Sabtu, 19 Desember 2015

[Cerita Terjemahan] THE BURNED PHOTO – PART I



THE BURNED PHOTO – PART I
(Foto yang Hangus)
Credit to—NickyXX
Originally translated by—RainiLa
 
Saat aku masih (gadis) kecil, aku tinggal dengan ibuku di rumah kontrakan—dengan dua kamar—di Cleveland, Ohio. Cat mengelupas dan ada noda di karpet bulu yang sudah ada disana sejak tahun 70-an. Ada pemanas yang rusak tiap tahunnya—biasanya—tiap awal bulan januari. Disana juga ada halaman belakang yang luas, dengan sebuah pohon besar yang bisa kupanjat dan aku menganggap sampah disana adalah bentengnya.
Ibuku wanita yang pendek, tingginya hanya 5,1 kaki; kurus dan pucat. Matanya lebar dan dalam, memberi kesan lelah dan bosan pada dunia. Terdapat guratan keriput di kedua ujung mata yang makin jelas saat dia tersenyum. Jadi, bahkan saat dia tertawa, wajah itu memberi kesan sedih.
Dia adalah fotografer profesional; lebih sering memotret untuk acara pernikahan dan pesta; kelulusan, kumpulan keluarga—segala bentuk pertemuan yang ingin diabadikan moment-nya.
Foto-foto disana banyak menggambarkan masa kecilku. Frame-frame foto di dinding, album foto murah yang ada di lemari ibuku—disegel dalam amplop di sebuah kotak. Kadang, saat hujan di hari sabtu atau di pagi saat aku tak bisa ke sekolah karena sakit, aku duduk bersila di lantai dan melihat deretan foto-foto, melihat diriku sendiri tumbuh—sebuah kenangan yang berharga saat itu.
Suatu hari saat langit cerah, dengan bau rerumputan segar di bulan Mei, saat itu aku berumur 9 tahun, aku sendirian di kamar, membaca buku Babbysitter Club di atas ranjang. Ibu sedang ada di kamarnya, tidur setelah semalaman bekerja untuk acara sebuah perusahaan. Aku terkejut saat menengok keluar jendela, dan menyadari ada sesuatu yang aneh—di halaman belakang, seorang gadis kecil seumuran denganku sedang berdiri didepan pohon. Kulitnya gelap dan rambutnya panjang. Dia memakai rok hijau berenda dengan motif polkadot. Dia melihatku, dan tersenyum padaku—senyum yang teramat lebar, dan sangat indah.
Aku membuka jendela dan memanggilnya. “Hai! Kau datang darimana?”
Dia menghampiri jendela dan melihatku. Permukaan halaman belakang kami agak miring hingga dia harus berjinjit dan berpegangan di birai jendela.
“Hai,” Cicitnya. Suaranya terasa menenangkan. “Aku Katie, siapa namamu?”
“Felicia,” Kataku. “Kenapa kau di halaman belakangku?”
Dia mengangkat bahu. “Aku tinggal di ujung jalan. Aku baru saja pindah. Mau bermain denganku?”
Aku ragu. Ibu bilang bahwa dia harus bertemu teman-temanku dan orang tuanya sebelum aku mengundang mereka ke rumah—itu peraturan yang dia buat saat aku masih TK, satu-satunya peraturan yang selalu dia tekankan padaku tanpa henti.
“Tunggu.” Kataku pada Katie. “Aku bilang Ibuku dulu.”
Katie nampak kecewa. “Apa harus? Tak bisakah kau membiarkanku masuk terlebih dahulu? Aku sangat lelah dan aku ingin ke kamar mandi.”
“Cuma sebentar,” Kataku lalu lari tergesa-gesa.
“Tidak, tunggu!” Katie memanggilku.
Aku masuk ke kamar Ibuku dan membangunkannya. Dia memutar badannya dan melihatku dengan wajah lelah, lalu tersenyum.
“Sayang, apa kau baik-baik saja?”
“Bu,” Kataku, “Ada gadis kecil di luar. Dia bilang namanya Katie. Bisakah dia bermain disini?”
Ibu bangkit duduk. Mata merahnya melebar, dan tatapannya menampakkan kengerian. Kengerian yang menular padaku. Ku rasakan jantungku berdetak lebih cepat dan tanganku basah.
“Darimana...” Gagapnya. “Darimana dia datang? Apa dia di pintu depan?”
“Dia di halaman belakang. Kataku. “Tiba-tiba saja dia muncul.”
Mendadak Ibu berlari menuju pintu belakang. Aku mengikutinya dari belakang. dia menendang pintu sampai terbuka dan berlari ke halaman. Katie sudah pergi. Aku heran bagaimana dia bisa pergi begitu cepat; aku pergi ke kamar ibuku hanya dua menit . Ibuku—nampaknya—tak peduli.
“JAUHI DIA!” Teriaknya pada udara di sekitarnya. “jauhi anakku, SIALAN!”
Aku terpana, membeku. Aku tak pernah mendengar serapah ibuku sebelumnya. Dia berpaling ke arahku, mata lebarnya nampak liar dan tubuh kecilnya bergetar.
“Felicia,” Dia menepuk kepalaku, “Kemasi barangmu. Kita akan pergi ke hotel.”
Kami tinggal di hotel selama dua hari, sementara ibu mempersiapkan truk muatan dan rumah kontrakan kecil di Aspen, Colorado. Pagi di hari ketiga, semua barang-barang kami sudah di kemas dan kami pergi menuju ke timur negara bagian. Aku bolos sekolah. Ibuku tak pernah melepaskan pandangannya dariku lebih dari dua detik, dan wajahnya menampakkan kengerian. Hingga akhirnya kami tiba di jalan tol, dia mulai rileks.
Aspen menyenangkan. Aku suka sekolah baruku dan ibuku mendapat pekerjaan sebagai staf fotografer di pesta jamuan makan. Berkali-kali aku bertanya kenapa kami harus pindah—apalagi ditengah malam buta begini—dan dia selalu memberikan jawaban yang berbeda. Dia tak suka Cleveland. Tingkat kriminal di Aspen rendah. Banyak lapangan pekerjaan disini; banyak hotel bagus yang dijadikan tempat pernikahan mewah.
Tak pernah sekalipun dia menyebut soal Katie—atau amarahnya di halaman belakang dulu.
Suatu hari yang dingin dan berangin di awal Desember, saat itu aku berumur 14 tahun. Aku berjalan menuju rumah. Ibu sedang bekerja di hotel terdekat. Aku sedang membuka pintu  saat menyadari ada gadis seusiaku duduk di beranda—membelakangiku. Saat mendengar suara kerincing kunci, dia lalu berdiri dan berpaling ke arahku.
Dia sangat cantik; langsing, pucat, dengan bintik-bintik di wajah dan rambutnya yang merah. Dia mengenakan baju V-neck warna hitam dan skinny jeans. Dia tersenyum. Senyumnya indah, seolah-olah kedatanganku adalah hal terbaik baginya. Aku meringis balik, sejenak melupakan tendangan reflek flight-or-flight dariku. Sesuatu tentangnya membuatku bingung, tapi aku tak tau apa itu.
“Um, Hai.” Kataku. “Bisa aku bantu?”
Gadis itu mengangguk. “Aku Zoe,” Katanya. “Maaf sudah menganggumu, tapi bolehkah aku masuk? Aku tinggal beberapa blok dari sini, dan aku lupa membawa kunci rumah. Bolehkah aku meminjam telpon?”
“Sepertinya,” Kataku ragu. Ibuku masih memberi peraturan soal memperbolehkan masuk orang yang belum dia temui. Tapi ada hal yang nampak aneh bagiku. Gadis ini terlihat tak berbahaya. Kecuali bajunya; dia mengenakan kaos berlengan pendek, tanpa jaket, di udara sedingin ini.
Tiba-tiba, aku ingat Katie dan teror yang disebabkan olehnya. Lalu aku menyadari betapa gadis ini mirip dengan Katie. Senyum lebar dan mata polos yang sama, menatap penuh harap padaku.
Aku berbalik dan lari. Aku berhenti di rumah seorang teman—yang letaknya beberapa blok dari rumahku—lalu ikut menumpang kakak laki-lakinya menuju hotel dimana ibu bekerja. Tiga hari kemudian, kami keluar dari kontrakan itu, berkemas dan pindah. Kali ini ke La Puente, California.
Hari itu, hari diamana aku melihat Zoe duduk di beranda, aku masuk sementara ibu mengepak peralatannya. Ku nyalakan lampu. Ada yang berbeda di meja kopi, walaupun semuanya masih utuh. Aku berjalan kesana untuk memeriksa, dan menemukan foto seorang bocah lelaki berkulit hitam. Terlihat seperti foto lama. Bocah  lelaki itu berumur dua atau tiga tahun, tertawa sambil bersandar di ujung sesuatu yang terlihat seperti bathtub penuh dengan gelembung. Sementara ujung foto itu hangus.
Aku tak menyadari ibuku datang dari belakang. melihat foto aneh ditanganku, dia segera menjerit. Terkejut, aku menjatuhkannya.
Segera setelah foto itu mencapai lantai, foto itu hancur menjadi debu.
Kami tinggal di hotel setelah itu.
Malam sebelum kami berencana pergi ke California, ibuku dan aku duduk di sofa di kamar hotel kami, melihat tayangan ulang sitkom. Truk muatan kami terparkir di parkiran. Saat iklan, ibu mematikan suara TV. Kami duduk dalam kesunyian selama beberapa saat. Dia tak menjelaskan apapun soal ini, dan aku pun tak butuh. Aku tau ini ada hubungannya dengan Zoe, Katie, atau apapun yang menyebabkan gadis itu selalu memintaku untuk mengundangnya ke rumah. Dan juga foto anak kecil itu.
“Felicia,” Kata ibu padaku, “Aku tak ingin bilang padamu kenapa kita terus pindah seperti ini. Ya Tuhan, aku telah menghabiskan 14 tahun terakhir untuk menjauhkanmu dari-‘nya’. Mencoba berpura-pura bahwa ‘dia’ sudah pergi. Tapi ‘dia’ selalu bisa menemukanmu dan aku, tak peduli seberapa jauh kita berlari.”
Ada alasan—katanya—kenapa aku tak punya ayah. Atau nenek dan kakek, paman dan bibi atau sepupu. Kenapa semua kenalan dan beberapa temannya hanya tau kami sejak aku berumur enam bulan dan saat kami pindah ke Cleveland. Kenapa kami tinggal begitu jauh dari tanah kelahiran kami, Miami—secuil informasi yang dia bagikan soal masa lalunya—dan kenapa kami tak pernah kembali kesana.
Ini semua karena bocah di foto. Shane. Saudara lelakiku. Dan bocah lelaki lain yang pernah bermain dengan Shane.
Sebelum aku lahir, ibuku tinggal dengan ayahku dan Shane di sebuah rumah bagian Miami. Nama ibuku adalah Bonnie. Bonnie Ibanez. Dia suka mengambil foto, hanya sebagai hobi. Secara profesional, dia adalah suster di rumah sakit. Nama ayahku adalah James Ibanez, dia orang Dominika; berambut keriting dan berkulit hitam, sepertiku. Dia bekerja sebagai pilot pesawat komersil, karena tuntutan pekerjaan, dia seringkali tak di rumah selama  beberapa hari. Jadi, sebagian besar waktu hanya ada ibuku dan Shane di rumah.
Shane adalah anugerah dalam hidupnya. Mata ibuku bersinar saat bercerita mengenai Shane padaku. Shane sangat cerdas, katanya; selalu belajar, selalu membongkar peralatan rumah dan mencoba memasangnya kembali, meng-eksplor, menemukan cara masuk dan keluar dari sesuatu. Satu kenangan yang dia ingat, sore itu, saat ibuku sedang menelpon, Shane pernah terpeleset di ruang laundry, membuka pintu perankap yang mengarah ke basement, dia turun—hingga tersesat. Dia ketakutan saat pintu tertutup dan tak bisa menemukan tombol lampu. Dia suka binatang, dan GI Joe, dan buku mengenai binatang atau makhluk fantasi, dan penyihir. Hanya penyihir baik. Dia tak suka cerita seram.
Walaupun Shane anak yang manis, dia pemalu dan mempunyai kesulitan dalam berteman saat TK. Ibu berusaha keras agar Shane punya teman—dia membuat kolam dengan ibu yang lain, mengadakan acara bermain bersama. Namun, saat musim panas berganti dengan musim gugur, mendekati akhir semester pertama dan kelompok-kelompok bermain di TK makin akrab, anaknya masih saja menghabiskan waktu istirahat bermain sendirian di ayunan dan melewatkan akhir minggu di kamar, hanya bertemankan mainan-mainan. Ibu jadi frustasi.
Suatu sabtu di pertengahan november, setelah diserang kantuk saat duduk di sofa menonton beberapa acara gosip, ibu terbangun oleh suara gemuruh tawa. Segera dia memeriksa Shane di kamarnya, dimana dia tengah bermain dengan Lego-nya.
Shane masih disana, duduk bersila di lantai. Disampingnya ada bocah bertubuh kecil dengan kulit putih pucat, mata biru, dan rambut pirang, memakai baju celana monyet dan kaos berwarna merah.
Ibu hampir menjerit.
“Oh!” Gagapnya. “Bagaimana bisa kau masuk...”
Lalu dia sadar saat melihat anaknya, Shane nampak bahagia bisa bermain dengan akan seusianya. Ibu tersenyum.
“Shane, kenapa kau tak mengenalkan temanmu padaku?”
“Namanya Artie,” Jawab Shane gembira.
“Well, hai Artie.” Kata ibu senang, sesenang pelaut tersesat yang menemukan daratan. “Kau tinggal dekat sini?”
Artie mengangguk, “Ya, Bu.”
“Well, kau sopan sekali.” Ibu tercengang. “Kau boleh datang kapanpun kau mau. Tapi, sayang, apa orangtua-mu tau kau disini? Aku yakin mereka tak ingin kau berkeliaran di jalan sendirian.”
“Tak apa-apa.” Kata Artie. Suaranya sangat manis. “Aku sudah bilang ibuku kalau aku akan bermain dengan teman di ujung jalan. Katanya tak apa-apa.”
Artie tersenyum pada ibu. Ibuku berkata, itu adalah senyum terlebar yang pernah dia lihat dari seorang anak kecil. Senyum saat hari pertama musim panas. Senyum saat menyambut natal. Senyum dari bayi anjing. Anak malang, pikirnya. Orangtuanya pastilah orang tua yang paling tidak perhatian di seluruh planet, hingga anaknya yang masih kecil dibiarkan berlari ke rumah tetangga yang tak dia kenal. Dan dia adalah anak yang manis! Mungkin dia—seperti anaknya—kesepian dan sangat butuh teman.
Jadi dia biarkan dua bocah itu sendirian sampai malam. Saat tiba saatnya makan malam, dia bilang pada Artie bahwa tak apa-apa jika dia ingin menginap. Tapi dia bersikeras untuk pulang, agar ibunya tak khawatir. Setelah kepergian Artie, Shane menghampiri ibu kami dan memohon agar Artie bisa berkunjung dan bermain lagi besok.
Ibu sangat bahagia.
“Jadi, sayang,” Ibu bertanya pada Shane saat makan malam. “Bagaimana kau bertemu Artie? Harusnya aku mendengarnya masuk dari pintu depan, dari papan kayu di ruang tamu yang berdecit.”
Shane menggeleng. “Dia ada di halaman belakang. dia memanjat melalui jendela.”
“Oh,” Balas ibu. “Itu...aneh. Apa dia bersekolah di sekolah yang sama denganmu?”
“Tidak.” Kata Shane. “Dia bilang, ibunya mengajarinya di rumah.”
Home-schooling. Jadi Artie benar-benar kesepian dan butuh teman bermain. Dan karena dia tidak dikelilingi teman sepanjang hari, itu artinya Shane tak punya saingan. Ibu merasa malu karena berpikir seperti itu, sekaligus juga sadar bahwa anaknya yang pemalu dan kikuk bisa memanfaatkan keadaan Artie.
Besoknya dan tiga hari berikutnya setelah Shane pulang sekolah, Artie benar-benar datang. Mereka berteman dengan baik. Artie nampak senang dengan mainan Shane—koleksi mobil-mobilan, boneka, GI Joe, action figure Transformer dan Lego. Ibuku beranggapan kalau Artie tak punya banyak mainan di rumah. Mungkin orangtuanya tak punya banyak uang. Itu masuk akal, karena tiap bertemu, Artie selalu mengenakan pakaian yang sama. seperti tokoh kartun.
Mainan favoritnya sama seperti ibu—seperangkat balok yang dibuat kakek untuk Shane. Balok itu terdiri dari 40 buah; dengan huruf, angka dan 4 balok kosong—ditempatkan di kotak mainan bergagang. Huruf dan angka ditulis dengan indah menggunakan font Old English di dua sisi tiap balok; sementara 4 sisi yang lain dihias dengan dekorasi yang mewakili huruf atau angka yang tertulis di dua sisi balok lain. Gambar Beagle, Butterfly, Banana dan Buket Bunga untuk mewakili blok dengan huruf “B”. Sepasang sepatu, dua mata, Sepasang pengantin, serta garam dan merica untuk mewakili angka “2”, dan lain-lain. Masing-masing diberi warna merah, kuning, biru atau hijau. mainan itu sangat unik dan tak ada duanya. Shane—yang terlalu muda untuk mengerti karya seni buatan tangan atau bahkan waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya—tak berminat pada mainan itu setahun yang lalu. Tapi Artie sangat menyukai balok-balok itu. Dia menghibur dirinya sendiri, dan Shane tentunya, selama beberapa jam mengeja huruf berbeda dan terkikik geli.
Suatu hari, ibu libur kerja dan ide kreatif muncul dibenaknya. Dua bocah itu ada di kamar Shane, membangun tower dengan balok-balok, dan mereka nampak sangat manis saat bersama. Lalu, ibu mengambil kamera. Diam-diam dan pelan-pelan—seolah-olah mengambil gambar hewan liar—dia memotret dua bocah itu beberapa kali melalui pintu. Bocah-bocah itu sadar dan mulai bertingkah lucu; membuat kata-kata aneh dengan balok-balok itu seperti kata “poop” (kotoran) atau “fart” (kentut). Ibu menghabiskan roll foto dan ikut duduk di lantai bersama mereka. Ketiganya tertawa bersama seperti balita.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bocah-bocah itu makin sering menghabiskan waktu bersama. Artie bertemu Ayahku, sekali atau dua kali, selama beberapa menit, saat dia akan berangkat ke bandara atau saat dia menuju ke kamar untuk tidur dan melepas lelah. Dia bertemu dengan nenekku, yang tinggal bersama Shane saat kedua orangtuaku sedang bekerja, dan membuatnya tenang dengan suara lembutnya serta dengan senang hati mengajarinya cara merajut. Dia mulai mampir lebih lama untuk makan malam beberapa kali seminggu, meskipun dia tak pernah menghabiskan makanannya
Segera, Artie selalu di beranda depan tiap hari, menunggu Shane pulang dari sekolah. Selalu mengenakan kaos merah dan celana kodok yang sama. Selalu pucat, tak peduli seberapa lama bocah-bocah itu bermain dibawah terik matahari. Selalu seperti malaikat.
Saat bocah itu makin akrab, ibuku jadi makin penasaran dengan keluarga Artie—yang, rupanya, tak nampak. Dia bercerita tentang Artie pada beberapa ibu muda di ujung jalan—wanita-wanita yang suka bergosip dan terlalu sibuk untuk mencari tau apapun mengenai siapapun. Namun tak seorangpun pernah melihat ataupun mendengar soal si bocah kecil, yang di telantarkan orangtuanya yang misterius.
Ibu benar-benar berharap, cepat atau lambat, seorang wanita berkulit pucat bermata biru dengan rambut pirang datang mengetuk pintu depan, terenyum lebar sambil menanyakan keberadaan anaknya. Mungkin saja dia mengenakan jumper jeans dan atasan berwarna merah.
Tapi wanita seperti itu tak pernah datang.
“Artie, apa kau ingin ku antar pulang malam ini?” Pada suatu hari Ibu bertanya dengan suara yang amat lembut, saat dia dan Shane sedang menata mobil mainan di ruang tengah.
Dia tersenyum dan menggeleng, “Terima kasih, Bu.”
“Apa kau yakin, sayang? Aku akan senang bertemu dengan ibumu. Memberitau dia bahwa anaknya tidak menghabiskan waktu dengan sekelompok orang gila.” Dia terkekeh.
Mata biru Artie mengerjap. Senyumnya menghilang.
“Tidak bisa, Bu.” Dia menggeleng kuat-kuat. “Ibuku sakit. Ia tak uka melihat orang lain.”
Lalu dia mengalihkan perhatiannya ke Shane dan mobil mainannya, menanggapi apapun soal ibunya atau soal mengantarnya pulang dengan gelengan kepala. Ibuku menyerah.
Lalu, hari demi hari, Shane mulai berubah.
Pertama, dia tak mau sentuh oleh ibuku. Ketika Ibu mengulurkan tangannya saat akan menyebrang ke parkiran sekolah, malas-malasan dia menyambutnya dengan ekspresi risih dan enggan. Tubuhnya akan menegang saat ibu melingkarkan tangannya kebahu bocah itu. Kerincingan kunci yang dulunya menarik Shane seperti panggilan kepada anjing kecil yang kesepian, kini hanya dia tanggapi dengan lirikan sekilas dan acuh.
Lalu, dia berhenti makan. Dia dan Artie duduk bersebelahan di meja makan, memainkan makanannya di piring, mengangkat garpu tanpa menyuapnya, melempar tatapan kosong satu sama lain saat mereka pikir ibu tak melihat. Ibu yakin Shane membuang bekalnya di sekolah. Kapanpun dia menawari Shane makanan, dia selalu menjawab, “Aku tak lapar, Bu.”
Akhirnya, dia berhenti bicara. Setelah makan malam, dia akan menyendiri di kamar untuk mengerjakan PR, dimana dia akan terus disana sampai Ibu mengetuk pintu kamar dan menyuruhnya mandi. Setelah selesai mandi dan mengenakan piyama, dia menutup pintu kamar, mematikan lampu dan tidur. Tidak ada cerita, tidak ada ciuman selamat malam. Dia hanya bicara saat merespon pertanyaan sesingkat mungkin. Saat libur, dia akan rebahan di kamar sampai menjelang siang, saat Artie datang berkunjung.
Cara Artie dan Shane berkomunikasi pun berubah dratis. Bocah-bocah itu tak lagi bermain di halaman atau saling kejar di dalam rumah. Alih-alih, mereka segera menjauh ke kamar Shane dan diam disana sepanjang siang dengan pintu tertutup. Saat Ibu memeriksa, dia melihat bocah-bocah itu duduk dengan tenang di atas ranjang. Kadang, saat dia mencuri dengar melalui pintu, dia mendengar benda-benda bergerak dan berdenting bersamaan, bisa jadi itu suara mobil-mobilan Shane. Tapi apapun yang mereka lakukan didalam sana, mereka lakukan dengan rapi. Saat Artie akan pamit pulang, kondisi kamar Shane persis sama seperti saat Shane belum pulang sekolah.
Ayahku berkata bahwa Shane hanya mengalami fase-fase pertumbuhan. Dan, lama-kelamaan, dia harus mempercayainya. Nenekku sakit. Dia hidup dengan diabetesnya selama beberapa tahun terakhir; lalu, tiba-tiba, dia mengalami gagal ginjal. Salah satu saudara pindah ke rumah nenek untuk menemaninya melakoni cuci darah, tapi Ibuku yang harus menanggung semua biaya beserta dokumen resmi dan asuransi kesehatannya.
Suatu hari, tertekan, lelah dan diserang sakit kepala, dia menyingkirkan setumpuk dokumen pensiun yang telah dia analisa di meja dapur. Mungkin lebih baik untuk memeriksa apa yang dua bocah itu lakukan. Saat dia sampai di pintu kamar Shane, dia mendengar suara kikikan tertahan. Dia dekatkan telinganya ke daun pintu.
“Komat-kamit... mungkin dia akan gila... terkikik terkikik terkikik.”
Suara itu benar suara Shane, tapi ibu tak tau apa yang sebenarnya dia ucapkan. Lalu Artie bicara.
“Komat-kamit... bukan berarti pergi selamanya, tapi... komat-kamit... tak akan ada seorangpun yang melihat... terkikik terkikik terkikik.”
Ibu bertumpu pada kaki kanannya. Lantai kayu kemudian berdecit. Suara-suara di balik pintu mendadak berhenti. Seperti seorang bocah yang kepergok diam-diam mengambil kue, dia buru-buru berlari menuju meja dapur dan membuat dirinya nampak sibuk. Pintu kamar Shane tak terbuka; dia lega. Tapi sesuatu mengenai apa yang dia dengar membuatnya tak nyaman.
Isi percakapan mereka yang aneh yang membuatnya seperti itu. Terlebih lagi dia tak mengerti sebagian besar yang mereka ucapkan, padahal jarak mereka hanya beberapa kaki saja.
Tapi yang paling mengganggu adalah fakta bahwa dia yakin telah mendengar lebih dari dua suara.
Malam itu, dia menunggu sampai Artie keluar pintu, lalu mencoba berbicara dengan anaknya. Dia menghadang Shane di koridor antara dapur dan kamarnya.
“Shane, sayang...” ucapnya lembut, “Apa yang kau bicarakan dengan Artie?”
Dia menoleh dan mengangkat bahu, “Sesuatu.”
“Aku tau.” Katanya, sedikit memaksa, “Sesuatu apa?”
“Tempat yang dia suka kunjungi.”
“Oh,” Ibu tersenyum, “Seperti Chuck-e-Cheese? Atau McDonald’s?”
Shane menggeleng, “Tidak. Tempat spesial. Ada anak lain disana. Dia akan mengajakku kesana segera.”
“Oh, baiklah.”
Ibu tak tau bagaimana haru merespon. Selesai berbincang, Shane masuk ke kamar dan menutup pintunya. Ada yang aneh dari caranya berucap. ‘Dia akan mengajakku kesana segera’. Bukannya ‘Bisakah kami pergi kesana?’ seolah-seolah dia tak punya pilihan selain pergi dan seolah-olah ibu tak punya pilihan selain mengiyakan.
Malam berikutnya, Ibu ada pekerjaan di pemakaman. Artie pamit sekitar jam 7 malam, saat itu Ibu sedang mengepang rambut dan mengambil kunci mobilnya. Dengan sengaja mengawasi bocah kecil dengan pakaian merah dan biru itu keluar dari pintu.
Kemudian dia memutuskan untuk menguntitnya diam-diam.
Ibu menunggu hingga ada jarak beberapa meter antara dirinya dan Artie, sengaja membuat beberapa mobil mendahuluinya. Menuju ke timur, dimana terdapat jalan buntu. Lalu, dia menginjak gas dengan lampu mobil yang dimatikan, menyetir amat pelan, fokus pada bocah lelaki dengan rambut pirangnya yan berayun-ayun. Dia sampai di jalan buntu. Ibu mengerem. Artie terus berjalan, mengitari trotoar lingkar, lalu berajalan terus ke barat. Aneh, pikir Ibu. Kenapa dia tidak langsung saja menyeberang jalan di depan rumahnya?
Lalu Artie berhenti. Dia menoleh dan melihat mobil Ibu, lalu melihat tepat di matanya. Terkejut. Ibu melepas pedal rem dan membiarkan mobilnya melaju ke depan. Di wajah serupa malaikatnya, kata Ibu, tergambar ekspresi paling penuh kebencian yang pernah dia lihat.
Artie membuang muka dan langsung berjalan menuju rumah di depannya—rumah kecil berwarna putih dengan halaman berantakan dan garasi yang kosong. Pintunya dikelilingi oleh dinding yang gelap, Ibuku tak bisa melihat dengan jelas dari mobil. Artie berjalan menuju pintu dan ditelan oleh kegelapan. Ibuku berasumsi bahwa Artie masuk kesana tapi tak satupun lampu yang dinyalakan.
Dia mempertimbangkan untuk masuk kesana. Bagaimanapun kondisi kehidupannya dengan ibunya yang misterius, itu jelas tidak ideal untuk anak kecil. Dia pulang sehabis gelap, menuju rumah yang kosong dan gelap. Tapi ada sesuatu mengenai tatapan Artie.  Tatapan yang hambar dan kasar. Dia merasa mual jika memikirkannya. Jadi dia berbalik dan pergi bekerja. Sampai di parkiran rumah sakit, dia baru sadar lengannya merinding dan tangannya di kemudi begitu pucat.
Setelah sejam bekerja, Ibu dapat telpon dari saudaranya. Kulit disekitar pipa untuk memasukkan cairan di tubuh Ibunya nampak makin memerah dan lebam selama dua hari. Awalnya dia pikir itu hanya ruam, namun malam itu bibiku mendapati nenek tak bergerak di atas lantai. Dia dibawa ke rumah sakit lain di kota itu. Kemudian dengan ambulan, nenek dimasukkan ke UGD, namun detak jantung nenek datar. Dia mengalami keracunan darah.
Kata Ibuku, itu hanya kebetulan, nampaknya nenek ambruk tepat saat Artie memberinya tatapan mengerikan itu.

Tidak ada komentar: