Rabu, 05 Februari 2014

[cerita terjemahan] Comfort In Number (+ Ebook)



Comfort In Number
Credit to—anonim
Translated by—RainiLa

Bahkan sejak aku masih kecil, aku hidup memikirkan angka-angka. Aku pandai dalam berhitung, jadi hanya itulah yang aku lakukan. Aku selalu unggul di kelas matematika saat aku kecil, terlalu sering sampai guru memberikanku pelajaran tambahan agar aku tidak hilang kendali. Tapi bukan masalah bagiku. Aku bisa memperbaiki kesalahan dan menyelesaikan masalah, tapi itu hanya bagian kecil dari otakku yang bekerja.
Aku selalu menghitung sesuatu. Lebih tepatnya, semua hal. Aku tidak bisa pergi keluar rumah tanpa ada angka-angka yang berputar-putar di kepalaku. Saat aku bangun, aku menghitung jari-jari tangan dan kakiku. Di kamar mandi, aku menghitung ubin-ubin persegi empat. Saat sarapan, aku menghitung berapa banyak bagian sereal di dalam sendok sebelum memasukkannya ke dalam mulutku. Dalam perjalanan menuju pusat kota, aku menghitung jumlah mobil yang aku lewati.
Beberapa dari kalian mungkin berpikir bahwa itu merupakan kebiasaan yang aneh, tapi hal itu merupakan bagian tak terpisahkan dariku.
Aku selalu ingan angka-angka itu. Faktanya, aku bisa memberitahumu sekarang kalau ada tigapuluh kaus kaki di laciku; limabelas pasang kalau kau ingin menghitungnya demikian. Aku tau ada delapan telur yang tersisa di karton di dalam kulkas. Enam potong roti did alam kotak, sebelas icon di desktop komputer, tiga binti-bintik di tanganku... daftar ini akan jadi terlalu panjang.
Hal ini bisa jadi kutukan atau malah suatu berkah. Kebiasaan itu membantuku untuk mengingat-ingat dimana letak semua benda dan bagaimana aku mengatur semuanya, tapi efek buruknya adalah kebiasaan itu menimbulkan paranoid akut. Saat aku bisa mengingat semua angka-angka itu, aku selalu khawatir kalau mereka di pindahkan tanpa sepengetahuanku.
Pernah sekali aku menendang teman SMA-ku dari rumah saat dia tidak memberitahuku kalau dia mengambil salah satu dari tujuh permen karet yang aku taruh didalam bungkusan. Melihat jumlah permen itu menjadi enam, mengetahui bahwa temankulah yang merubah jumlahnya tanpa sepengetahuanku, membuatku naik darah.
Tak banyak hubungan sosial yang aku lakukan. Manusia terlalu susah untuk dihitung dan diikuti. Mereka terlalu banyak bergerak dan selalu berubah. Mereka membuat perhitunganku tidak stabil dan aku tak bisa mengikuti mereka satu persatu. Jadi, demi kebaikan kejiawaanku, aku bekerja di rumah dan hidup terisolasi. Beberapa keluargaku bilang kalau aku menyia-nyiakan bakatku dengan mengambil kerja yang aman, tapi aku tidak membutuhkan mereka. Memutus hubungan dengan mereka mengurangi persamaan yang telah banyak merubah variabel.
Aku tinggal didesa, jauh dari jalan besar, di kelilingi oleh perkebunan. Aku bisa saja menyendiri dengan tinggal di hutan, tapi aku takut jadi gila karena coba menghitung semua pepohonan. Sudah cukup berat menahan diri untuk tidak menghitung helaian rumput di halaman; aku tidak butuh kebingungan tambahan.
Saat aku butuh makanan atau yang lain, aku membayar pasangan suami-istri yang tinggal lima mil dari rumahku untuk pergi ke kota dan membeli bahan makanan untukku. Mereka punya tiga anak dan dua anjing.
Sangat jarang aku bepergian ke kota sendiri, dan saat aku kesana, itupun sangat sebentar dan tergesa-gesa. Mencoba mengalihkan diri sendiri dari semua hal untuk dihitung membuatku gila, tapi ku kendalikan. Selalu kukendalikan.
Kesunyian sangat membantuku, menjaga kebiasaanku tetap dalam taraf wajar. Aku punya benda-benda untuk dihitung, aku sadar jika jumlah mereka berubah, dan aku punya variabel konstan terpercaya dalam hidupku. Semuanya normal.
Sampai hari itu.
Ku coba meyakinkan pada diriku sendiri bahwa hal itu tidaklah benar, bahwa aku salah dalam menghitung, tapi itu tidak mungkin.
Aku tidak pernah salah hitung, tidak pernah.
Saat aku menuang serealku pagi itu, aku menyadari sesuatu yang salah. Aku punya delapan di masing-masing set alat makan didalam laci. Delapan garpu, delapan sendok, delapan pisau mentega, delapan, delapan, delapan, delapan! Tapi saat aku menghitung sendokku,  ada satu yang kurang.
Gelisah, aku menyisir senatero rumah untuk mencari sendok yang hilang. Dalam pencarian, aku juga menyadari bahwa satu dari lima manik-manik tali gordenku hilang, satu dari tigapuluh kaus kakiku hilang dan dua dari enam potongan roti yang aku punya hilang secara misterius.
Kepalaku terasa panas dan penglihatanku kabur. Hitunganku salah, seseorang telah merubahnya. Seseorang telah memasuki rumahku dan menrubah semuanya.
Banyak orang tidak terpikir untuk membuat kesimpulan semacam itu ketika kehilangan barang yang kecil, mudah hilang atau gampang dilupakan; orang-orang sering kehilangan, tapi aku tidak. Aku tidak pernah kehilangan satupun. Merekalah yang menjagaku tetap pada urutan yang seharusnya. Aku punya kekuasaan atas angka-angkaku, bukan orang lain. Aku tak suka siapapun mengacak-acak angka-angkaku dan merubahnya. Mereka milikku.
Kuhabiskan berjam-jam untuk mencari benda-benda yang hilang. Aku periksa semua tempat yang ada di dalam rumah, bahkan di tempat yang tersembunyi sekalipun. Aku bahkan memanggil sepasang suami-istri yang tinggal 5 mil dari rumahku dan bertanya kalau-kalau salah satu anak mereka menyentuh benda-bendaku saat mereka mengantarkan bahan makanan terakhir kali, walaupun aku ingat telah menghitung ulang setelah kedatangan mereka. Bukan mereka yang melakukan, atau paling tidak orang tua mereka berpikir demikian.
Aku terlalu sibuk mencari hingga nyaris melewatkan waktuku untuk bekerja. Walau begitu, aku tak menyerah untuk mencari angka-angka yang hilang. Ku paksa diriku untuk duduk dan mulai bekerja di depan komputer. Bahkan saat aku mengedit laporan, pikiranku tertuju pada benda-benda yang hilang. Kenapa atau bagaimana, aku tak tau. Tapi yang pasti, rumahku tak lagi aman. Dan, nampaknya, angka-angkaku juga.
Setelah pekerjaanku selesai, ku teruskan mencari bagian-bagian hidupku yang hilang itu. Aku belum sarapan, melewatkan makan siang, dan aku tidak sempat makan malam karena mencari benda-benda yang hilang. Aku memeriksa tempat yang sama berulang-ulang kali, berharap bahwa aku melewatkan sesuatu.
Saat tengah malam, aku telah menyisir senatero ruangan di dalam rumah tiga puluh tujuh kali. Dua puluh satu pencarian yang terakhir termasuk pencarian di beranda rumah. Pencarianku selama itu sama sekali tak membuahkan hasil. Angka-angkaku benar-benar hilang, dicuri.
Gemetar, aku ambruk ke atas ranjang, kelelahan pada jam satu lebih duapuluh enam pagi-pagi buta. Cuaca di luar berubah, semula hari sangat dingin, lalu berubah  menjadi berangin, terdengar gaduh dan berisik di halaman belakang. Aku meringkuk dari bawah selimut dengan perasaan tak menentu. Ku tutup mataku dan mulai menghitung agar tertidur. Angka-angka muncul di dalam kepalaku, aku sangat tak senang memikirkan perubahan angka pada benda-bendaku.
Saat aku hendak tertidur, aku mendengar rumah tuaku mengerang diterpa angin dari luar.
Mataku mendadak terbuka, dan aku mulai menghitung jumlah ringkikan yang ia buat,
Satu...
Dua...
Tiga...
Saat sinar matahari bersinar melalui jendela, aku masih memandangi langit-langit. Angin sudah reda satu jam kemudian, tapi aku masih tetap menghitung. Aku bisa mendengarnya di kepalaku, dan aku harus tetap menghitung. Semuanya harus dihitung. Berapa kalipun aku berkedip, bernafas, bergerak. harus tetap dihitung. Semuanya harus dihitung.
Lima puluh enam...
Lima puluh tujuh...
Lima puluh delapan...
Alarmku tiba-tiba berbunyi, tapi aku bahkan tak berkedip. Angka-angka di kepalaku berubah dan kembali ke awal, menghitung bunyi-bunyian yang terdengar.
Aku bangun, tapi tak ku matikan alarm itu. Aku terus menghitung saat aku menyipakna pakaian hari itu. Wajahku mengejang saat kulihat salah satu kausku hilang, dan salah satu dari sepatuku juga. Aku jadi sulit bernafas, hingga wajahku memerah, namun aku tetap berhitung.
Satu...
Dua...
Tiga...
Aku berjalan ke kamar mandi, tanganku mengepak saat menyadari tanaman palsu di dalam lorong tiba-tiba mempunyai tiga puluh lima daun, padahal semula jumlahnya tiga puluh enam. Aku masuk ke kamar mandi, sekali lagi menghitung dari awal untuk menghitung ubin-ubin persegi saat aku menuang sampo dan kondisioner pada rambutku.
Sebelas...
Empatbelas...
Saat aku selesai mandi dan berbaju, ku keringkan rambutku didepan cermin saat aku melihatnya. Dia terlihat sepertiku. Terbuat dari angka dua dan lima, sepertiku. Dua mata, lengan, tungkai, telinga, kaki, tangan... lima jari tangan, jari kaki... wajahnya mirip denganku.
Aku mendekat ke cermin, dan kulihat dia juga mendekat. Aku melihatnya saat ia menyeringai padaku, dua puluh delapan gigi tetap terlihat berkilat oleh pantulan cermin. Dia berkedip, dan mengambil salah satu dari dua sikat gigi dari meja, memasukkannya ke dalam saku dan lalu menghilang.
Mendesis tak percaya, aku menunduk untuk melihat sikat gigi itu menghilang. Kepalaku berputar-putar, dan aku mulai menghitung bohlam di lorong saat aku berjalan menyusuri rumah. Makin aku berkeliling, makin banyak ku melihat benda yang hilang. Tiap benda yang hilang makin membuat kepalaku berputar-putar, dan aku harus mulai menghitung lagi.
Enam belas...
Satu...
Dua...
Tiga...
Aku melihat dia lagi di dapur, namun dia tak lagi tersusun oleh angka dua dan lima. Tumbuh lengan ketiga dari bahunya, empat jemari di tangan, satu tangan, dan satu mulut dengan seringainya.
Tanganku mengepal, aku berayun ke arahnya, bermaksud memukulnya namun tanganku memukul tepat ke pantulan permukaan kulkas. Mengerang kesakitan, aku berbalik untuk melihat kemana dia pergi. Ku akui dia sangat cepat. Cepat dan variabel yang berubah. Aku benci dia. Saat menyadari dia tak ada dimanapun, kuputuskan untuk memulihkan diriku dengan sarapan. Aku menghitung batang granola, yang berada di keranjang dimana lelaki itu berdiri. Aku penasaran untuk melihat jumlah batang granola disana dan aku menemukan dua dari empat belas batang granola hilang. Aku keluar dari dapur setelah itu, terlalu jijik untuk makan dan lagipula aku tak terlalu lapar.
Aku melihatnya lagi saat aku duduk di depan komputer, melihatku dari dalam monitor kosong. Kali ini dia tak punya mulut, ataupun hidung. Hanya ada dua mata yang terus menatapku. Aku bisa melihat kepuasan di wajahnya. Dia suka dengan apa yang telah dia lakukan padaku.
Berteriak, aku mengangkat monitor itu dan melemparnya ke lantai. Sangat mudah, aku terkejut. Aku menjadi lebih kecewa lagi saat melihat kabel yang menghubungkan monitor dengan tower telah hilang, dicuri seperti yang lain.
Mencoba meredam amarah, aku mulai menghitung benda-benda yang tersisa di atas meja.
Lima...
Sepuluh...
Beberapa telah hilang.
Ku coba bersembunyi di tempat tempat tersembunyi di dalam rumah. Aku harus bersembunyi darinya, bersembunyi di suatu tempat dimana dia tak bisa mencuri angka-angkaku lagi. aku hanya ingin menghitung. Aku harus menghitung, tapi dia tak pernah mau membiarkanku menyelesaikan hitunganku! Aku harus menyelesaikannya, sesuatu harus jadi stabil.
Aku bersembunyi di dalam toilet kamarku yang kecil. Aku tak punya apapun di sana, tidak ada yang bisa dia curi. Satu-satunya hal yang toilet ini punya hanyalah cermin yang  tertanam di dinding. Aku bersandar memunggunginya, mencengkeram dengkul dengan tanganku.
Perlahan mengayunkan tubuhku, mencoba untuk bernafas lagi, mencoba mensterilkan kepalaku. Aku mulai menghitung jumlah papan kayu yang tersusun menjadi lantai toilet.
Dua belas....
Tiga belas...
Saat aku kehabisan papan untuk dihitung, aku mulai menghitung jari-jari tangan dan kakiku.
Delapan...
Sembilan...
Sembilan. Jari di tangan kiriku telah menghilang. Bukan terpotong, hanya.. menghilang.
Enam belas...
Tujuh belas...
Beberapa jari kaki juga hilang. Aku tidak tetap, aku kehilangan angka-angkaku lebih banyak lagi. kehilangan diriku sendiri.
Aku berbalik memandang cermin dan aku melihatnya lagi. dia tak punya mata, tak punya lengan. Hanya satu, tunggal, seringai yang lebar. Dia tersenyum padaku, tau apa yang tengah ku pikirkan. Ku mundurkan kepalaku kebelakang perlahan, melihatnya melakukan hal yang sama pula. Saat aku mundur cukup jauh, ku pancangkan kepalaku kedepan, mengahncurkan cermin itu dengan kepalaku.
Satu...
Dua...
Tiga...
Aku bisa merasakan lima pecahan cermin di wajahku. Ku rasakan kepalaku berdenyut empat kali sebelum aku ambruk ke lantai. Tiga pecahan cermin berputar-putar di kepalaku. Dua kali pandanganku buram sebelum berubah hitam. Dan hanya sekali aku tersenyum, tau kalau aku akhirnya bisa menyelesaikan persamaan terbesar.
(fin)

Download Ebook : 4shared  // Mediafire

Tidak ada komentar: