Comfort
In Number
Credit
to—anonim
Bahkan sejak aku masih
kecil, aku hidup memikirkan angka-angka. Aku pandai dalam berhitung, jadi hanya
itulah yang aku lakukan. Aku selalu unggul di kelas matematika saat aku kecil,
terlalu sering sampai guru memberikanku pelajaran tambahan agar aku tidak
hilang kendali. Tapi bukan masalah bagiku. Aku bisa memperbaiki kesalahan dan
menyelesaikan masalah, tapi itu hanya bagian kecil dari otakku yang bekerja.
Aku selalu menghitung
sesuatu. Lebih tepatnya, semua hal. Aku tidak bisa pergi keluar rumah tanpa ada
angka-angka yang berputar-putar di kepalaku. Saat aku bangun, aku menghitung
jari-jari tangan dan kakiku. Di kamar mandi, aku menghitung ubin-ubin persegi
empat. Saat sarapan, aku menghitung berapa banyak bagian sereal di dalam sendok
sebelum memasukkannya ke dalam mulutku. Dalam perjalanan menuju pusat kota, aku
menghitung jumlah mobil yang aku lewati.
Beberapa dari kalian
mungkin berpikir bahwa itu merupakan kebiasaan yang aneh, tapi hal itu
merupakan bagian tak terpisahkan dariku.
Aku selalu ingan
angka-angka itu. Faktanya, aku bisa memberitahumu sekarang kalau ada tigapuluh
kaus kaki di laciku; limabelas pasang kalau kau ingin menghitungnya demikian.
Aku tau ada delapan telur yang tersisa di karton di dalam kulkas. Enam potong
roti did alam kotak, sebelas icon di desktop komputer, tiga binti-bintik di
tanganku... daftar ini akan jadi terlalu panjang.
Hal ini bisa jadi
kutukan atau malah suatu berkah. Kebiasaan itu membantuku untuk mengingat-ingat
dimana letak semua benda dan bagaimana aku mengatur semuanya, tapi efek
buruknya adalah kebiasaan itu menimbulkan paranoid akut. Saat aku bisa
mengingat semua angka-angka itu, aku selalu khawatir kalau mereka di pindahkan
tanpa sepengetahuanku.
Pernah sekali aku
menendang teman SMA-ku dari rumah saat dia tidak memberitahuku kalau dia
mengambil salah satu dari tujuh permen karet yang aku taruh didalam bungkusan.
Melihat jumlah permen itu menjadi enam, mengetahui bahwa temankulah yang
merubah jumlahnya tanpa sepengetahuanku, membuatku naik darah.
Tak banyak hubungan
sosial yang aku lakukan. Manusia terlalu susah untuk dihitung dan diikuti. Mereka
terlalu banyak bergerak dan selalu berubah. Mereka membuat perhitunganku tidak
stabil dan aku tak bisa mengikuti mereka satu persatu. Jadi, demi kebaikan
kejiawaanku, aku bekerja di rumah dan hidup terisolasi. Beberapa keluargaku
bilang kalau aku menyia-nyiakan bakatku dengan mengambil kerja yang aman, tapi
aku tidak membutuhkan mereka. Memutus hubungan dengan mereka mengurangi
persamaan yang telah banyak merubah variabel.
Aku tinggal didesa,
jauh dari jalan besar, di kelilingi oleh perkebunan. Aku bisa saja menyendiri
dengan tinggal di hutan, tapi aku takut jadi gila karena coba menghitung semua
pepohonan. Sudah cukup berat menahan diri untuk tidak menghitung helaian rumput
di halaman; aku tidak butuh kebingungan tambahan.
Saat aku butuh makanan
atau yang lain, aku membayar pasangan suami-istri yang tinggal lima mil dari
rumahku untuk pergi ke kota dan membeli bahan makanan untukku. Mereka punya
tiga anak dan dua anjing.
Sangat jarang aku
bepergian ke kota sendiri, dan saat aku kesana, itupun sangat sebentar dan
tergesa-gesa. Mencoba mengalihkan diri sendiri dari semua hal untuk dihitung
membuatku gila, tapi ku kendalikan. Selalu kukendalikan.
Kesunyian sangat
membantuku, menjaga kebiasaanku tetap dalam taraf wajar. Aku punya benda-benda
untuk dihitung, aku sadar jika jumlah mereka berubah, dan aku punya variabel
konstan terpercaya dalam hidupku. Semuanya normal.
Sampai hari itu.
Ku coba meyakinkan pada
diriku sendiri bahwa hal itu tidaklah benar, bahwa aku salah dalam menghitung,
tapi itu tidak mungkin.
Aku tidak pernah salah
hitung, tidak pernah.
Saat aku menuang
serealku pagi itu, aku menyadari sesuatu yang salah. Aku punya delapan di
masing-masing set alat makan didalam laci. Delapan garpu, delapan sendok,
delapan pisau mentega, delapan, delapan, delapan, delapan! Tapi saat aku
menghitung sendokku, ada satu yang
kurang.
Gelisah, aku menyisir
senatero rumah untuk mencari sendok yang hilang. Dalam pencarian, aku juga
menyadari bahwa satu dari lima manik-manik tali gordenku hilang, satu dari
tigapuluh kaus kakiku hilang dan dua dari enam potongan roti yang aku punya
hilang secara misterius.
Kepalaku terasa panas
dan penglihatanku kabur. Hitunganku salah, seseorang telah merubahnya.
Seseorang telah memasuki rumahku dan menrubah semuanya.
Banyak orang tidak
terpikir untuk membuat kesimpulan semacam itu ketika kehilangan barang yang
kecil, mudah hilang atau gampang dilupakan; orang-orang sering kehilangan, tapi
aku tidak. Aku tidak pernah kehilangan satupun. Merekalah yang menjagaku tetap
pada urutan yang seharusnya. Aku punya kekuasaan atas angka-angkaku, bukan
orang lain. Aku tak suka siapapun mengacak-acak angka-angkaku dan merubahnya.
Mereka milikku.
Kuhabiskan berjam-jam
untuk mencari benda-benda yang hilang. Aku periksa semua tempat yang ada di
dalam rumah, bahkan di tempat yang tersembunyi sekalipun. Aku bahkan memanggil sepasang
suami-istri yang tinggal 5 mil dari rumahku dan bertanya kalau-kalau salah satu
anak mereka menyentuh benda-bendaku saat mereka mengantarkan bahan makanan
terakhir kali, walaupun aku ingat telah menghitung ulang setelah kedatangan
mereka. Bukan mereka yang melakukan, atau paling tidak orang tua mereka
berpikir demikian.
Aku terlalu sibuk
mencari hingga nyaris melewatkan waktuku untuk bekerja. Walau begitu, aku tak
menyerah untuk mencari angka-angka yang hilang. Ku paksa diriku untuk duduk dan
mulai bekerja di depan komputer. Bahkan saat aku mengedit laporan, pikiranku
tertuju pada benda-benda yang hilang. Kenapa atau bagaimana, aku tak tau. Tapi
yang pasti, rumahku tak lagi aman. Dan, nampaknya, angka-angkaku juga.
Setelah pekerjaanku
selesai, ku teruskan mencari bagian-bagian hidupku yang hilang itu. Aku belum
sarapan, melewatkan makan siang, dan aku tidak sempat makan malam karena
mencari benda-benda yang hilang. Aku memeriksa tempat yang sama berulang-ulang
kali, berharap bahwa aku melewatkan sesuatu.
Saat tengah malam, aku
telah menyisir senatero ruangan di dalam rumah tiga puluh tujuh kali. Dua puluh
satu pencarian yang terakhir termasuk pencarian di beranda rumah. Pencarianku
selama itu sama sekali tak membuahkan hasil. Angka-angkaku benar-benar hilang,
dicuri.
Gemetar, aku ambruk ke
atas ranjang, kelelahan pada jam satu lebih duapuluh enam pagi-pagi buta. Cuaca
di luar berubah, semula hari sangat dingin, lalu berubah menjadi berangin, terdengar gaduh dan berisik
di halaman belakang. Aku meringkuk dari bawah selimut dengan perasaan tak
menentu. Ku tutup mataku dan mulai menghitung agar tertidur. Angka-angka muncul
di dalam kepalaku, aku sangat tak senang memikirkan perubahan angka pada
benda-bendaku.
Saat aku hendak
tertidur, aku mendengar rumah tuaku mengerang diterpa angin dari luar.
Mataku mendadak
terbuka, dan aku mulai menghitung jumlah ringkikan yang ia buat,
Satu...
Dua...
Tiga...
Saat sinar matahari
bersinar melalui jendela, aku masih memandangi langit-langit. Angin sudah reda
satu jam kemudian, tapi aku masih tetap menghitung. Aku bisa mendengarnya di
kepalaku, dan aku harus tetap menghitung. Semuanya harus dihitung. Berapa
kalipun aku berkedip, bernafas, bergerak. harus tetap dihitung. Semuanya harus
dihitung.
Lima puluh enam...
Lima puluh tujuh...
Lima puluh delapan...
Alarmku tiba-tiba berbunyi,
tapi aku bahkan tak berkedip. Angka-angka di kepalaku berubah dan kembali ke
awal, menghitung bunyi-bunyian yang terdengar.
Aku bangun, tapi tak ku
matikan alarm itu. Aku terus menghitung saat aku menyipakna pakaian hari itu.
Wajahku mengejang saat kulihat salah satu kausku hilang, dan salah satu dari
sepatuku juga. Aku jadi sulit bernafas, hingga wajahku memerah, namun aku tetap
berhitung.
Satu...
Dua...
Tiga...
Aku berjalan ke kamar
mandi, tanganku mengepak saat menyadari tanaman palsu di dalam lorong tiba-tiba
mempunyai tiga puluh lima daun, padahal semula jumlahnya tiga puluh enam. Aku
masuk ke kamar mandi, sekali lagi menghitung dari awal untuk menghitung
ubin-ubin persegi saat aku menuang sampo dan kondisioner pada rambutku.
Sebelas...
Empatbelas...
Saat aku selesai mandi
dan berbaju, ku keringkan rambutku didepan cermin saat aku melihatnya. Dia
terlihat sepertiku. Terbuat dari angka dua dan lima, sepertiku. Dua mata,
lengan, tungkai, telinga, kaki, tangan... lima jari tangan, jari kaki...
wajahnya mirip denganku.
Aku mendekat ke cermin,
dan kulihat dia juga mendekat. Aku melihatnya saat ia menyeringai padaku, dua
puluh delapan gigi tetap terlihat berkilat oleh pantulan cermin. Dia berkedip,
dan mengambil salah satu dari dua sikat gigi dari meja, memasukkannya ke dalam
saku dan lalu menghilang.
Mendesis tak percaya,
aku menunduk untuk melihat sikat gigi itu menghilang. Kepalaku berputar-putar,
dan aku mulai menghitung bohlam di lorong saat aku berjalan menyusuri rumah.
Makin aku berkeliling, makin banyak ku melihat benda yang hilang. Tiap benda
yang hilang makin membuat kepalaku berputar-putar, dan aku harus mulai
menghitung lagi.
Enam belas...
Satu...
Dua...
Tiga...
Aku melihat dia lagi di
dapur, namun dia tak lagi tersusun oleh angka dua dan lima. Tumbuh lengan
ketiga dari bahunya, empat jemari di tangan, satu tangan, dan satu mulut dengan
seringainya.
Tanganku mengepal, aku
berayun ke arahnya, bermaksud memukulnya namun tanganku memukul tepat ke
pantulan permukaan kulkas. Mengerang kesakitan, aku berbalik untuk melihat
kemana dia pergi. Ku akui dia sangat cepat. Cepat dan variabel yang berubah.
Aku benci dia. Saat menyadari dia tak ada dimanapun, kuputuskan untuk
memulihkan diriku dengan sarapan. Aku menghitung batang granola, yang berada di
keranjang dimana lelaki itu berdiri. Aku penasaran untuk melihat jumlah batang
granola disana dan aku menemukan dua dari empat belas batang granola hilang.
Aku keluar dari dapur setelah itu, terlalu jijik untuk makan dan lagipula aku
tak terlalu lapar.
Aku melihatnya lagi
saat aku duduk di depan komputer, melihatku dari dalam monitor kosong. Kali ini
dia tak punya mulut, ataupun hidung. Hanya ada dua mata yang terus menatapku.
Aku bisa melihat kepuasan di wajahnya. Dia suka dengan apa yang telah dia
lakukan padaku.
Berteriak, aku
mengangkat monitor itu dan melemparnya ke lantai. Sangat mudah, aku terkejut. Aku
menjadi lebih kecewa lagi saat melihat kabel yang menghubungkan monitor dengan
tower telah hilang, dicuri seperti yang lain.
Mencoba meredam amarah,
aku mulai menghitung benda-benda yang tersisa di atas meja.
Lima...
Sepuluh...
Beberapa telah hilang.
Ku coba bersembunyi di
tempat tempat tersembunyi di dalam rumah. Aku harus bersembunyi darinya, bersembunyi
di suatu tempat dimana dia tak bisa mencuri angka-angkaku lagi. aku hanya ingin
menghitung. Aku harus menghitung, tapi dia tak pernah mau membiarkanku
menyelesaikan hitunganku! Aku harus menyelesaikannya, sesuatu harus jadi
stabil.
Aku bersembunyi di
dalam toilet kamarku yang kecil. Aku tak punya apapun di sana, tidak ada yang
bisa dia curi. Satu-satunya hal yang toilet ini punya hanyalah cermin yang tertanam di dinding. Aku bersandar memunggunginya,
mencengkeram dengkul dengan tanganku.
Perlahan mengayunkan
tubuhku, mencoba untuk bernafas lagi, mencoba mensterilkan kepalaku. Aku mulai
menghitung jumlah papan kayu yang tersusun menjadi lantai toilet.
Dua belas....
Tiga belas...
Saat aku kehabisan
papan untuk dihitung, aku mulai menghitung jari-jari tangan dan kakiku.
Delapan...
Sembilan...
Sembilan. Jari di
tangan kiriku telah menghilang. Bukan terpotong, hanya.. menghilang.
Enam belas...
Tujuh belas...
Beberapa jari kaki juga
hilang. Aku tidak tetap, aku kehilangan angka-angkaku lebih banyak lagi.
kehilangan diriku sendiri.
Aku berbalik memandang
cermin dan aku melihatnya lagi. dia tak punya mata, tak punya lengan. Hanya
satu, tunggal, seringai yang lebar. Dia tersenyum padaku, tau apa yang tengah
ku pikirkan. Ku mundurkan kepalaku kebelakang perlahan, melihatnya melakukan
hal yang sama pula. Saat aku mundur cukup jauh, ku pancangkan kepalaku kedepan,
mengahncurkan cermin itu dengan kepalaku.
Satu...
Dua...
Tiga...
Aku bisa merasakan lima
pecahan cermin di wajahku. Ku rasakan kepalaku berdenyut empat kali sebelum aku
ambruk ke lantai. Tiga pecahan cermin berputar-putar di kepalaku. Dua kali
pandanganku buram sebelum berubah hitam. Dan hanya sekali aku tersenyum, tau
kalau aku akhirnya bisa menyelesaikan persamaan terbesar.
(fin)
Download Ebook : 4shared // Mediafire
Tidak ada komentar:
Posting Komentar