentuk di pikiranku, dan makin lama makin terangkai dengan
runut. Aku memeriksa beberapa buku mengenai praktek penyiksaan Nazi dan sebuah
buku mengenai silsilah lokal untuk membangkitkan ideku. Pustakawan itu
melihatku dengan ekspresi konyol, tapi karena dia pernah beberapa kali
melihatku membawa pulang buku-buku aneh ke rumah, dia tak berkata sepatah
katapun.
Sesampainya di rumah,
aku segera menulis. Aku selalu menulis draft pertama secara manual daripada
mengetik dengan komputer. Bagiku cara itu terasa lebih menyenangkan.
Seakan-akan pena-ku nyaris bergerak dengan sendirinya, dan dia menulis begitu
banyak kata untukku.
Sejam atau dua jam
kemudian, aku telah menyelesaikan draft dan kemudian memutuskan untuk tidur
lebih awal. Malam itu aku tidur layaknya bayi. Seolah-seolah merupakan firasat
bahwa malam itu merupakan malam terakhirku bisa tidur nyenyak sebelum
minggu-minggu berikutnya tiba.
Setelah bangun pagi
berikutnya, aku membuat kopi, seperti biasanya, dan memutuskan untuk membaca
ulang hasil kerjaanku semalam sebelum mengetik draft yang lainnya di laptop.
Aku berpaling ke arah meja, tapi disana kosong. Aku ingat kalau pembantuku
biasanya meletakkan semua yang aku tinggalkan di atas meja ke dalam laci, jadi
aku tak terlalu memikirkan hal itu. Aku membuka laci dan menemukan bahwa laci
itu kosong. Sekarang aku mulai khawatir.
Aku memeriksa tempat
sampah, mencari didalam rumah, tapi tak menemukan apapun. Wajar bila aku marah
pada pembantuku karena telah membuang hasil kerjaku itu, tapi bukan berarti aku
tak bisa menulis ulang untuk yang kedua kalinya. Aku menulis ulang cerita
semalam, meletakkannya di dalam amplop bertuliskan “jangan dibuang” dan lalu
jalan-jalan keluar rumah.
Diluar sedang hujan.
Aku ingat pemandangan ini, karena hujan
belum juga berhenti dan aku selalu senang berjalan-jalan dibawah guyuran hujan.
Begitu menginspirasi saat melihat kesuraman dan jalanan yang kosong sementara
air terus-menerus turun tiada henti. Jadi aku berjalan selama tiga puluh menit
dengan perasaan senang.
Sesampainya di rumah,
aku mengambil segelas anggur putih dan beralih menuju meja. amplop itu masih di
tempatnya semula. Ku hidupkan laptop lalu membuka amplop. Draft-ku hilang lagi!
Draft-ku telah
digantikan dengan secarik kertas yang kecil dan kusam. Disana hanya tertulis
dua kata: “Hӧr auf!” [diterjemahkan dari bahasa Jerman—“Berhenti!”
Aku benar-benar tak
mengerti siapa dia yang menyuruhku untuk berhenti melakukan apa yang aku
lakukan, tapi aku punya firasat kalau seseorang telah menggodaku. Pesan seperti
ini muncul saat ada kejadian misterius, dan itu hanya terdapat didalam bukuku,
bukan di kehidupan nyata. Kuputuskan untuk tidak lagi membuat draft dengan
tulisan tangan.
Aku mulai mengetik,
tapi kata-katanya tidak mau keluar. Sejauh yang aku tau, hanya ibuku yang punya
kunci untuk mouse, dan ibuku sama sekali tak berminat dengan lelucon seperti
ini. aku tak bisa mengira-ngira siapa yang berani melakukan hal ini padaku dan
ideku mampet ditengah-tengah cerita, jadi kuputuskan untuk keluar rumah dan
membeli dua minuman.
Paginya aku menyalakan
laptop dan membuka file yang aku simpan semalam. Satu halaman yang telah aku
tulis telah di hapus dan di ganti dengan dua kata yang sama dengan yang di kertas
kemarin, namun kali ini tulisan itu terus berulang ratusan kali:
“Hӧr auf! Hӧr auf! Hӧr
auf! Hӧr auf! Hӧr auf! Hӧr auf! Hӧr auf! Hӧr auf!...”
Mendadak bulu kudukku
merenggang saat membacanya. Pertanyaan paranoid mendominasi pikiranku: “Apa
seseorang telah masuk ke dalam rumahku secara diam-diam? Bagaimana mereka tau
password-ku?” dan yang terpenting: “Apa mereka disini saat aku tengah
tertidur?” aku hilang kendali saat memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu, jadi
kuputuskan untuk membalas lelucon orang itu untuk membuat diriku tenang. Aku
menulis tulisan untuk malam keempat secara berturut-turut, tapi kali ini aku
menambahkan tulisan ekstra di bagian akhir tulisan. “Jika kau menghapus file
ini, akan kuhancurkan kau!”
Kuhabiskan sisa hari
itu untuk membeli beberapa kamera dan memasangnya di setiap kamar di dalam
rumah, jadi aku bisa menangkap siapapun yang telah mengacau di dalam rumahku.
Setelah itu aku mengabiskan berjam-jam untuk mondar-mandir kesana kemari
menunggu malam datang. Akhirnya aku tertidur didepan TV. Mimpi-mimpi tentang
pencuri yang menyusup ke dalam rumah menghantuiku tiap malam, sampai kilatan
cahaya halilintar dan bunyi guntur yang keras membangunkanku.
Ku periksa arlojiku dan
menyadari sudah hampir jam delapan pagi. mengantuk karena kurang istirahat
semalam, aku membuat kopi dan kembali ke ruang tengah. Segera saat aku duduk,
aku langsung melompat dan teringat akan kamera yang kupasang. Aku berlari ke
tempat dimana laptopku berada untuk memeriksa kalau-kalau aku menangkap
penjahat itu dalam upaya menghapus hasil kerjaku lagi.
Ceritaku lagi-lagi
hilang, dan digantikan oleh sebuah pesan yang lain, kali ini berbahasa
indonesia (naskah asli dalam bahasa inggris).
“Tidak jika aku yang
menangkapmu duluan...”
Aku mengambil kamera
yang terpasang di meja dan menekan tombol ‘replay’. Nampak didalam layar gambar
mejaku, dengan laptop diatasnya, kursiku, kekacauan acak diatas meja. tak ada
yang aneh. Aku menekan tombol ‘fast forward’ untuk mempercepat rekaman.
Tiba-tiba, pada jama lima lebih tiga puluh di pagi hari, layar tak menampakkan
apapun, hanya tampilan statis selama dua menit. Ku tekan tombol ‘rewind’ dan
melihat dua menit itu sekali lagi, mungkin saja aku bisa melihat sesuatu
diantara tampilan-tampilan statis itu. Aku tak bisa. kamera tak menangkap
apapun selain hanya tampilan statis antara jam lima lebih tiga puluh dan lima
lebih tiga puluh dua pagi.
Setelah itu ceritaku
tidak dihapus lagi, namun rentetan kecelakaan mulai terjadi. Dimulai dengan
hal-hal kecil. Aku terpeleset di kamar mandi, tak sengaja menyayat tanganku
saat membuat sandwich, kesalahan kecil seperti itu. Tapi, makin jauh aku
mengerjakan ceritaku, makin serius kecelakaan yang aku alami. Minggu lalu aku
berkendara dan jatuh di sisi jalan setapak, tepat di depan bis yang sedang
berjalan. Aku berencana berguling ke luar bahu jalan, tapi aku bersumpah aku
mendengar seseorang tertawa. Tawa dengan nada yang tinggi, tawa gila yang dari
hantu dalam film-film horror rendahan.
...
...
Mungkin aku jadi gila.
Mungkin menulis semua cerita-cerita mengenai perkosaan dan pembunuhan serta
gangguan kejiwaan telah memakan korban.
Kemarin rumahku
kebakaran. Aku berencana menyelamatkan laptop dan kameraku. Aku berencana
kembali lagi ke kastil dimana semua itu bermula. Mungkin disana aku bisa
menemukan petunjuk-petunjuk mengenai apa yang terjadi padaku. Aku sedang
berusaha mencari, di sisi yang terang, tentu saja—
Walaupun jika aku mati
disalah satu kecelakaan-kecelakaan itu, setidaknya aku mendapatkan satu hal
baik, yaitu cerita horror yang sangat menyeramkan.
-MJT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar