The Writer’s Ink
Credit
to—Eric
Translated
By—RainiLa
Jonathan duduk gemetar
dalam kegelapan. Dia tak benar-benar melihat sesuatu, matanya tak bisa
beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya. Satu lampu menyinari meja yang ia
duduki, memberinya sedikit cahaya untuk melihat tepi meja, tak lebih. Satu teko
berisi teh dan cangkir berisi setengahnya tergeletak di tengah meja. Dengan
tangan gemetar ia meraihnya dan mendekatkan ke bibirnya, tak benar-benar
melihat benda itu saat ia menyesapnya. Ia letakkan cangkir itu di piring.
Cangkir itu berderik, itulah satu-satunya suara yang menyenangkan selain
gemuruh guntur yang menyambar dari kejauhan.
Ia mendengar jentikan
sakelar. Jonathan mengerjapkan matanya beberapa saat, sesaat buta karena
terangnya cahaya yang menerangi ruangan. Dia membuka matanya lagi dan melihat
ke arah dapur kecil dengan nuansa putih. Satu jendela dan dua pintu memutus
jalinan lemari kaca yang berjejer di dinding.
Berdiri di pintu yang
terbuka, dialah Chris, teman Jonathan dan teman serumah. Tangannya menempel di
sakelar lampu.
“John, apa yang kau
lakukan? Ini lewat tengah malam!” Tanya Chris.
Jonathan masih menatap
lurus ke depan dan tak menjawab.
“John, jawab aku. ini
ketiga kalinya aku melihatmu seperti ini. Apa yang kau lakukan?”
Setelah diam beberapa
saat, Jonathan membalas, dengan suara pelan dan kering. “Aku bermimpi lagi.”
Matanya masih menatap jendela tanpa berkedip sedikitpun, meski ia tak nampak tau
apa yang ada di belakang benda itu. Chris tersentak.
Beberapa bulan
belakangan, Jonathan mengalami mimpi yang berulang. Dalam mimpi itu, ia berdiri
di luar kehidupannya, mengamatinya. Ia melihat dirinya sendiri menjalani
kehidupannya, menjalani rutinitas sehari-hari dan pengalaman yang serupa secara
berulang-ulang. Bagaimanapun, sesuatu seperti itu nampak tak nyata. Semua
perbuatannya palsu, seluruh percakapannya juga nampak telah di rencanakan.
Sebuah perasaan aneh muncul, bahwa ada sesuatu yang salah. perlahan, dan
bertahap, ia sedikit tau, aksinya digantikan oleh teks. Alih-alih melihat
dengan mata, ia membaca aksinya di tembok raksasa yang penuh dengan huruf-huruf
yang menggambarkan tiap gerakannya. Percakapannya muncul dalam tanda petik yang
ia baca, dan bukan ia ucapkan. Segera seluruh hidupnya tak ubahnya sebuah
novel, berlari maju menuju kesimpulan yang selalu di lingkupi oleh kekaburan.
Saat ia sampai di akhir, ia selalu terbangun, tapi perasaan itu tak pernah
hilang. Bahkan kadang-kadang, saat bangun ia mulai kehilangan rasa yang wajar.
Selama beberapa detik yang singkat, nyaris tak terasa, ia melihat benda-benda
yang digambarkan dengan kata-kata dan bukan dalam bentuk bagaimana mereka
seharusnya, dan gerakannya di gambarkan oleh pencerita—tak—bernama.
Chris menarik nafas dan
berjalan maju. Ia letakkan tangannya di bahu Jonathan dan bicara dengan suara
lembut. “Dengar, John, aku tau kau khawatir. Tapi kau harus ingat, itu hanya
mimpi! Belakangan kau sangat tertekan dan mulai mengalami mimpi buruk. Itu
biasa, dan tak ada yang perlu di khawatirkan.”
Jonathan tertawa
kecil.” Oh tidak, tidak begitu.”
“Apa maksudmu? John,
kembali tidur. Kau mulai membuatku khawatir.”
Untuk pertama kalinya
di malam itu, Jonathan berdiri dan bertatap muka dengan Chris. Ia lebih tinggi
dari Chris dan bayangannya mengenai wajah Chris. “Jangan bilang padaku kalau
kau tak merasakan hal itu juga! Perasaan ngeri, curiga bahwa ada sesuatu yang
salah? Tidakkah semuanya terlalu dramatis, terlalu, sempurna? REALITA TAK
SEHARUSNYA SEPERTI INI! BUKAN SEPERTI INI ORANG-ORANG BERBICARA, BUKAN BEGINI
CARANYA MEREKA BERTINDAK!” Jonathan sadar tengah berteriak dan kemudian ia
berhenti. Mengambil nafas panjang dan coba menenangkan diri, ia sandarkan
kepala ke tangannya.
Chris melihatnya dengan
sorot khawatir. “Baiklah, John, inilah yang akan kita lakukan. Kembali tidur
sajalah sekarang. Besok kita akan membuat janji dengan Dr. Limestone. Dia
membantumu soal mimpi-mimpi juga sebelumnya, dan...”
“Tidak.” Sahut
Jonathan, menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tak akan menemui dia lagi! Dia
tak akan membantu sama sekali, dia tak akan memecahkan masalah. Dia bukan
bagian dari cerita ini dan aku bahkan tak berpikir kalau dia juga sebuah
karakter.”
“John, apa yang kau
maksud? Sebuah karakter apa?”
“BUKU! Apa kau belum
menyadari? Aku tak tau apa ini komedi, atau drama atau apa... Tapi kita semua
adalah bagian darinya, kecuali dia, ku pikir.” Itulah bagian terburuk dari
mimpinya. Ia merasa kalau ribuan mata sedang membaca teks dengan ia didalamnya,
mempelajari tiap gerakannya, seolah-olah mereka adalah inti dari alur cerita.
Ia masih punya perasaan itu, perasaan aneh dan gila bahwa ia sedang diamati.
Chris menatapnya, tak
tau harus berkata apa. Jonathan bangkit dari kursi dan melihatnya, menggenggam
tangan Chris seakan-akan memohon agar ia mengerti. Secangkir teh jatuh dari
tangannya, pecah berkeping-keping ke tanah. “Lihat, apa ini tidak terlalu
dibuat-buat? Bukankah kau pernah merasakannya juga? Dengar guntur itu. Bukankah
ini latar yang sempurna? Dan semuanya seperti itu! Lampu saat kau masuk,
cangkir teh, demi Tuhan, bahkan caraku berdiri! Ini tidak alami! Mereka tidak
datang bersamaan untuk menciptakan sebuah tema! Cuaca tidak serta–merta sama dengan
suasana hatiku saat ini. Apa kau tak menyadarinya?!”
Chris mundur ke
belakang. “Baik uhh... John, itu semua gila. Kilat bisa datang kapan saja,
entah kau sedang marah atau tidak. Cangkir teh itu hanya kecelakaan, dan kita
bisa membeli yang baru. Sekarang, bagaimana tentang Dr. Limestone? Apa yang kau
maksud dengan ia bukan sebuah karakter?”
Jonathan mundur untuk menyangga
kepala. “Aku tau aku tak akan bertemu dengan dokter itu karena ia belum di
gambarkan disini. Aku tak tau bagaimana wajahnya.”
“Apa?”
“Kalau ini kehidupan
nyata, akan ada ribuan hal yang kecil dan remeh yang terjadi. Aku akan kenal
lusinan orang dan tau detail tak penting. Tapi ini bukan kenyataan, dan apapun
yang tak ada hubungannya dengan cerita, tak akan di gambarkan. Aku tak akan
bertemu dengan Dr. Limestone. Diluar percakapan ini, dia tidak eksis, dan bahkan
kita tak tau bagaimana dia.”
“John, ini gila!
Disamping poin...”
“Iyakah? Coba gambarkan
dia.”
Chris membuka mulutnya,
berniat menjawab, lalu berhenti. Ia sadar ia tak tau harus bilang apa.
“Ya... Dia adalah
psikiater.”
“Yang telah membantuku
soal mimpi-mimpi itu sebelumnya? Apa itu yang akan kau katakan? Karena itu
memang bagian dari percakapan kita. Kau tak tau bagaimana wajahnya, kan?”
Chris berhenti sejenak.
Itu adalah hal yang memang ingin ia katakan, menyebut dokter itu menggunakan
kata ganti orang ketiga. Hal itu nampak aneh. “Itu tak berarti apa-apa! Kita
hanya lupa, itu saja. kita belum melihatnya lagi selama berbulan-bulan. Bagaimanapun,
ini tidak penting, apa yang penting adalah...” Kata Chris.
“BERHENTI
MERASIONALKAN APA YANG TAK MASUK AKAL! Tak ada alasan bagi kita untuk tak
mengetahui bagaimana dia dan wajahnya. Ini hanya bagian dari alur yang sinting,
hanya itu. Bahkan apa yang kau lakukan tadi, coba mengubah topik untuk
menyembunyikan bagian yang belum ada! Itu bukan cara orang-orang bertindak,
Chris.”
“Baiklah, baik,
tapi itu tak berarti apa-apa. Hanya satu orang.”
“Benarkah?
Gambarkan bagaimana rupa tetangga kita padaku. Gambarkan ORANGTUAMU. Gambarkan
siapapun yang tak punya hubungan langsung dengan percakapan ini, dan aku akan
mempercayaimu.”
Chris memandang
wajah Jonathan dengan raut terkejut, tak tau harus berkata apa. Ia memikirkan
apapun, tentang wajah tetangganya, tentang sosok orangtuanya, tapi ia tak
menemukan apapun. Berulang-ulang ia lakukan namun hasilnya nihil.
“Baiklah... Ya
Tuhan... Aku tak tau, mungkin karena kita kelelahan.” Kata Chris.
“Terima kasih,
Chris. Haha, Chris atau Christ (yesus), penjaga dan penyelamatku, yang
menyinariku dari kegelapan! Khayalan yang bagus, eh? Seperti halnya kilat itu? Baklah
kalau begitu. Kau makan apa pagi ini?”
“Aku tak tau!
Bukan hal penting!”
“TEPAT SEKALI!
BUKAN HAL PENTING! Kita tak tau apapun hal yang tidak penting. Kenapa? Kenapa
harus begitu? Ini hanya terlalu palsu! Lihat, jika ini benar-benar rumah yang
telah kita tinggali, setidaknya kau harus bisa menjawab pertanyaanku. Apa yang
ada di balik pintu?” Jonathan menunjuk pintu yang tertutup di seberang dapur.
“Aku... Aku tak
tau. Aku tak tau harus berkata apa.”
“Benar! Tak ada
alasan bagi dua orang yang telah tinggal
di rumah selama bertahun-tahun tidak tau apa yang ada di balik pintu itu. Hal
itu tidak berkaitan saat kau menyalakan lampu, jadi tidak di gambarkan.”
“Baiklah, John,
baik. Anggap saja kau benar dan kita hanya ada di dalam cerita, lalu apa? Apa
kita membuka pintu?”
“Aku tak tau. Dia
disana karena memang ada alasannya, kita harus memusatkan perhatian padanya. Sekarang,
seharusnya ada yang penting dibaliknya.” Jawab John.
“Ya Tuhan, jadi
sekarang kau berpikir hanya dengan berbicara mengenai sesuatu, kita bisa
mempengaruhi semesta? Gila.”
“Tidak, memang
begitu! Lihat, seperti cangkir teh itu. Aku punya teh jadi dentingan kaca dan
cangkir yang pecah itu mewakili emosiku. Sekarang karena kita telah memusatkan
perhatian pada pintu itu, pasti ia mewakili sesuatu. Beginilah caranya, ya kan?
kau menyalakan lampu, menyinariku dari kegelapan, tapi aku menolaknya dan membuatmu
berada di bawah bayanganku.” Ia tutup matanya selama beberapa detik. Ia tak
melihat Chris menyalakan lampu, tapi kata-kata ‘Tangannya berada di sakelar lampu’ memenuhi pikirannya dengan
huruf-huruf hitam. “Ini semua pertanda! Jadi dapur punya dua pintu, satunya
terbuka dan satunya lagi tertutup, ada sesuatu yang penting di balik pintu yang
tertutup. Senapan Chekov, kan? kau masuk dari pintu satunya untuk menolongku di
bagian pertama. Bagian kedua berlangsung di balik pintu itu.”
“Baiklah, lalu
apa, haruskah kita buka pintu itu?”
“Aku tak tau.
Kita tak tau apa yang ada dibaliknya. Kita bahkan tak tau jenis cerita apa ini!”
“Benar... Bisa
saja ini drama, aksi, komedi... tak akan jadi terlalu buruk. Mungkin saja ini
semua hanyalah lelucon!”
“Begitu? Kau
ingin hidup di sebuah komedi? Apa kau sadar orang-orang akan menertawai kita,
menertawai tiap gerakan kita? Bagaimana seandainya kalau kita hanyalah badut
untuk di ejek orang-orang? Tuhan, jika kita hanya karakter kartun yang idiot,
akankah kita punya kecerdasan untuk diucapkan?”
“Aku... Aku tak
berpikir sejauh itu. Komedi masih jauh lebih baik daripada tragedi.” Kata
Chris.
“Aku... Aku tak
tau. Dengar, kita bisa memecahkannya. Mungkin saja ini aksi, tapi tak ada dari
kita yang bisa bertarung ataupun menggunakan senjata.” Kata Jonathan, sadar ia
menyimpulkannya sebagai fakta saat ia mengatakannya. “Aku pikir ini bukan
komedi, karena kita seharusnya ingat kejadian yang lucu. Dan lagi, mungkin kita
bukan bagian dari alur... Aku tak tau.”
“Semoga ini
drama, atau romansa. Bayangkan jika semua hal ini akan mempertemukan kita
dengan beberapa wanita yang sempurna?” Kata Chris penuh harap.
“Entahlah.
Dengar, kita seharusnya bisa mengenali dari keadaan sekitar. Tulisan dan
gambaran seharusnya mencerminkan alurnya. Kita harus melihat tanda-tandanya,
mungkin kita akan dapat petunjuk.” Kesadaran yang lambat mulai muncul di otak
Jonathan. Meski ia tetap bertanya-tanya, di hatinya ia khawatir kalau ia tau
benar di cerita macam apa ia berada.
“Benar, baiklah
lalu apa yang bisa kita simpulkan dari dapur ini?” Tanya Chris.
Jonathan
berpikir selama beberapa saat. “Semuanya, dalam percakapan kita, dan hal-hal
yang telah kita bicarakan, berputar-putar disekelilingku. Ku pikir aman mengatakan kalau akulah
karakter utama disini.”
“Oke.” Kata
Chris, mengangguk dan mengikuti ucapan Jonathan. “Lalu apa yang terjadi padamu
baru-baru ini?”
“Aku khawatir,
Chris. Dengan guntur, kegelapan, mimpi buruk, cangkir yang jatuh... Aku pikir
ini bukan cerita bahagia. Sesuatu yang buruk akan terjadi, dan akan terjadi
segera.” Saat ia berkata demikian, guntur bergemuruh sekali lagi di horison,
dan satu kilatan halilintar menghantam jendela dengan cahayanya yang bergerigi.
Chris menelan
ludah. “Baiklah kalau begitu. Apa kita membuka pintu? Kita berdua sama –sama
tidak tau apa yang ada di baliknya, ku pikir akan lebih baik jika kita tetap
tak tau. Bagaimanapun juga kau memecahkan polanya. Apa yang akan kita lakukan?”
Jonathan menutup
matanya rapat-rapat dan mencengkeram bagian belakang kursinya. Ia bahkan tak
ingat telah berdiri di belakangnya. Jari-jarinya memucat. Akhirnya, ia
bersuara. “Jika ini memang benar jenis cerita yang sama dengan perkiraanku, aku
pikir kita tak punya pilihan lain. Kita yang berjalan menuju pintu itu dan
melihat apa yang ada di baliknya, atau ‘dia’ yang akan datang dan menangkap
kita. Jika kita adalah tokoh utama, maka kita akan aman. Biasanya mereka
selamat.”
“Biasanya? Tidak
selalu?”
“Biasanya.”
Chris menatap
Jonathan, lalu beralih ke pintu. “Baik, kita mungkin harus bergerak lebh dulu.
Kalau aku yang jadi peran sampingan disini, ku kira inilah kewajibanku.
Lagipula aku Christ (yesus), kan? aku membawa cahaya ke tempat yang gelap?
Akulah yang berkorban?”
“Chris! Jangan
bercanda! Dengar, aku tak yakin...”
“Jangan
khawatir! Seperti yang kau bilang, kita akan aman, kan? kitalah tokoh utamanya.
Kita tak akan mati di chapter awal. Mungkin ini akan berakhir dengan menjadi
lelucon.”
Meski ia masih
ketakutan, perlahan Jonathan mengangguk. ia melihat Chris berjalan menuju pintu
dan membukanya dengan hati-hati. Terdengar suara derikan engsel saat pintu
terbuka, dan kepulan debu beterbangan di dapur. Jelas bahwa pintu itu tak
pernah di buka dalam waktu yang lama.
Diluar pintu
suasana nyaris hitam pekat. Chris meraih laci terdekat dan mengambil senter. Ia
nyalakan senter itu dan mengarahkannya ke kegelapan di luar, menampakkan sebuah
tangga kayu sempit yang menurun diantara dua dinding batu. Perlahan-lahan ia
turun kebawah tangga. Jonathan menghampiri Chris dan turut berjalan ke dalam
kegelapan yang asing.
Chris mencapai
bagian akhir tangga dan berhenti. Ia menoleh ke arah sebuah ruangan lebar, dan
mengarahkan senternya disana.
“Demi... Demi
Tuhan, John. Ini bukan komedi. Ini Horror.”
Jonathan mengikuti pandangan Chris dan menemukan
ketakutan terbesarnya. Lantai ruangan tertutup oleh lumpur hitam. Lusinan
tulang dan kerangka patah serta senjata kuno berserakan di sana. Dindingnya
tertutup oleh tulisan cakar ayam dari darah dalam berbagai bahasa, dari huruf
rune kuno ke huruf modern, ditulis dalam bahasa yang seorangpun tak akan
mengerti.
“LARI CHRIS! TAK
SEHARUSNYA KITA DATANG KESINI!” Jonathan berteriak saat ia berlari ke atas
tangga. Seluruh bangunan mulai bergetar, gemuruh yang awalnya ia kira sebagai
guntur itu kini berubah jadi suara yang datang bersamaan dari semua penjuru. Ia
lari menuju dapur, tapi berhenti di tengah pintu. Lemari kaca di bagian terjauh
dapur mulai berubah bentuk. Bentuk mereka mengabur yang kemudian berubah
menjadi tulisan, berubah dan digantikan dengan gambaran mengenai mereka
sendiri. “Lemari kaca putih yang lebar, dengan gagang perak. Lemari kaca
panjang kecil, dengan gagang emas. Oven listrik, empat kompor listrik, stl
hitam sjdhdk sehitam mltae slag
asdf sdg
dsg
sdfsdg&helli
p;” sdg dsg sdfg
sdgf gf
f
sd
d
huruf-huruf itu
mulai turun, campur aduk dan membentuk kalimat yang tak bisa dipahami sebelum
menghilang di bidang yang putih. Jonathan menyadari hal itu, menyadari
kebenaran dan bahwa ia merusak perannya, ia telah menghapus semua yang
menghubungkan alur jadi satu. Dengan keluar dari ceritanya sendiri, ia telah
merusak dunia fiksi.
Chris tetap
berlari saat Jonathan berhenti. Ia berlari menabrak punggung Jonathan dan
keduanya jatuh. Nampaknya Chris tak menyadari apa yang tengah terjadi dan
merayap ke depan, menyuruh Jonathan untuk tetap berlari.
“TIDAK! JANGAN
MASUK KESANA! INI TIDAK NYATA!” Teriak Jonathan. Chris menjerit saat ia melihat
dinding-dinding di sekitarnya melebur. Ia merangkak lagi menuju tangga di
bawah, tapi disusul oleh dinding-dinding huruf yang berjatuhan. Kakinya mulai
berubah perlahan. Wajahnya menampakkan kengerian saat melihat kakinya larut
jadi kata-kata. Ia tetap merayap ke depan, tapi ia tak bisa melakukan apapun
untuk merubah nasibnya.
Jonathan ngeri
saat melihat temannya berubah ke dalam ketiadaan. Semua semesta yang ia
tinggali tengah berubah. Ia berbalik dan mulai menuruni tangga lagi, lebih
memilih horror dari kerangka-kerangka mati daripada kematian di dapur.
Ia tersandung dan
roboh di lantai yang kotor. Kepalanya menggesek tanah dibawahnya, menciptakan
goresan panjang di mata kanannya, sehingga mata kanannya tak bisa melihat
karena penuh dengan darah. Dengan satu matanya yang lain, ia berbalik untuk
melihat takdirnya. Dinding-dinding huruf masih berjalan menuju tangga, lalu
berhenti di pangkalnya. Huruf-huruf itu bertaut satu sama lain, memenuhi ruang
kosong berwarna putih dan membentuk sebuah dinding hitam. Jonathan
merasakannya, dan sadar dinding itu jadi bagian dari dinding yang kini
mengitarinya. Ia mengamati sekitar menggunakan senter. Ia terjebak di ruangan
batu berbentuk kotak yang luasnya tak lebih dari dua puluh kaki.
Jonathan duduk
di tengah ruangan, tak tau harus berbuat apa. Waktu terus berjalan, dan ia tak
tau telah disana selama berapa lama, bermenit-menit, berhari-hari,
bertahun-tahun atau malah berabad-abad. Ia terjebak disana sendirian. Ia
mengira ia telah berada disana selama berhari-hari karena cahaya senter belum
juga meredup, dan kepalanya belum juga kering. Tak ada yang bisa ia lakukan dan
tak ada alasan untuk bergerak.
Setelah beberapa
waktu yang tak ia ketahui, ia berdiri lagi. Seolah-olah dipaksa oleh kekuatan
yang tak terlihat, ia berjalan menuju dinding. Ia usap tangannya pada darah
yang mengalir di wajahnya dan menempelkan jarinya di dinding. Ia membuat
garis-garis yang membentuk kata, dan akhirnya kata-kata itu tersusun menjadi
cerita.
Cerita itu
dimulai. “Jonathan duduk gemetar di dalam kegelapan...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar