The
Class
Credit
to—A J M
Originally Translated
by—RainiLa
Hidupku jadi agak, berantakan,
karena sebuah pengalaman yang aku alami saat aku masih kecil. Aku terlalu
sering memikirkan kejadian itu. Tak seorangpun percaya dengan ceritaku saat
itu, jadi kuputuskan untuk menulis pengalamanku itu sekarang, agar dunia
mengetahuinya.
Dimulai saat aku
berumur sekitar14 tahun, saat keluargaku pindah rumah. Dad ditawari pekerjaan
dengan gaji yang lebih besar dan seminggu kemudian, kami telah menjual rumah
kami dan menyewa apartemen di kota tempat kami pindah. Hal itu berlangsung saat
pertengahan musim panas, jadi tidak susah untuk memulai kegiatan di sekolah
baruku. Hari-hariku di tempat baru dimulai, aku dengan gugup berjalan keluar
dari apartemen kami menuju sekolah yang jaraknya tak terlalu jauh. Aku jarang
bertemu dengan anak-anak setempat jadi aku tak kenal siapapun dan sangat takut
untuk memulai pertemanan. Aku tak ingat aku benar-benar berbicara dengan
seseorang pagi itu, seperti yang kau lihat, aku terlalu pemalu. Aku mengambil
jadwal pelajaran dengan tangan gemetar dan melihat bagaimana kelas pertamaku.
Matematika, di ruang 104. Aku memeriksa peta sekolah berukuran kecil yang
diberikan padaku, berkali-kali aku melihat peta itu. Aku tak bisa menemukan
letak kelasku. Dan lagi, tak ada staf di sekitarku dan aku mulai panik. Kemana
aku pergi?!
Aku menyadari dari tata
ruang bangunan bahwa ada sebuah bagian disebelah kanan sekolah yang nampaknya
mempunyai beberapa ruang kelas berukuran besar tapi tanpa nomor. Nomor kelas di
bangunan sebelah kiri adalah nomor 300-310, pusat bangunan itu mempunyai
ruangan yang di desain dengan jarak 200-230. Secara logika, ruang kelas ‘104’
berada di sebelah kanan. Aku berjalan melewati koridor, kebanyakan siswa disana
adalah siswa lawas, sementara mereka berjalan menuju kelas masing-masing, aku
malah mempelajari peta di tanganku. Karena hal ini, sekarang koridor jadi sepi.
Seharusnya aku mencari ruang informasi dan meminta mereka untuk menunjukkan
arah tapi aku terlalu pemalu dan memilih untuk melakukannya sendiri.
Tiap aku mengikuti tata
letak bangunan, selalu berakhir dengan koridor yang sepi dan panjang, lalu aku
menemui jalan buntu dimana berdiri sepasang pintu kayu yang tak bisa terbuka
saat aku dorong. Sepertinya ada yang salah. Seolah-olah bagian dari bangunan
ini memang tak dimaksudkan untuk dimasuki. Aku mulai berpikir bahwa mungkin
saja secara tak sengaja ada yang telah menguncinya atau hanya aku yang kurang
kuat mendorongnya.
Aku mengambil
ancang-ancang lalu mendorong pintu dengan bahuku, terdengar suara logam dan
kayu beradu, terbuka. Kemudian aku sadar telah merusak grendel pintu yang rapuh
karena karat. Takut karena telah merusak pintu yang sengaja dikunci di hari
pertama sekolah, aku bermaksud untuk pergi dari tempat itu dan meminta bantuan
seseorang untuk menemukan kelasku. Seharusnya aku tak boleh berada di tempat
ini. koridor yang berada di depanku nampak tua dan berdebu. Semua pintu
lokernya terbuka dan tak terpakai. Bau jamur tercium di mana-mana. Tapi tepat
saat aku berputar, aku melihat nomor yang tertulis di kaca pintu didekat
koridor. Salah satu yang paling dekat denganku adalah nomor; ‘100’
Bingung, aku memeriksa
jadwal pelajaranku lagi untuk meyakinkan bahwa aku telah membaca nomor kelasku
dengan benar. Jelas; kelasku memang nomor ‘104’. Rupanya kelasku ada di deretan
koridor ini. Perlahan aku mulai berjalan, melihat tiap jendela yang aku lewati.
100, kosong, 101, kosong, 102, kosong hanya ada kerangka plastik yang
menggantung di sudut kelas, di tiang gantungan jas anak lab yang menguning.
Tetap saja, hal itu cukup membuatku tersentak. Saat aku memeriksa ruang 103
(kosong) aku mendengar suara lelaki dewasa dari ruangan seberang. Ruang 104.
Aku mengintip dari jendela. Penuh dengan anak-anak.
Hanya saja bukan hal
yang ingin aku lihat. Tentu, terdapat seorang guru, mengenakan setelan coklat
dan dasi kupu-kupu berwarna biru, dan ada siswa juga disana, semua terfokus
pada guru di depan, semuanya duduk terpisah satu sama lain dengan meja kayu
yang modelnya sudah ketinggalan jaman. Apa yang membuatku terdiam adalah
pakaian yang mereka kenakan. Anak-anak sekarang tidak mengenakan gaun terusan
seperti itu lagi, kelas itu nampak seperti adegan di film lawas. Si Guru
berdiri di samping papan tulis hitam yang berdebu karena kapur tulis.
Dengan kikuk aku
meminta maaf atas keterlambatanku, bilang bahwa aku tersesat. Lalu kemudian aku
menuju satu-satunya bangku kosong di dalam ruangan itu dan duduk. Kurasakan
pipiku memerah karena malu. Pastilah aku mengganggu jalannya pelajaran,
pikirku.
Guru memulai
pelajarannya beberapa detik kemudian. Namanya adalah Mr. Telori. Dia mulai
menulis hitung-hitungan di papan dan menyuruh anak-anak untuk mengerjakannya.
Semuanya nyaris berjalan biasa saja; kecuali satu fakta bahwa mereka tidak menggunakan
kalkulator. Tiap aku mengacungkan tangan untuk menjawab soal, dia selalu
mengabaikanku dan memilih siswa lain untuk menjawab. Tiba-tiba kelas berakhir
setelah berlangsung seperti berjam-jam lamanya. Pada akhir pelajaran, aku
merasa sangat bosan dan kecewa. Aku hanya ingin pulang dan mengadu karena telah
diabaikan.
Saat aku meninggalkan
ruang kelas, kurasakan perutku perih karena lapar. Aku melirik ke arah arloji
dan terkejut menyadari kalau waktu sekolah telah berakhir. Pelajaran matematika
seharian penuh? Horror. Kuputuskan, aku benci sekolah ini.
Aku berjalan pulang
dengan perlahan, memikirkan kejadian tadi di kepalaku. Semuanya terasa aneh,
tapi aku pasti akan terbiasa dengan sekolah ini nantinya.
Sesampainya di rumah,
ibuku sedang menelpon seseorang. Wajahnya menampakkan kebingungan. Dia
mendengar kedatanganku dan mengerutkan dahi saat melihatku. Dia terlihat agak
marah dan meminta siapapun yang di seberang telepon untuk menunggunya sebentar,
dan lalu dia menuduhku telah membolos.
Kebingungan masih
berlangsung. Aku bilang padanya aku berada di kelas seharian, tapi kemudian
telepon dari pihak sekolah mengatakan kalau aku tidak menghadiri satu kelaspun
dan tak seorangpun dari pihak sekolah melihatku setelah aku mengambil jadwal
pelajaranku. Aku bilang aku berada di kelas Mr. Telori di ruang 104 seharian. Aku
pasti lupa absen saat aku datang terlambat.
Ibuku menyela dan
memberitahu pihak sekolah mengenai ceritaku. Dia membeku beberapa detik
kemudian, lalu dia melihatku dengan raut khawatir.
Dia menutup telepon dan
mengatakan apa yang pihak sekolah katakan.
Mr. Telori sudah tidak
mengajar di sekolah itu selama tiga puluh delapan tahun.
Faktanya, ruang 104
merupakan bagian dari ruang yang ditinggalkan yang telah lama tak dipakai sejak
kejadian penembakan sekitar empat puluh tahun yang lalu.
Pihak sekolah menyangka
aku bercanda.
...
...
Malam itu aku browsing
di internet dan menemukan bahwa apa yang pihak sekolah katakan memang benar.
Tak berapa lama aku menemukan artikel koran lama tentang pembunuhan
besa-besaran di sekolah yang telah di arsipkan.
Seorang lelaki gila
meringsek masuk ke dalam sekolah dengan sebuah senapan berburu dan menembaki
seisi kelas sampai mati. Dia telah memblokir jalan keluar dan menembaki semua
orang di kelas matematika. Sebuah foto lama menampilkan kelas dimana pembunuhan
itu terjadi. Aku segera mengenalinya. Itu adalah ruang 104.
Sebuah berita kematian
menampilkan upacara penghormatan untuk semua yang meninggal dan foto-foto
mereka. Aku mengenali mereka, juga. Mr. Telori dan semua siswa, dimana
kuhabiskan waktuku dengan mereka.
Jantungku serasa
berhenti berdetak. Aku sakit, kurasakan dingin di tulang-belulangku saat itu.
Setelah kejadian itu,
aku pindah sekolah.
...
...
Sekarang,
bertahun-tahun sudah aku baru menulis cerita ini, tentang apa yang telah terjadi
padaku, yang tak seorangpun mau mempercayainya.
Alasannya, kenapa harus
sekarang?
Kemarin aku menerima
sebuah surat. Tidak ada alamat; hanya muncul begitu saja di kotak surat. Itu
adalah undangan reuni, ditandatangani oleh guruku.
Mr. Telori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar