THE
BURNED PHOTO – PART I
(Foto
yang Hangus)
Credit
to—NickyXX
Originally
translated by—RainiLa
Saat
aku masih (gadis) kecil, aku tinggal dengan ibuku di rumah kontrakan—dengan dua
kamar—di Cleveland, Ohio. Cat mengelupas dan ada noda di karpet bulu yang sudah
ada disana sejak tahun 70-an. Ada pemanas yang rusak tiap tahunnya—biasanya—tiap
awal bulan januari. Disana juga ada halaman belakang yang luas, dengan sebuah
pohon besar yang bisa kupanjat dan aku menganggap sampah disana adalah bentengnya.
Ibuku
wanita yang pendek, tingginya hanya 5,1 kaki; kurus dan pucat. Matanya lebar
dan dalam, memberi kesan lelah dan bosan pada dunia. Terdapat guratan keriput
di kedua ujung mata yang makin jelas saat dia tersenyum. Jadi, bahkan saat dia
tertawa, wajah itu memberi kesan sedih.
Dia
adalah fotografer profesional; lebih sering memotret untuk acara pernikahan dan
pesta; kelulusan, kumpulan keluarga—segala bentuk pertemuan yang ingin
diabadikan moment-nya.
Foto-foto
disana banyak menggambarkan masa kecilku. Frame-frame foto di dinding, album
foto murah yang ada di lemari ibuku—disegel dalam amplop di sebuah kotak.
Kadang, saat hujan di hari sabtu atau di pagi saat aku tak bisa ke sekolah
karena sakit, aku duduk bersila di lantai dan melihat deretan foto-foto,
melihat diriku sendiri tumbuh—sebuah kenangan yang berharga saat itu.
Suatu
hari saat langit cerah, dengan bau rerumputan segar di bulan Mei, saat itu aku
berumur 9 tahun, aku sendirian di kamar, membaca buku Babbysitter Club di atas
ranjang. Ibu sedang ada di kamarnya, tidur setelah semalaman bekerja untuk
acara sebuah perusahaan. Aku terkejut saat menengok keluar jendela, dan
menyadari ada sesuatu yang aneh—di halaman belakang, seorang gadis kecil
seumuran denganku sedang berdiri didepan pohon. Kulitnya gelap dan rambutnya panjang.
Dia memakai rok hijau berenda dengan motif polkadot. Dia melihatku, dan
tersenyum padaku—senyum yang teramat lebar, dan sangat indah.
Aku
membuka jendela dan memanggilnya. “Hai! Kau datang darimana?”
Dia
menghampiri jendela dan melihatku. Permukaan halaman belakang kami agak miring
hingga dia harus berjinjit dan berpegangan di birai jendela.
“Hai,”
Cicitnya. Suaranya terasa menenangkan. “Aku Katie, siapa namamu?”
“Felicia,”
Kataku. “Kenapa kau di halaman belakangku?”
Dia
mengangkat bahu. “Aku tinggal di ujung jalan. Aku baru saja pindah. Mau bermain
denganku?”
Aku
ragu. Ibu bilang bahwa dia harus bertemu teman-temanku dan orang tuanya sebelum
aku mengundang mereka ke rumah—itu peraturan yang dia buat saat aku masih TK,
satu-satunya peraturan yang selalu dia tekankan padaku tanpa henti.
“Tunggu.”
Kataku pada Katie. “Aku bilang Ibuku dulu.”
Katie
nampak kecewa. “Apa harus? Tak bisakah kau membiarkanku masuk terlebih dahulu?
Aku sangat lelah dan aku ingin ke kamar mandi.”
“Cuma
sebentar,” Kataku lalu lari tergesa-gesa.
“Tidak,
tunggu!” Katie memanggilku.
Aku
masuk ke kamar Ibuku dan membangunkannya. Dia memutar badannya dan melihatku
dengan wajah lelah, lalu tersenyum.
“Sayang,
apa kau baik-baik saja?”
“Bu,”
Kataku, “Ada gadis kecil di luar. Dia bilang namanya Katie. Bisakah dia bermain
disini?”
Ibu
bangkit duduk. Mata merahnya melebar, dan tatapannya menampakkan kengerian.
Kengerian yang menular padaku. Ku rasakan jantungku berdetak lebih cepat dan
tanganku basah.
“Darimana...”
Gagapnya. “Darimana dia datang? Apa dia di pintu depan?”
“Dia
di halaman belakang. Kataku. “Tiba-tiba saja dia muncul.”
Mendadak
Ibu berlari menuju pintu belakang. Aku mengikutinya dari belakang. dia
menendang pintu sampai terbuka dan berlari ke halaman. Katie sudah pergi. Aku
heran bagaimana dia bisa pergi begitu cepat; aku pergi ke kamar ibuku hanya dua
menit . Ibuku—nampaknya—tak peduli.
“JAUHI
DIA!” Teriaknya pada udara di sekitarnya. “jauhi anakku, SIALAN!”
Aku
terpana, membeku. Aku tak pernah mendengar serapah ibuku sebelumnya. Dia
berpaling ke arahku, mata lebarnya nampak liar dan tubuh kecilnya bergetar.
“Felicia,”
Dia menepuk kepalaku, “Kemasi barangmu. Kita akan pergi ke hotel.”
Kami
tinggal di hotel selama dua hari, sementara ibu mempersiapkan truk muatan dan
rumah kontrakan kecil di Aspen, Colorado. Pagi di hari ketiga, semua
barang-barang kami sudah di kemas dan kami pergi menuju ke timur negara bagian.
Aku bolos sekolah. Ibuku tak pernah melepaskan pandangannya dariku lebih dari
dua detik, dan wajahnya menampakkan kengerian. Hingga akhirnya kami tiba di
jalan tol, dia mulai rileks.
Aspen
menyenangkan. Aku suka sekolah baruku dan ibuku mendapat pekerjaan sebagai staf
fotografer di pesta jamuan makan. Berkali-kali aku bertanya kenapa kami harus
pindah—apalagi ditengah malam buta begini—dan dia selalu memberikan jawaban
yang berbeda. Dia tak suka Cleveland. Tingkat kriminal di Aspen rendah. Banyak
lapangan pekerjaan disini; banyak hotel bagus yang dijadikan tempat pernikahan
mewah.
Tak
pernah sekalipun dia menyebut soal Katie—atau amarahnya di halaman belakang
dulu.
Suatu
hari yang dingin dan berangin di awal Desember, saat itu aku berumur 14 tahun.
Aku berjalan menuju rumah. Ibu sedang bekerja di hotel terdekat. Aku sedang membuka
pintu saat menyadari ada gadis seusiaku
duduk di beranda—membelakangiku. Saat mendengar suara kerincing kunci, dia lalu
berdiri dan berpaling ke arahku.
Dia
sangat cantik; langsing, pucat, dengan bintik-bintik di wajah dan rambutnya
yang merah. Dia mengenakan baju V-neck warna hitam dan skinny jeans. Dia
tersenyum. Senyumnya indah, seolah-olah kedatanganku adalah hal terbaik
baginya. Aku meringis balik, sejenak melupakan tendangan reflek
flight-or-flight dariku. Sesuatu tentangnya membuatku bingung, tapi aku tak tau
apa itu.
“Um,
Hai.” Kataku. “Bisa aku bantu?”
Gadis
itu mengangguk. “Aku Zoe,” Katanya. “Maaf sudah menganggumu, tapi bolehkah aku
masuk? Aku tinggal beberapa blok dari sini, dan aku lupa membawa kunci rumah.
Bolehkah aku meminjam telpon?”
“Sepertinya,”
Kataku ragu. Ibuku masih memberi peraturan soal memperbolehkan masuk orang yang
belum dia temui. Tapi ada hal yang nampak aneh bagiku. Gadis ini terlihat tak
berbahaya. Kecuali bajunya; dia mengenakan kaos berlengan pendek, tanpa jaket,
di udara sedingin ini.
Tiba-tiba,
aku ingat Katie dan teror yang disebabkan olehnya. Lalu aku menyadari betapa
gadis ini mirip dengan Katie. Senyum lebar dan mata polos yang sama, menatap
penuh harap padaku.
Aku
berbalik dan lari. Aku berhenti di rumah seorang teman—yang letaknya beberapa
blok dari rumahku—lalu ikut menumpang kakak laki-lakinya menuju hotel dimana
ibu bekerja. Tiga hari kemudian, kami keluar dari kontrakan itu, berkemas dan
pindah. Kali ini ke La Puente, California.
Hari
itu, hari diamana aku melihat Zoe duduk di beranda, aku masuk sementara ibu
mengepak peralatannya. Ku nyalakan lampu. Ada yang berbeda di meja kopi,
walaupun semuanya masih utuh. Aku berjalan kesana untuk memeriksa, dan
menemukan foto seorang bocah lelaki berkulit hitam. Terlihat seperti foto lama.
Bocah lelaki itu berumur dua atau tiga
tahun, tertawa sambil bersandar di ujung sesuatu yang terlihat seperti bathtub
penuh dengan gelembung. Sementara ujung foto itu hangus.
Aku
tak menyadari ibuku datang dari belakang. melihat foto aneh ditanganku, dia
segera menjerit. Terkejut, aku menjatuhkannya.
Segera
setelah foto itu mencapai lantai, foto itu hancur menjadi debu.
Kami
tinggal di hotel setelah itu.
Malam
sebelum kami berencana pergi ke California, ibuku dan aku duduk di sofa di
kamar hotel kami, melihat tayangan ulang sitkom. Truk muatan kami terparkir di
parkiran. Saat iklan, ibu mematikan suara TV. Kami duduk dalam kesunyian selama
beberapa saat. Dia tak menjelaskan apapun soal ini, dan aku pun tak butuh. Aku tau
ini ada hubungannya dengan Zoe, Katie, atau apapun yang menyebabkan gadis itu
selalu memintaku untuk mengundangnya ke rumah. Dan juga foto anak kecil itu.
“Felicia,”
Kata ibu padaku, “Aku tak ingin bilang padamu kenapa kita terus pindah seperti
ini. Ya Tuhan, aku telah menghabiskan 14 tahun terakhir untuk menjauhkanmu
dari-‘nya’. Mencoba berpura-pura bahwa ‘dia’ sudah pergi. Tapi ‘dia’ selalu
bisa menemukanmu dan aku, tak peduli seberapa jauh kita berlari.”
Ada
alasan—katanya—kenapa aku tak punya ayah. Atau nenek dan kakek, paman dan bibi
atau sepupu. Kenapa semua kenalan dan beberapa temannya hanya tau kami sejak
aku berumur enam bulan dan saat kami pindah ke Cleveland. Kenapa kami tinggal
begitu jauh dari tanah kelahiran kami, Miami—secuil informasi yang dia bagikan
soal masa lalunya—dan kenapa kami tak pernah kembali kesana.
Ini
semua karena bocah di foto. Shane. Saudara lelakiku. Dan bocah lelaki lain yang
pernah bermain dengan Shane.
Sebelum
aku lahir, ibuku tinggal dengan ayahku dan Shane di sebuah rumah bagian Miami.
Nama ibuku adalah Bonnie. Bonnie Ibanez. Dia suka mengambil foto, hanya sebagai
hobi. Secara profesional, dia adalah suster di rumah sakit. Nama ayahku adalah
James Ibanez, dia orang Dominika; berambut keriting dan berkulit hitam,
sepertiku. Dia bekerja sebagai pilot pesawat komersil, karena tuntutan
pekerjaan, dia seringkali tak di rumah selama
beberapa hari. Jadi, sebagian besar waktu hanya ada ibuku dan Shane di
rumah.
Shane
adalah anugerah dalam hidupnya. Mata ibuku bersinar saat bercerita mengenai
Shane padaku. Shane sangat cerdas, katanya; selalu belajar, selalu membongkar
peralatan rumah dan mencoba memasangnya kembali, meng-eksplor, menemukan cara
masuk dan keluar dari sesuatu. Satu kenangan yang dia ingat, sore itu, saat
ibuku sedang menelpon, Shane pernah terpeleset di ruang laundry, membuka pintu perankap
yang mengarah ke basement, dia turun—hingga tersesat. Dia ketakutan saat pintu
tertutup dan tak bisa menemukan tombol lampu. Dia suka binatang, dan GI Joe,
dan buku mengenai binatang atau makhluk fantasi, dan penyihir. Hanya penyihir
baik. Dia tak suka cerita seram.
Walaupun
Shane anak yang manis, dia pemalu dan mempunyai kesulitan dalam berteman saat
TK. Ibu berusaha keras agar Shane punya teman—dia membuat kolam dengan ibu yang
lain, mengadakan acara bermain bersama. Namun, saat musim panas berganti dengan
musim gugur, mendekati akhir semester pertama dan kelompok-kelompok bermain di
TK makin akrab, anaknya masih saja menghabiskan waktu istirahat bermain
sendirian di ayunan dan melewatkan akhir minggu di kamar, hanya bertemankan
mainan-mainan. Ibu jadi frustasi.
Suatu
sabtu di pertengahan november, setelah diserang kantuk saat duduk di sofa
menonton beberapa acara gosip, ibu terbangun oleh suara gemuruh tawa. Segera
dia memeriksa Shane di kamarnya, dimana dia tengah bermain dengan Lego-nya.
Shane
masih disana, duduk bersila di lantai. Disampingnya ada bocah bertubuh kecil
dengan kulit putih pucat, mata biru, dan rambut pirang, memakai baju celana
monyet dan kaos berwarna merah.
Ibu
hampir menjerit.
“Oh!”
Gagapnya. “Bagaimana bisa kau masuk...”
Lalu
dia sadar saat melihat anaknya, Shane nampak bahagia bisa bermain dengan akan
seusianya. Ibu tersenyum.
“Shane,
kenapa kau tak mengenalkan temanmu padaku?”
“Namanya
Artie,” Jawab Shane gembira.
“Well,
hai Artie.” Kata ibu senang, sesenang pelaut tersesat yang menemukan daratan.
“Kau tinggal dekat sini?”
Artie
mengangguk, “Ya, Bu.”
“Well,
kau sopan sekali.” Ibu tercengang. “Kau boleh datang kapanpun kau mau. Tapi,
sayang, apa orangtua-mu tau kau disini? Aku yakin mereka tak ingin kau berkeliaran
di jalan sendirian.”
“Tak
apa-apa.” Kata Artie. Suaranya sangat manis. “Aku sudah bilang ibuku kalau aku
akan bermain dengan teman di ujung jalan. Katanya tak apa-apa.”
Artie
tersenyum pada ibu. Ibuku berkata, itu adalah senyum terlebar yang pernah dia
lihat dari seorang anak kecil. Senyum saat hari pertama musim panas. Senyum
saat menyambut natal. Senyum dari bayi anjing. Anak malang, pikirnya. Orangtuanya
pastilah orang tua yang paling tidak perhatian di seluruh planet, hingga
anaknya yang masih kecil dibiarkan berlari ke rumah tetangga yang tak dia kenal.
Dan dia adalah anak yang manis! Mungkin dia—seperti anaknya—kesepian dan sangat
butuh teman.
Jadi
dia biarkan dua bocah itu sendirian sampai malam. Saat tiba saatnya makan
malam, dia bilang pada Artie bahwa tak apa-apa jika dia ingin menginap. Tapi
dia bersikeras untuk pulang, agar ibunya tak khawatir. Setelah kepergian Artie,
Shane menghampiri ibu kami dan memohon agar Artie bisa berkunjung dan bermain
lagi besok.
Ibu
sangat bahagia.
“Jadi,
sayang,” Ibu bertanya pada Shane saat makan malam. “Bagaimana kau bertemu
Artie? Harusnya aku mendengarnya masuk dari pintu depan, dari papan kayu di
ruang tamu yang berdecit.”
Shane
menggeleng. “Dia ada di halaman belakang. dia memanjat melalui jendela.”
“Oh,”
Balas ibu. “Itu...aneh. Apa dia bersekolah di sekolah yang sama denganmu?”
“Tidak.”
Kata Shane. “Dia bilang, ibunya mengajarinya di rumah.”
Home-schooling.
Jadi Artie benar-benar kesepian dan butuh teman bermain. Dan karena dia tidak
dikelilingi teman sepanjang hari, itu artinya Shane tak punya saingan. Ibu
merasa malu karena berpikir seperti itu, sekaligus juga sadar bahwa anaknya
yang pemalu dan kikuk bisa memanfaatkan keadaan Artie.
Besoknya
dan tiga hari berikutnya setelah Shane pulang sekolah, Artie benar-benar
datang. Mereka berteman dengan baik. Artie nampak senang dengan mainan
Shane—koleksi mobil-mobilan, boneka, GI Joe, action figure Transformer dan
Lego. Ibuku beranggapan kalau Artie tak punya banyak mainan di rumah. Mungkin
orangtuanya tak punya banyak uang. Itu masuk akal, karena tiap bertemu, Artie
selalu mengenakan pakaian yang sama. seperti tokoh kartun.
Mainan
favoritnya sama seperti ibu—seperangkat balok yang dibuat kakek untuk Shane.
Balok itu terdiri dari 40 buah; dengan huruf, angka dan 4 balok
kosong—ditempatkan di kotak mainan bergagang. Huruf dan angka ditulis dengan
indah menggunakan font Old English di dua sisi tiap balok; sementara 4 sisi
yang lain dihias dengan dekorasi yang mewakili huruf atau angka yang tertulis
di dua sisi balok lain. Gambar Beagle, Butterfly, Banana dan Buket Bunga untuk
mewakili blok dengan huruf “B”. Sepasang sepatu, dua mata, Sepasang pengantin, serta
garam dan merica untuk mewakili angka “2”, dan lain-lain. Masing-masing diberi
warna merah, kuning, biru atau hijau. mainan itu sangat unik dan tak ada duanya.
Shane—yang terlalu muda untuk mengerti karya seni buatan tangan atau bahkan
waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya—tak berminat pada mainan itu setahun yang
lalu. Tapi Artie sangat menyukai balok-balok itu. Dia menghibur dirinya
sendiri, dan Shane tentunya, selama beberapa jam mengeja huruf berbeda dan
terkikik geli.
Suatu
hari, ibu libur kerja dan ide kreatif muncul dibenaknya. Dua bocah itu ada di
kamar Shane, membangun tower dengan balok-balok, dan mereka nampak sangat manis
saat bersama. Lalu, ibu mengambil kamera. Diam-diam dan pelan-pelan—seolah-olah
mengambil gambar hewan liar—dia memotret dua bocah itu beberapa kali melalui
pintu. Bocah-bocah itu sadar dan mulai bertingkah lucu; membuat kata-kata aneh
dengan balok-balok itu seperti kata “poop” (kotoran) atau “fart” (kentut). Ibu
menghabiskan roll foto dan ikut duduk di lantai bersama mereka. Ketiganya
tertawa bersama seperti balita.
Hari
demi hari, minggu demi minggu, bocah-bocah itu makin sering menghabiskan waktu
bersama. Artie bertemu Ayahku, sekali atau dua kali, selama beberapa menit,
saat dia akan berangkat ke bandara atau saat dia menuju ke kamar untuk tidur
dan melepas lelah. Dia bertemu dengan nenekku, yang tinggal bersama Shane saat
kedua orangtuaku sedang bekerja, dan membuatnya tenang dengan suara lembutnya
serta dengan senang hati mengajarinya cara merajut. Dia mulai mampir lebih lama
untuk makan malam beberapa kali seminggu, meskipun dia tak pernah menghabiskan
makanannya
Segera,
Artie selalu di beranda depan tiap hari, menunggu Shane pulang dari sekolah.
Selalu mengenakan kaos merah dan celana kodok yang sama. Selalu pucat, tak
peduli seberapa lama bocah-bocah itu bermain dibawah terik matahari. Selalu
seperti malaikat.
Saat
bocah itu makin akrab, ibuku jadi makin penasaran dengan keluarga Artie—yang,
rupanya, tak nampak. Dia bercerita tentang Artie pada beberapa ibu muda di
ujung jalan—wanita-wanita yang suka bergosip dan terlalu sibuk untuk mencari
tau apapun mengenai siapapun. Namun tak seorangpun pernah melihat ataupun
mendengar soal si bocah kecil, yang di telantarkan orangtuanya yang misterius.
Ibu
benar-benar berharap, cepat atau lambat, seorang wanita berkulit pucat bermata
biru dengan rambut pirang datang mengetuk pintu depan, terenyum lebar sambil
menanyakan keberadaan anaknya. Mungkin saja dia mengenakan jumper jeans dan
atasan berwarna merah.
Tapi
wanita seperti itu tak pernah datang.
“Artie,
apa kau ingin ku antar pulang malam ini?” Pada suatu hari Ibu bertanya dengan
suara yang amat lembut, saat dia dan Shane sedang menata mobil mainan di ruang
tengah.
Dia
tersenyum dan menggeleng, “Terima kasih, Bu.”
“Apa
kau yakin, sayang? Aku akan senang bertemu dengan ibumu. Memberitau dia bahwa
anaknya tidak menghabiskan waktu dengan sekelompok orang gila.” Dia terkekeh.
Mata
biru Artie mengerjap. Senyumnya menghilang.
“Tidak
bisa, Bu.” Dia menggeleng kuat-kuat. “Ibuku sakit. Ia tak uka melihat orang
lain.”
Lalu
dia mengalihkan perhatiannya ke Shane dan mobil mainannya, menanggapi apapun
soal ibunya atau soal mengantarnya pulang dengan gelengan kepala. Ibuku
menyerah.
Lalu,
hari demi hari, Shane mulai berubah.
Pertama,
dia tak mau sentuh oleh ibuku. Ketika Ibu mengulurkan tangannya saat akan menyebrang
ke parkiran sekolah, malas-malasan dia menyambutnya dengan ekspresi risih dan
enggan. Tubuhnya akan menegang saat ibu melingkarkan tangannya kebahu bocah
itu. Kerincingan kunci yang dulunya menarik Shane seperti panggilan kepada
anjing kecil yang kesepian, kini hanya dia tanggapi dengan lirikan sekilas dan
acuh.
Lalu,
dia berhenti makan. Dia dan Artie duduk bersebelahan di meja makan, memainkan
makanannya di piring, mengangkat garpu tanpa menyuapnya, melempar tatapan
kosong satu sama lain saat mereka pikir ibu tak melihat. Ibu yakin Shane
membuang bekalnya di sekolah. Kapanpun dia menawari Shane makanan, dia selalu
menjawab, “Aku tak lapar, Bu.”
Akhirnya,
dia berhenti bicara. Setelah makan malam, dia akan menyendiri di kamar untuk
mengerjakan PR, dimana dia akan terus disana sampai Ibu mengetuk pintu kamar
dan menyuruhnya mandi. Setelah selesai mandi dan mengenakan piyama, dia menutup
pintu kamar, mematikan lampu dan tidur. Tidak ada cerita, tidak ada ciuman
selamat malam. Dia hanya bicara saat merespon pertanyaan sesingkat mungkin.
Saat libur, dia akan rebahan di kamar sampai menjelang siang, saat Artie datang
berkunjung.
Cara
Artie dan Shane berkomunikasi pun berubah dratis. Bocah-bocah itu tak lagi
bermain di halaman atau saling kejar di dalam rumah. Alih-alih, mereka segera
menjauh ke kamar Shane dan diam disana sepanjang siang dengan pintu tertutup.
Saat Ibu memeriksa, dia melihat bocah-bocah itu duduk dengan tenang di atas
ranjang. Kadang, saat dia mencuri dengar melalui pintu, dia mendengar
benda-benda bergerak dan berdenting bersamaan, bisa jadi itu suara
mobil-mobilan Shane. Tapi apapun yang mereka lakukan didalam sana, mereka
lakukan dengan rapi. Saat Artie akan pamit pulang, kondisi kamar Shane persis
sama seperti saat Shane belum pulang sekolah.
Ayahku
berkata bahwa Shane hanya mengalami fase-fase pertumbuhan. Dan, lama-kelamaan,
dia harus mempercayainya. Nenekku sakit. Dia hidup dengan diabetesnya selama
beberapa tahun terakhir; lalu, tiba-tiba, dia mengalami gagal ginjal. Salah
satu saudara pindah ke rumah nenek untuk menemaninya melakoni cuci darah, tapi
Ibuku yang harus menanggung semua biaya beserta dokumen resmi dan asuransi
kesehatannya.
Suatu
hari, tertekan, lelah dan diserang sakit kepala, dia menyingkirkan setumpuk
dokumen pensiun yang telah dia analisa di meja dapur. Mungkin lebih baik untuk
memeriksa apa yang dua bocah itu lakukan. Saat dia sampai di pintu kamar Shane,
dia mendengar suara kikikan tertahan. Dia dekatkan telinganya ke daun pintu.
“Komat-kamit...
mungkin dia akan gila... terkikik terkikik terkikik.”
Suara
itu benar suara Shane, tapi ibu tak tau apa yang sebenarnya dia ucapkan. Lalu
Artie bicara.
“Komat-kamit...
bukan berarti pergi selamanya, tapi... komat-kamit... tak akan ada seorangpun
yang melihat... terkikik terkikik terkikik.”
Ibu
bertumpu pada kaki kanannya. Lantai kayu kemudian berdecit. Suara-suara di
balik pintu mendadak berhenti. Seperti seorang bocah yang kepergok diam-diam mengambil
kue, dia buru-buru berlari menuju meja dapur dan membuat dirinya nampak sibuk.
Pintu kamar Shane tak terbuka; dia lega. Tapi sesuatu mengenai apa yang dia
dengar membuatnya tak nyaman.
Isi
percakapan mereka yang aneh yang membuatnya seperti itu. Terlebih lagi dia tak
mengerti sebagian besar yang mereka ucapkan, padahal jarak mereka hanya
beberapa kaki saja.
Tapi
yang paling mengganggu adalah fakta bahwa dia yakin telah mendengar lebih dari
dua suara.
Malam
itu, dia menunggu sampai Artie keluar pintu, lalu mencoba berbicara dengan
anaknya. Dia menghadang Shane di koridor antara dapur dan kamarnya.
“Shane,
sayang...” ucapnya lembut, “Apa yang kau bicarakan dengan Artie?”
Dia
menoleh dan mengangkat bahu, “Sesuatu.”
“Aku
tau.” Katanya, sedikit memaksa, “Sesuatu apa?”
“Tempat
yang dia suka kunjungi.”
“Oh,”
Ibu tersenyum, “Seperti Chuck-e-Cheese? Atau McDonald’s?”
Shane
menggeleng, “Tidak. Tempat spesial. Ada anak lain disana. Dia akan mengajakku
kesana segera.”
“Oh,
baiklah.”
Ibu
tak tau bagaimana haru merespon. Selesai berbincang, Shane masuk ke kamar dan
menutup pintunya. Ada yang aneh dari caranya berucap. ‘Dia akan mengajakku
kesana segera’. Bukannya ‘Bisakah kami pergi kesana?’ seolah-seolah dia tak
punya pilihan selain pergi dan seolah-olah ibu tak punya pilihan selain
mengiyakan.
Malam
berikutnya, Ibu ada pekerjaan di pemakaman. Artie pamit sekitar jam 7 malam, saat
itu Ibu sedang mengepang rambut dan mengambil kunci mobilnya. Dengan sengaja
mengawasi bocah kecil dengan pakaian merah dan biru itu keluar dari pintu.
Kemudian
dia memutuskan untuk menguntitnya diam-diam.
Ibu
menunggu hingga ada jarak beberapa meter antara dirinya dan Artie, sengaja
membuat beberapa mobil mendahuluinya. Menuju ke timur, dimana terdapat jalan
buntu. Lalu, dia menginjak gas dengan lampu mobil yang dimatikan, menyetir amat
pelan, fokus pada bocah lelaki dengan rambut pirangnya yan berayun-ayun. Dia
sampai di jalan buntu. Ibu mengerem. Artie terus berjalan, mengitari trotoar
lingkar, lalu berajalan terus ke barat. Aneh, pikir Ibu. Kenapa dia tidak
langsung saja menyeberang jalan di depan rumahnya?
Lalu
Artie berhenti. Dia menoleh dan melihat mobil Ibu, lalu melihat tepat di
matanya. Terkejut. Ibu melepas pedal rem dan membiarkan mobilnya melaju ke
depan. Di wajah serupa malaikatnya, kata Ibu, tergambar ekspresi paling penuh
kebencian yang pernah dia lihat.
Artie
membuang muka dan langsung berjalan menuju rumah di depannya—rumah kecil
berwarna putih dengan halaman berantakan dan garasi yang kosong. Pintunya dikelilingi
oleh dinding yang gelap, Ibuku tak bisa melihat dengan jelas dari mobil. Artie
berjalan menuju pintu dan ditelan oleh kegelapan. Ibuku berasumsi bahwa Artie
masuk kesana tapi tak satupun lampu yang dinyalakan.
Dia
mempertimbangkan untuk masuk kesana. Bagaimanapun kondisi kehidupannya dengan
ibunya yang misterius, itu jelas tidak ideal untuk anak kecil. Dia pulang
sehabis gelap, menuju rumah yang kosong dan gelap. Tapi ada sesuatu mengenai
tatapan Artie. Tatapan yang hambar dan
kasar. Dia merasa mual jika memikirkannya. Jadi dia berbalik dan pergi bekerja.
Sampai di parkiran rumah sakit, dia baru sadar lengannya merinding dan
tangannya di kemudi begitu pucat.
Setelah
sejam bekerja, Ibu dapat telpon dari saudaranya. Kulit disekitar pipa untuk
memasukkan cairan di tubuh Ibunya nampak makin memerah dan lebam selama dua
hari. Awalnya dia pikir itu hanya ruam, namun malam itu bibiku mendapati nenek
tak bergerak di atas lantai. Dia dibawa ke rumah sakit lain di kota itu.
Kemudian dengan ambulan, nenek dimasukkan ke UGD, namun detak jantung nenek
datar. Dia mengalami keracunan darah.
Kata
Ibuku, itu hanya kebetulan, nampaknya nenek ambruk tepat saat Artie memberinya
tatapan mengerikan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar