Jumat, 07 Februari 2014

[cerita terjemahan] The Writer's Ink



The Writers Ink
Credit to—Eric

Translated By—RainiLa

 

Jonathan duduk gemetar dalam kegelapan. Dia tak benar-benar melihat sesuatu, matanya tak bisa beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya. Satu lampu menyinari meja yang ia duduki, memberinya sedikit cahaya untuk melihat tepi meja, tak lebih. Satu teko berisi teh dan cangkir berisi setengahnya tergeletak di tengah meja. Dengan tangan gemetar ia meraihnya dan mendekatkan ke bibirnya, tak benar-benar melihat benda itu saat ia menyesapnya. Ia letakkan cangkir itu di piring. Cangkir itu berderik, itulah satu-satunya suara yang menyenangkan selain gemuruh guntur yang menyambar dari kejauhan.
Ia mendengar jentikan sakelar. Jonathan mengerjapkan matanya beberapa saat, sesaat buta karena terangnya cahaya yang menerangi ruangan. Dia membuka matanya lagi dan melihat ke arah dapur kecil dengan nuansa putih. Satu jendela dan dua pintu memutus jalinan lemari kaca yang berjejer di dinding.
Berdiri di pintu yang terbuka, dialah Chris, teman Jonathan dan teman serumah. Tangannya menempel di sakelar lampu.
“John, apa yang kau lakukan? Ini lewat tengah malam!” Tanya Chris.
Jonathan masih menatap lurus ke depan dan tak menjawab.
“John, jawab aku. ini ketiga kalinya aku melihatmu seperti ini. Apa yang kau lakukan?”
Setelah diam beberapa saat, Jonathan membalas, dengan suara pelan dan kering. “Aku bermimpi lagi.” Matanya masih menatap jendela tanpa berkedip sedikitpun, meski ia tak nampak tau apa yang ada di belakang benda itu. Chris tersentak.
Beberapa bulan belakangan, Jonathan mengalami mimpi yang berulang. Dalam mimpi itu, ia berdiri di luar kehidupannya, mengamatinya. Ia melihat dirinya sendiri menjalani kehidupannya, menjalani rutinitas sehari-hari dan pengalaman yang serupa secara berulang-ulang. Bagaimanapun, sesuatu seperti itu nampak tak nyata. Semua perbuatannya palsu, seluruh percakapannya juga nampak telah di rencanakan. Sebuah perasaan aneh muncul, bahwa ada sesuatu yang salah. perlahan, dan bertahap, ia sedikit tau, aksinya digantikan oleh teks. Alih-alih melihat dengan mata, ia membaca aksinya di tembok raksasa yang penuh dengan huruf-huruf yang menggambarkan tiap gerakannya. Percakapannya muncul dalam tanda petik yang ia baca, dan bukan ia ucapkan. Segera seluruh hidupnya tak ubahnya sebuah novel, berlari maju menuju kesimpulan yang selalu di lingkupi oleh kekaburan. Saat ia sampai di akhir, ia selalu terbangun, tapi perasaan itu tak pernah hilang. Bahkan kadang-kadang, saat bangun ia mulai kehilangan rasa yang wajar. Selama beberapa detik yang singkat, nyaris tak terasa, ia melihat benda-benda yang digambarkan dengan kata-kata dan bukan dalam bentuk bagaimana mereka seharusnya, dan gerakannya di gambarkan oleh pencerita—tak—bernama.
Chris menarik nafas dan berjalan maju. Ia letakkan tangannya di bahu Jonathan dan bicara dengan suara lembut. “Dengar, John, aku tau kau khawatir. Tapi kau harus ingat, itu hanya mimpi! Belakangan kau sangat tertekan dan mulai mengalami mimpi buruk. Itu biasa, dan tak ada yang perlu di khawatirkan.”
Jonathan tertawa kecil.” Oh tidak, tidak begitu.”
“Apa maksudmu? John, kembali tidur. Kau mulai membuatku khawatir.”
Untuk pertama kalinya di malam itu, Jonathan berdiri dan bertatap muka dengan Chris. Ia lebih tinggi dari Chris dan bayangannya mengenai wajah Chris. “Jangan bilang padaku kalau kau tak merasakan hal itu juga! Perasaan ngeri, curiga bahwa ada sesuatu yang salah? Tidakkah semuanya terlalu dramatis, terlalu, sempurna? REALITA TAK SEHARUSNYA SEPERTI INI! BUKAN SEPERTI INI ORANG-ORANG BERBICARA, BUKAN BEGINI CARANYA MEREKA BERTINDAK!” Jonathan sadar tengah berteriak dan kemudian ia berhenti. Mengambil nafas panjang dan coba menenangkan diri, ia sandarkan kepala ke tangannya.
Chris melihatnya dengan sorot khawatir. “Baiklah, John, inilah yang akan kita lakukan. Kembali tidur sajalah sekarang. Besok kita akan membuat janji dengan Dr. Limestone. Dia membantumu soal mimpi-mimpi juga sebelumnya, dan...”
“Tidak.” Sahut Jonathan, menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tak akan menemui dia lagi! Dia tak akan membantu sama sekali, dia tak akan memecahkan masalah. Dia bukan bagian dari cerita ini dan aku bahkan tak berpikir kalau dia juga sebuah karakter.”
“John, apa yang kau maksud? Sebuah karakter apa?”
“BUKU! Apa kau belum menyadari? Aku tak tau apa ini komedi, atau drama atau apa... Tapi kita semua adalah bagian darinya, kecuali dia, ku pikir.” Itulah bagian terburuk dari mimpinya. Ia merasa kalau ribuan mata sedang membaca teks dengan ia didalamnya, mempelajari tiap gerakannya, seolah-olah mereka adalah inti dari alur cerita. Ia masih punya perasaan itu, perasaan aneh dan gila bahwa ia sedang diamati.
Chris menatapnya, tak tau harus berkata apa. Jonathan bangkit dari kursi dan melihatnya, menggenggam tangan Chris seakan-akan memohon agar ia mengerti. Secangkir teh jatuh dari tangannya, pecah berkeping-keping ke tanah. “Lihat, apa ini tidak terlalu dibuat-buat? Bukankah kau pernah merasakannya juga? Dengar guntur itu. Bukankah ini latar yang sempurna? Dan semuanya seperti itu! Lampu saat kau masuk, cangkir teh, demi Tuhan, bahkan caraku berdiri! Ini tidak alami! Mereka tidak datang bersamaan untuk menciptakan sebuah tema! Cuaca tidak serta–merta sama dengan suasana hatiku saat ini. Apa kau tak menyadarinya?!”
Chris mundur ke belakang. “Baik uhh... John, itu semua gila. Kilat bisa datang kapan saja, entah kau sedang marah atau tidak. Cangkir teh itu hanya kecelakaan, dan kita bisa membeli yang baru. Sekarang, bagaimana tentang Dr. Limestone? Apa yang kau maksud dengan ia bukan sebuah karakter?”
Jonathan mundur untuk menyangga kepala. “Aku tau aku tak akan bertemu dengan dokter itu karena ia belum di gambarkan disini. Aku tak tau bagaimana wajahnya.”
“Apa?”
“Kalau ini kehidupan nyata, akan ada ribuan hal yang kecil dan remeh yang terjadi. Aku akan kenal lusinan orang dan tau detail tak penting. Tapi ini bukan kenyataan, dan apapun yang tak ada hubungannya dengan cerita, tak akan di gambarkan. Aku tak akan bertemu dengan Dr. Limestone. Diluar percakapan ini, dia tidak eksis, dan bahkan kita tak tau bagaimana dia.”
“John, ini gila! Disamping poin...”
“Iyakah? Coba gambarkan dia.”
Chris membuka mulutnya, berniat menjawab, lalu berhenti. Ia sadar ia tak tau harus bilang apa.
“Ya... Dia adalah psikiater.”
“Yang telah membantuku soal mimpi-mimpi itu sebelumnya? Apa itu yang akan kau katakan? Karena itu memang bagian dari percakapan kita. Kau tak tau bagaimana wajahnya, kan?”
Chris berhenti sejenak. Itu adalah hal yang memang ingin ia katakan, menyebut dokter itu menggunakan kata ganti orang ketiga. Hal itu nampak aneh. “Itu tak berarti apa-apa! Kita hanya lupa, itu saja. kita belum melihatnya lagi selama berbulan-bulan. Bagaimanapun, ini tidak penting, apa yang penting adalah...” Kata Chris.
“BERHENTI MERASIONALKAN APA YANG TAK MASUK AKAL! Tak ada alasan bagi kita untuk tak mengetahui bagaimana dia dan wajahnya. Ini hanya bagian dari alur yang sinting, hanya itu. Bahkan apa yang kau lakukan tadi, coba mengubah topik untuk menyembunyikan bagian yang belum ada! Itu bukan cara orang-orang bertindak, Chris.”
“Baiklah, baik, tapi itu tak berarti apa-apa. Hanya satu orang.”
“Benarkah? Gambarkan bagaimana rupa tetangga kita padaku. Gambarkan ORANGTUAMU. Gambarkan siapapun yang tak punya hubungan langsung dengan percakapan ini, dan aku akan mempercayaimu.”
Chris memandang wajah Jonathan dengan raut terkejut, tak tau harus berkata apa. Ia memikirkan apapun, tentang wajah tetangganya, tentang sosok orangtuanya, tapi ia tak menemukan apapun. Berulang-ulang ia lakukan namun hasilnya nihil.
“Baiklah... Ya Tuhan... Aku tak tau, mungkin karena kita kelelahan.” Kata Chris.
“Terima kasih, Chris. Haha, Chris atau Christ (yesus), penjaga dan penyelamatku, yang menyinariku dari kegelapan! Khayalan yang bagus, eh? Seperti halnya kilat itu? Baklah kalau begitu. Kau makan apa pagi ini?”
“Aku tak tau! Bukan hal penting!”
“TEPAT SEKALI! BUKAN HAL PENTING! Kita tak tau apapun hal yang tidak penting. Kenapa? Kenapa harus begitu? Ini hanya terlalu palsu! Lihat, jika ini benar-benar rumah yang telah kita tinggali, setidaknya kau harus bisa menjawab pertanyaanku. Apa yang ada di balik pintu?” Jonathan menunjuk pintu yang tertutup di seberang dapur.
“Aku... Aku tak tau. Aku tak tau harus berkata apa.”
“Benar! Tak ada alasan bagi dua orang  yang telah tinggal di rumah selama bertahun-tahun tidak tau apa yang ada di balik pintu itu. Hal itu tidak berkaitan saat kau menyalakan lampu, jadi tidak di gambarkan.”
“Baiklah, John, baik. Anggap saja kau benar dan kita hanya ada di dalam cerita, lalu apa? Apa kita membuka pintu?”
“Aku tak tau. Dia disana karena memang ada alasannya, kita harus memusatkan perhatian padanya. Sekarang, seharusnya ada yang penting dibaliknya.” Jawab John.
“Ya Tuhan, jadi sekarang kau berpikir hanya dengan berbicara mengenai sesuatu, kita bisa mempengaruhi semesta? Gila.”
“Tidak, memang begitu! Lihat, seperti cangkir teh itu. Aku punya teh jadi dentingan kaca dan cangkir yang pecah itu mewakili emosiku. Sekarang karena kita telah memusatkan perhatian pada pintu itu, pasti ia mewakili sesuatu. Beginilah caranya, ya kan? kau menyalakan lampu, menyinariku dari kegelapan, tapi aku menolaknya dan membuatmu berada di bawah bayanganku.” Ia tutup matanya selama beberapa detik. Ia tak melihat Chris menyalakan lampu, tapi kata-kata ‘Tangannya berada di sakelar lampu’ memenuhi pikirannya dengan huruf-huruf hitam. “Ini semua pertanda! Jadi dapur punya dua pintu, satunya terbuka dan satunya lagi tertutup, ada sesuatu yang penting di balik pintu yang tertutup. Senapan Chekov, kan? kau masuk dari pintu satunya untuk menolongku di bagian pertama. Bagian kedua berlangsung di balik pintu itu.”
“Baiklah, lalu apa, haruskah kita buka pintu itu?”
“Aku tak tau. Kita tak tau apa yang ada dibaliknya. Kita bahkan tak tau jenis cerita apa ini!”
“Benar... Bisa saja ini drama, aksi, komedi... tak akan jadi terlalu buruk. Mungkin saja ini semua hanyalah lelucon!”
“Begitu? Kau ingin hidup di sebuah komedi? Apa kau sadar orang-orang akan menertawai kita, menertawai tiap gerakan kita? Bagaimana seandainya kalau kita hanyalah badut untuk di ejek orang-orang? Tuhan, jika kita hanya karakter kartun yang idiot, akankah kita punya kecerdasan untuk diucapkan?”
“Aku... Aku tak berpikir sejauh itu. Komedi masih jauh lebih baik daripada tragedi.” Kata Chris.
“Aku... Aku tak tau. Dengar, kita bisa memecahkannya. Mungkin saja ini aksi, tapi tak ada dari kita yang bisa bertarung ataupun menggunakan senjata.” Kata Jonathan, sadar ia menyimpulkannya sebagai fakta saat ia mengatakannya. “Aku pikir ini bukan komedi, karena kita seharusnya ingat kejadian yang lucu. Dan lagi, mungkin kita bukan bagian dari alur... Aku tak tau.”
“Semoga ini drama, atau romansa. Bayangkan jika semua hal ini akan mempertemukan kita dengan beberapa wanita yang sempurna?” Kata Chris penuh harap.
“Entahlah. Dengar, kita seharusnya bisa mengenali dari keadaan sekitar. Tulisan dan gambaran seharusnya mencerminkan alurnya. Kita harus melihat tanda-tandanya, mungkin kita akan dapat petunjuk.” Kesadaran yang lambat mulai muncul di otak Jonathan. Meski ia tetap bertanya-tanya, di hatinya ia khawatir kalau ia tau benar di cerita macam apa ia berada.
“Benar, baiklah lalu apa yang bisa kita simpulkan dari dapur ini?” Tanya Chris.
Jonathan berpikir selama beberapa saat. “Semuanya, dalam percakapan kita, dan hal-hal yang telah kita bicarakan, berputar-putar disekelilingku.  Ku pikir aman mengatakan kalau akulah karakter utama disini.”
“Oke.” Kata Chris, mengangguk dan mengikuti ucapan Jonathan. “Lalu apa yang terjadi padamu baru-baru ini?”
“Aku khawatir, Chris. Dengan guntur, kegelapan, mimpi buruk, cangkir yang jatuh... Aku pikir ini bukan cerita bahagia. Sesuatu yang buruk akan terjadi, dan akan terjadi segera.” Saat ia berkata demikian, guntur bergemuruh sekali lagi di horison, dan satu kilatan halilintar menghantam jendela dengan cahayanya yang bergerigi.
Chris menelan ludah. “Baiklah kalau begitu. Apa kita membuka pintu? Kita berdua sama –sama tidak tau apa yang ada di baliknya, ku pikir akan lebih baik jika kita tetap tak tau. Bagaimanapun juga kau memecahkan polanya. Apa yang akan kita lakukan?”
Jonathan menutup matanya rapat-rapat dan mencengkeram bagian belakang kursinya. Ia bahkan tak ingat telah berdiri di belakangnya. Jari-jarinya memucat. Akhirnya, ia bersuara. “Jika ini memang benar jenis cerita yang sama dengan perkiraanku, aku pikir kita tak punya pilihan lain. Kita yang berjalan menuju pintu itu dan melihat apa yang ada di baliknya, atau ‘dia’ yang akan datang dan menangkap kita. Jika kita adalah tokoh utama, maka kita akan aman. Biasanya mereka selamat.”
“Biasanya? Tidak selalu?”
“Biasanya.”
Chris menatap Jonathan, lalu beralih ke pintu. “Baik, kita mungkin harus bergerak lebh dulu. Kalau aku yang jadi peran sampingan disini, ku kira inilah kewajibanku. Lagipula aku Christ (yesus), kan? aku membawa cahaya ke tempat yang gelap? Akulah yang berkorban?”
“Chris! Jangan bercanda! Dengar, aku tak yakin...”
“Jangan khawatir! Seperti yang kau bilang, kita akan aman, kan? kitalah tokoh utamanya. Kita tak akan mati di chapter awal. Mungkin ini akan berakhir dengan menjadi lelucon.”
Meski ia masih ketakutan, perlahan Jonathan mengangguk. ia melihat Chris berjalan menuju pintu dan membukanya dengan hati-hati. Terdengar suara derikan engsel saat pintu terbuka, dan kepulan debu beterbangan di dapur. Jelas bahwa pintu itu tak pernah di buka dalam waktu yang lama.
Diluar pintu suasana nyaris hitam pekat. Chris meraih laci terdekat dan mengambil senter. Ia nyalakan senter itu dan mengarahkannya ke kegelapan di luar, menampakkan sebuah tangga kayu sempit yang menurun diantara dua dinding batu. Perlahan-lahan ia turun kebawah tangga. Jonathan menghampiri Chris dan turut berjalan ke dalam kegelapan yang asing.
Chris mencapai bagian akhir tangga dan berhenti. Ia menoleh ke arah sebuah ruangan lebar, dan mengarahkan senternya disana.
“Demi... Demi Tuhan, John. Ini bukan komedi. Ini Horror.”
Jonathan  mengikuti pandangan Chris dan menemukan ketakutan terbesarnya. Lantai ruangan tertutup oleh lumpur hitam. Lusinan tulang dan kerangka patah serta senjata kuno berserakan di sana. Dindingnya tertutup oleh tulisan cakar ayam dari darah dalam berbagai bahasa, dari huruf rune kuno ke huruf modern, ditulis dalam bahasa yang seorangpun tak akan mengerti.
“LARI CHRIS! TAK SEHARUSNYA KITA DATANG KESINI!” Jonathan berteriak saat ia berlari ke atas tangga. Seluruh bangunan mulai bergetar, gemuruh yang awalnya ia kira sebagai guntur itu kini berubah jadi suara yang datang bersamaan dari semua penjuru. Ia lari menuju dapur, tapi berhenti di tengah pintu. Lemari kaca di bagian terjauh dapur mulai berubah bentuk. Bentuk mereka mengabur yang kemudian berubah menjadi tulisan, berubah dan digantikan dengan gambaran mengenai mereka sendiri. “Lemari kaca putih yang lebar, dengan gagang perak. Lemari kaca panjang kecil, dengan gagang emas. Oven listrik, empat kompor listrik, stl hitam sjdhdk sehitam mltae slag
asdf sdg
dsg sdfsdg&helli
p;” sdg dsg sdfg

sdgf gf

f
sd

d
huruf-huruf itu mulai turun, campur aduk dan membentuk kalimat yang tak bisa dipahami sebelum menghilang di bidang yang putih. Jonathan menyadari hal itu, menyadari kebenaran dan bahwa ia merusak perannya, ia telah menghapus semua yang menghubungkan alur jadi satu. Dengan keluar dari ceritanya sendiri, ia telah merusak dunia fiksi.
Chris tetap berlari saat Jonathan berhenti. Ia berlari menabrak punggung Jonathan dan keduanya jatuh. Nampaknya Chris tak menyadari apa yang tengah terjadi dan merayap ke depan, menyuruh Jonathan untuk tetap berlari.
“TIDAK! JANGAN MASUK KESANA! INI TIDAK NYATA!” Teriak Jonathan. Chris menjerit saat ia melihat dinding-dinding di sekitarnya melebur. Ia merangkak lagi menuju tangga di bawah, tapi disusul oleh dinding-dinding huruf yang berjatuhan. Kakinya mulai berubah perlahan. Wajahnya menampakkan kengerian saat melihat kakinya larut jadi kata-kata. Ia tetap merayap ke depan, tapi ia tak bisa melakukan apapun untuk merubah nasibnya.
Jonathan ngeri saat melihat temannya berubah ke dalam ketiadaan. Semua semesta yang ia tinggali tengah berubah. Ia berbalik dan mulai menuruni tangga lagi, lebih memilih horror dari kerangka-kerangka mati daripada kematian di dapur.
Ia tersandung dan roboh di lantai yang kotor. Kepalanya menggesek tanah dibawahnya, menciptakan goresan panjang di mata kanannya, sehingga mata kanannya tak bisa melihat karena penuh dengan darah. Dengan satu matanya yang lain, ia berbalik untuk melihat takdirnya. Dinding-dinding huruf masih berjalan menuju tangga, lalu berhenti di pangkalnya. Huruf-huruf itu bertaut satu sama lain, memenuhi ruang kosong berwarna putih dan membentuk sebuah dinding hitam. Jonathan merasakannya, dan sadar dinding itu jadi bagian dari dinding yang kini mengitarinya. Ia mengamati sekitar menggunakan senter. Ia terjebak di ruangan batu berbentuk kotak yang luasnya tak lebih dari dua puluh kaki.
Jonathan duduk di tengah ruangan, tak tau harus berbuat apa. Waktu terus berjalan, dan ia tak tau telah disana selama berapa lama, bermenit-menit, berhari-hari, bertahun-tahun atau malah berabad-abad. Ia terjebak disana sendirian. Ia mengira ia telah berada disana selama berhari-hari karena cahaya senter belum juga meredup, dan kepalanya belum juga kering. Tak ada yang bisa ia lakukan dan tak ada alasan untuk bergerak.
Setelah beberapa waktu yang tak ia ketahui, ia berdiri lagi. Seolah-olah dipaksa oleh kekuatan yang tak terlihat, ia berjalan menuju dinding. Ia usap tangannya pada darah yang mengalir di wajahnya dan menempelkan jarinya di dinding. Ia membuat garis-garis yang membentuk kata, dan akhirnya kata-kata itu tersusun menjadi cerita.
Cerita itu dimulai. “Jonathan duduk gemetar di dalam kegelapan...”

Tidak ada komentar: