Sabtu, 19 Desember 2015

[Cerita Terjemahan] The Class



The Class
Credit to—A J M
Originally Translated by—RainiLa



Hidupku jadi agak, berantakan, karena sebuah pengalaman yang aku alami saat aku masih kecil. Aku terlalu sering memikirkan kejadian itu. Tak seorangpun percaya dengan ceritaku saat itu, jadi kuputuskan untuk menulis pengalamanku itu sekarang, agar dunia mengetahuinya.
Dimulai saat aku berumur sekitar14 tahun, saat keluargaku pindah rumah. Dad ditawari pekerjaan dengan gaji yang lebih besar dan seminggu kemudian, kami telah menjual rumah kami dan menyewa apartemen di kota tempat kami pindah. Hal itu berlangsung saat pertengahan musim panas, jadi tidak susah untuk memulai kegiatan di sekolah baruku. Hari-hariku di tempat baru dimulai, aku dengan gugup berjalan keluar dari apartemen kami menuju sekolah yang jaraknya tak terlalu jauh. Aku jarang bertemu dengan anak-anak setempat jadi aku tak kenal siapapun dan sangat takut untuk memulai pertemanan. Aku tak ingat aku benar-benar berbicara dengan seseorang pagi itu, seperti yang kau lihat, aku terlalu pemalu. Aku mengambil jadwal pelajaran dengan tangan gemetar dan melihat bagaimana kelas pertamaku. Matematika, di ruang 104. Aku memeriksa peta sekolah berukuran kecil yang diberikan padaku, berkali-kali aku melihat peta itu. Aku tak bisa menemukan letak kelasku. Dan lagi, tak ada staf di sekitarku dan aku mulai panik. Kemana aku pergi?!
Aku menyadari dari tata ruang bangunan bahwa ada sebuah bagian disebelah kanan sekolah yang nampaknya mempunyai beberapa ruang kelas berukuran besar tapi tanpa nomor. Nomor kelas di bangunan sebelah kiri adalah nomor 300-310, pusat bangunan itu mempunyai ruangan yang di desain dengan jarak 200-230. Secara logika, ruang kelas ‘104’ berada di sebelah kanan. Aku berjalan melewati koridor, kebanyakan siswa disana adalah siswa lawas, sementara mereka berjalan menuju kelas masing-masing, aku malah mempelajari peta di tanganku. Karena hal ini, sekarang koridor jadi sepi. Seharusnya aku mencari ruang informasi dan meminta mereka untuk menunjukkan arah tapi aku terlalu pemalu dan memilih untuk melakukannya sendiri.
Tiap aku mengikuti tata letak bangunan, selalu berakhir dengan koridor yang sepi dan panjang, lalu aku menemui jalan buntu dimana berdiri sepasang pintu kayu yang tak bisa terbuka saat aku dorong. Sepertinya ada yang salah. Seolah-olah bagian dari bangunan ini memang tak dimaksudkan untuk dimasuki. Aku mulai berpikir bahwa mungkin saja secara tak sengaja ada yang telah menguncinya atau hanya aku yang kurang kuat mendorongnya.
Aku mengambil ancang-ancang lalu mendorong pintu dengan bahuku, terdengar suara logam dan kayu beradu, terbuka. Kemudian aku sadar telah merusak grendel pintu yang rapuh karena karat. Takut karena telah merusak pintu yang sengaja dikunci di hari pertama sekolah, aku bermaksud untuk pergi dari tempat itu dan meminta bantuan seseorang untuk menemukan kelasku. Seharusnya aku tak boleh berada di tempat ini. koridor yang berada di depanku nampak tua dan berdebu. Semua pintu lokernya terbuka dan tak terpakai. Bau jamur tercium di mana-mana. Tapi tepat saat aku berputar, aku melihat nomor yang tertulis di kaca pintu didekat koridor. Salah satu yang paling dekat denganku adalah nomor; ‘100’
Bingung, aku memeriksa jadwal pelajaranku lagi untuk meyakinkan bahwa aku telah membaca nomor kelasku dengan benar. Jelas; kelasku memang nomor ‘104’. Rupanya kelasku ada di deretan koridor ini. Perlahan aku mulai berjalan, melihat tiap jendela yang aku lewati. 100, kosong, 101, kosong, 102, kosong hanya ada kerangka plastik yang menggantung di sudut kelas, di tiang gantungan jas anak lab yang menguning. Tetap saja, hal itu cukup membuatku tersentak. Saat aku memeriksa ruang 103 (kosong) aku mendengar suara lelaki dewasa dari ruangan seberang. Ruang 104. Aku mengintip dari jendela. Penuh dengan anak-anak.
Hanya saja bukan hal yang ingin aku lihat. Tentu, terdapat seorang guru, mengenakan setelan coklat dan dasi kupu-kupu berwarna biru, dan ada siswa juga disana, semua terfokus pada guru di depan, semuanya duduk terpisah satu sama lain dengan meja kayu yang modelnya sudah ketinggalan jaman. Apa yang membuatku terdiam adalah pakaian yang mereka kenakan. Anak-anak sekarang tidak mengenakan gaun terusan seperti itu lagi, kelas itu nampak seperti adegan di film lawas. Si Guru berdiri di samping papan tulis hitam yang berdebu karena kapur tulis.
Dengan kikuk aku meminta maaf atas keterlambatanku, bilang bahwa aku tersesat. Lalu kemudian aku menuju satu-satunya bangku kosong di dalam ruangan itu dan duduk. Kurasakan pipiku memerah karena malu. Pastilah aku mengganggu jalannya pelajaran, pikirku.
Guru memulai pelajarannya beberapa detik kemudian. Namanya adalah Mr. Telori. Dia mulai menulis hitung-hitungan di papan dan menyuruh anak-anak untuk mengerjakannya. Semuanya nyaris berjalan biasa saja; kecuali satu fakta bahwa mereka tidak menggunakan kalkulator. Tiap aku mengacungkan tangan untuk menjawab soal, dia selalu mengabaikanku dan memilih siswa lain untuk menjawab. Tiba-tiba kelas berakhir setelah berlangsung seperti berjam-jam lamanya. Pada akhir pelajaran, aku merasa sangat bosan dan kecewa. Aku hanya ingin pulang dan mengadu karena telah diabaikan.
Saat aku meninggalkan ruang kelas, kurasakan perutku perih karena lapar. Aku melirik ke arah arloji dan terkejut menyadari kalau waktu sekolah telah berakhir. Pelajaran matematika seharian penuh? Horror. Kuputuskan, aku benci sekolah ini.
Aku berjalan pulang dengan perlahan, memikirkan kejadian tadi di kepalaku. Semuanya terasa aneh, tapi aku pasti akan terbiasa dengan sekolah ini nantinya.
Sesampainya di rumah, ibuku sedang menelpon seseorang. Wajahnya menampakkan kebingungan. Dia mendengar kedatanganku dan mengerutkan dahi saat melihatku. Dia terlihat agak marah dan meminta siapapun yang di seberang telepon untuk menunggunya sebentar, dan lalu dia menuduhku telah membolos.
Kebingungan masih berlangsung. Aku bilang padanya aku berada di kelas seharian, tapi kemudian telepon dari pihak sekolah mengatakan kalau aku tidak menghadiri satu kelaspun dan tak seorangpun dari pihak sekolah melihatku setelah aku mengambil jadwal pelajaranku. Aku bilang aku berada di kelas Mr. Telori di ruang 104 seharian. Aku pasti lupa absen saat aku datang terlambat.
Ibuku menyela dan memberitahu pihak sekolah mengenai ceritaku. Dia membeku beberapa detik kemudian, lalu dia melihatku dengan raut khawatir.
Dia menutup telepon dan mengatakan apa yang pihak sekolah katakan.
Mr. Telori sudah tidak mengajar di sekolah itu selama tiga puluh delapan tahun.
Faktanya, ruang 104 merupakan bagian dari ruang yang ditinggalkan yang telah lama tak dipakai sejak kejadian penembakan sekitar empat puluh tahun yang lalu.
Pihak sekolah menyangka aku bercanda.
...
...
Malam itu aku browsing di internet dan menemukan bahwa apa yang pihak sekolah katakan memang benar. Tak berapa lama aku menemukan artikel koran lama tentang pembunuhan besa-besaran di sekolah yang telah di arsipkan.
Seorang lelaki gila meringsek masuk ke dalam sekolah dengan sebuah senapan berburu dan menembaki seisi kelas sampai mati. Dia telah memblokir jalan keluar dan menembaki semua orang di kelas matematika. Sebuah foto lama menampilkan kelas dimana pembunuhan itu terjadi. Aku segera mengenalinya. Itu adalah ruang 104.
Sebuah berita kematian menampilkan upacara penghormatan untuk semua yang meninggal dan foto-foto mereka. Aku mengenali mereka, juga. Mr. Telori dan semua siswa, dimana kuhabiskan waktuku dengan mereka.
Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku sakit, kurasakan dingin di tulang-belulangku saat itu.
Setelah kejadian itu, aku pindah sekolah.
...
...
Sekarang, bertahun-tahun sudah aku baru menulis cerita ini, tentang apa yang telah terjadi padaku, yang tak seorangpun mau mempercayainya.
Alasannya, kenapa harus sekarang?
Kemarin aku menerima sebuah surat. Tidak ada alamat; hanya muncul begitu saja di kotak surat. Itu adalah undangan reuni, ditandatangani oleh guruku.
Mr. Telori.

Tidak ada komentar: