THE
SANDMAN
(Manusia
Pasir)
Credit
: Tam Lin
Originally
Translated by : RainiLa
“Those who dream by day are cognizant
of many things that escape those who dream only at night.”
“Mereka
yang bermimpi di siang hari menyadari banyak hal yang terlewatkan daripada
mereka yang hanya bermimpi di malam hari.”
Edgar Allen Poe. “Eleanora”
***
“Pergi
tidur dan tunggu si manusia pasir.”
Bahkan
kalimat itu terdengar aneh baginya, dia sendiri tak yakin
kenapa berkata demikian, namun toh berhasil membuat Daniel pergi tidur.
Esoknya,
Daniel bertanya:
“Bagaimana
wujud si manusia pasir?”
James
membuat sarapan. Daniel duduk di kursi, kaki kecilnya berayun-ayun dibawahnya.
“Tak ada, sungguh.” Jawab James. “Cuma sebuah ekspresi.”
“Maksudnya?”
“Itu
yang orang-orang katakan.” Dia oper piring dengan telur diatasnya pada
Daniel dan mencium kening bocah itu. Dia pikir, inilah akhir percakapan soal si manusia
pasir.
Hanya
sampai dia melihat sendiri wujud si manusia pasir.
Dia
bersiap tidur dan berhenti di kamar Daniel untuk memeriksa sementara Daniel
tertidur pulas, seperti yang sering dia lakukan. Sesaat kemudian, dia melihat sosok manusia
telanjang dan pucat duduk di ujung ranjang Daniel, tubuhnya terayun-ayun, butuh
beberapa saat bagi James untuk mencerna apa yang tengah dia lihat.
Dia
bereaksi sebagaimana seorang Ayah pada umumnya: dia lari memasuki kamar Daniel, berteriak,
sesaat terpikir untuk menyerang si penyusup, namun kemudian penyusup itu
berbalik, itulah saat James menyadari bahwa yang dia hadapi bukanlah manusia:
dia makhluk dengan tubuh pucat dan melata, tak berbulu dan bungkuk, sendinya
tertekuk dengan arah yang salah dan
tubuhnya nampak ganjil. Saat ia bergerak, tubuhnya seperti boneka kayu
gila yang menari di panggung.
James
beku. Makhluk aneh itu melihatnya. James merasakan hangat dikakinya sampai dia
menyadari telah kencing di celana. Diamatinya makhluk ganjil yang duduk satu kaki
darinya, hanya karena ingat Daniel masih di ranjang, keberanian untuk bergerak tiba-tiba datang entah dari mana. dia angkat tubuh Daniel dan segera lari. Di ruang tengah,
dia menoleh ke belakang, memeriksa kalau-kalau makhluk itu mengikutinya, namun ternyata tidak.
Sejenak, makhluk itu melihat James dan Daniel lalu bergerak seperti mimpi buruk
dalam gerakan lambat, dia merambat ke jendela dan melompat keluar, menyisakan
ayunan tirai yang menandai kepergiannya.
James
kesulitan berbicara pada Polisi. Dia melaporkan adanya penyusupan, tapi tak tau harus
bilang apa saat diminta untuk mendeskripsikan sang penyusup. Bagaimana caranya menjelaskan
soal makhluk yang dia lihat pada lelaki biasa berseragam biru yang tengah duduk
di dapur sementara dua partner-nya memeriksa seantero rumah? Bahkan dia sendiri
pun tak mengerti makhluk apa itu.
Lebih
buruk lagi, ingatan Daniel berbeda dengan James; dia menggambarkan sesosok
maling biasa. “Manusia bertopeng,” Katanya. James berpikir, apa makhluk itu
bertopeng? Tidak, pastinya dia memakai full-kostum rumit, yang biasa dipakai
untuk sebuah film. Dan hal itu tak menjelaskan caranya bergerak...
Namun
pada akhirnya, dia menirukan kesaksian anaknya: “Manusia bertopeng,” Katanya.
“Maling.” Kebohongan itu membuatnya tak nyaman, seperti kejadian barusan.
Dokter
bilang Daniel tak terluka dan tak menunjukkan adanya bekas penganiayaan. James lega.
Mereka tinggal di motel selama dua malam sampai mereka siap untuk pulang, lalu
James memasang sistem keamanan lengkap dengan palang penghalang di jendela.
Sebetulnya dia tak suka ide ini, namun setidaknya ini yang bisa dia lakukan.
James
takut dengan malam pertamanya di rumah, namun anehnya, tidak demikian dengam Daniel. Saat
ditanya apa dia akan baik-baik saja jika tidur sendirian, dia jawab ‘ya’.
Kenyataannya, James lah yang takut tidur sendirian. Ia terjaga semalaman,
mendengar suara apapun yang bergerak di dalam rumah. Meski menyakinkan diri
sendiri bahwa ingatannya salah dan itu hanya manusia (walau sebenarnya sangat
ganjil dan mengganggu) normal di dalam kamar anaknya, saat dia menutup mata
sejenak, terbayang sosok berdarah dingin dengan wajah ganjil dan aneh. Dia
bertanya-tanya, kenapa rumahku? Kenapa keluargaku? Tentu dia tau bahwa tak ada
alasan tertentu, tapi tetap saja dia heran.
Dua
minggu kemudian Daniel berhenti bicara. Awalnya James tak menyadari; kadang
anak-anak mengalami masa-masa diam. Tapi segera dia mengajak Daniel bicara dan
Daniel tidak mau. Jelas bukan tak mau, namun tak bisa.
Mereka
kembali ke dokter. Tak ada yang salah dengan Daniel, di diagnosisnya. Apa ini
semacam trauma? Tanya James. Bisa jadi, jawab mereka. Kadang masa itu datang
terlambat, anak-anak bisa jadi misteri bahkan untuk mereka yang terdekat sekalipun.
Mereka menyarankan James pergi ke psikolog anak, sesuatu yang tak bisa James
usahakan. Apalagi biayanya.
Tampaknya
tak ada yang bisa membantu. Kadang, Daniel menulis jawaban dari pertanyaan
James, namun tak pernah lebih dari ‘ya’ dan ‘tidak’. Saat james bertanya apa
ada yang salah atau mungkin dia mendengar atau melihat sesuatu yang mengerikan,
Daniel hanya menatap diam. Dia sangat membingungkan dan misterius. James
merindukan suara anaknya. Kadang dia sangat ingin mendengarnya. Namun nampaknya
Daniel tak akan bicara sampai dia siap.
James
punya hal lain untuk dikahwatirkan, juga. Dia yakin—entah bagaimana—bahwa si
penyusup tidak benar-benar pergi. Walaupun alarm tak pernah mati ataupun kunci dan palang penghalang masih utuh, dia yakin mendengar sesuatu bergerak saat
malam. Bukan gerakan biasa: seperti suara ular besar yang merayap di dalam
rumah. Ketika mendengarnya, dia membayangkan hal mengerikan. Tak ada apapun di
rumah saat di periksa, namun seringkali dia merasa ada sekelebat sosok di ujung
matanya; sebuah kaki pucat atau bayangan ganjil yang menghilang segera saat dia
menoleh.
Dia
jarang tidur, dan saat dia tidur, dia mimpi buruk.
Segera
dia sadar, dia sama sekali tak meninggalkan rumah selama seminggu, kecuali untuk
pergi ke bank dan membeli keperluan dapur. Dia merasa terasing. Dengan Daniel
yang diam, dia tak pernah benar-benar ngobrol dengan siapapun selama seminggu,
jadi dia menelpon ibunya. Jaringan jelek dan suaranya terdengar samar, hampir
tak terdengar. “Ku pikir aku baik-baik saja, Ma,” Katanya, diam sesaat menyeka
keringat dari tangan dan memastikan dia bisa mendengar Daniel bermain di ruang
sebelah. “Tapi agak sedikit buruk disini, rumah kami disusup.”
“Oh,
buruk sekali!” Kata Mama. “Apa mereka mengambil sesuatu?”
“Nah.
Langsung kabur. Ini aneh. Sejak saat itu aku tak pernah merasa tenang.”
“Apa
kau masih kerja di rumah sakit?”
“Tidak,
Ma. Aku mengundurkan diri tahun lalu, kau tau itu.”
“Oh,
begitu. Bagaimana dengan wanita yang kau lihat taun lalu, yang bermain piano?”
Jack
gusar. Dia selalu menanyakan hal yang sama. bukankah dia tau bagaimana rasanya
jadi duda dengan satu anak? Bahwa dia tak punya waktu? Dia ingin berkata
begitu hingga sesuatu membuatnya diam.
“Ma,
apa ada orang di saluran lain?”
“Sepertinya
tidak.”
James
yakin dia mendengar sesuatu; suara
hembusan napas pendek dari seseorang yang gagal menahan napasnya. Bulu kuduknya
merinding. “Kau yakin tak ada yang menggunakan telponmu yang lain?”
“Sayang,
tak ada telpon yang lain, aku pakai handphone, makanya jaringannya jelek.”
“Lalu
siapa—“ James berhenti. Jika suara itu tak berasal dari ibunya, maka...
Dia
menutup telpon dan melesat ke ruang tengah. Telponnya di saluran yang lain
nampak masih utuh tak tersentuh. Jantungnya berdetak tak karuan. Dia lari ke
garasi; telpon cadangan masih di atas meja. tak ada siapapun disana. Tapi
dimana mereka? Mungkinkah seseorang disini seharian, mendengarkan panggilan
telponnya, dan lalu menyelinap keluar? mungkinkah mereka ada disini sekarang?
Besoknya,
dia mencabut telpon cadangan. Dia bahkan menambal colokan dengan semen karet.
Daniel melihat apa yang dia lakukan, penasaran, tapi James tak memberi
penjelasan.
Dia
mulai memberi Daniel latihan fisik ringan tiap minggu. Peralatan CNA-nya
berkarat setelah setahun tak digunakan, tapi kau tak bisa melupakannya begitu saja. Ini hal
aneh untuk dilakukan; walaupun memang
ada penyebab fisik soal tingkah laku Daniel, dia tetap tak bisa menyembuhkan
Daniel dengan cara ini. di tingkat tertentu dia sadar bahwa ini merupakan bentuk pemaksaan terhadap anak. Bagaimanapun juga dia merasa lebih baik.
Suatu
pagi, James menempelkan stetoskop ke dada Daniel, tapi dia tak bisa menemukan
letak jantungnya—juga detaknya. Dia pindah ke titik yang lain, nihil. Lalu, untuk mengecek, dia periksa sendiri
jantungnya; jelas dan mantap. Tapi saat dia mencoba ke dada Daniel lagi, dia
tak mendengar apapun. Hal itu mengingatkannya pada Si Manusia Timah (Tin Man) di
“The Wizad of Oz,” yang dadanya kosong seperti ceret.
Rasa
mual menjalar di perutnya. Dia melempar stetoskop lalu mencengkeram bahu
Daniel,dan melihat wajah anak itu. Daniel menatap balik dengan matanya yang
jernih. Bahkan tersenyum kecil dengan ujung bibirnya. Air mata James mengalir.
Dia rengkuh anaknya dan memeluknya, dan Daniel membalas pelukannya. Tak berapa
lama, James melepaskan Daniel, dan menyuruhnya bermain. Soal stetoskop, dia
yakin, sudah rusak, jadi dia membuangnya ke tempat sampah.
Keadaan
bertambah buruk. Kengerian James mulai menggerogoti malam-malamnya. Sekarang, suara-suara gesekan mengerikan yang misterius dari beberapa sisi
gelap rumah menghantui hari-harinya. Ukuran rumah yang sangat besar mulai membebaninya: ada banyak ruang yang jarang ia singgahi, begitu banyak
tempat hingga seseorang—atau sesuatu—bisa saja berada disana. Dia membayangkan sosok
aneh mendiami sisi rumah saat dia tak disana, melebur dengan dinding atau bersembunyi dalam bayangan
kapanpun dia menyalakan lampu atau membuka pintu. Bagaimana dia tau bahwa
mereka disana? bagaimana dia bisa tau?
Setelahnya,
dia bahkan tak perlu keluar kamar untuk membayangkannya. Ketika dia menaiki
tangga, terbayang sosok pucat tersembunyi diantara mereka. Saat dia turun ke
ruang tengah, terbayang sosok melata merayap dibalik dinding, membayangi tiap
langkahnya. Jika dia terlalu lama duduk di satu kursi, terbayang sosok itu
berdiri tepat dibelakangnya. Dan dia tak pernah nyaman saat dia berbalik dan
tak menemukan apapun disana, seolah dia hanya bisa menebak bahwa makhluk itu
telah berpindah tempat diam-diam, dibelakangnya, lagi. Dimanapun titik yang tak
dia lihat, terbayang mahkluk itu disana.
Kewarasannya
hilang, dia tau itu. satu-satunya hal yang membantunya tetap sadar adalah
kenyataan bahwa Daniel nampak baik-baik saja. Selain diamnya, dia normal. Dan
kapanpun dia merasa Ayahnya tak baik-baik saja, dia akan memeluknya, atau
menggenggam tangannya, bahkan tersenyum. Kadang, saat dia meninggalkan kamar,
James menangis.
Suatu
malam, James berkeliling rumah tanpa pencahayaan tepat jam 2 pagi. Jika si
penyusup mengganggu aktivitasnya pada siang hari, maka dia harus membalas
dendam; saat malam hari. Sejujurnya, malam tak terlalu menakutkan baginya,
dibandingkan siang. sangat berkebalikan.
Dia
bertelanjang kaki menuju ruang tengah, lalu ke lantai atas, keluar masuk ruang
tak terpakai. Kadang dia berhenti untuk mendengar sesuatu, berharap menemukan
makhluk itu dari suaranya; itu suara si makhluk misterius, dia tau itu, namun
beberapa kali suaranya terdengar kikuk, dan makhluk itu tak selalu menimbulkan
suara yang sama. Bunyi atau gerakan sekecil apapun akan membuatnya lari...
Ada
satu ruangan—yang dia duga—ditempati makhluk itu: kamar
tambahan. Bukan benar-benar kamar, lebih seperti lemari dinding yang cukup
lebar untuk ditempati satu ranjang, jika ditempatkan miring. Lemari itu tak di
cat, tidak ada karpet dan berdebu; dia bermaksud memperbaikinya. Dia jarang
kesini karena keadannya yang kosong dan tak terpakai, mengingatkannya akan ruang
bedah mayat.
Bagaimanapun
juga, dia masuk. Jika makhluk itu membuat sarang di suatu tempat di rumah ini;
pasti disini tempatnya. Namun, tak ada apapun disana sekarang... tapi bukan
berarti benar-benar tak ada apapun disana.
Dia
mengutuk, mengacak-acak rambutnya yang berkeringat. Apa yang salah? bagaimana
makhluk itu bersembunyi darinya? Apa rahasia makhluk itu? dia amati semua titik
kosong ruangan satu persatu, mendekatkan wajahnya beberapa inci dari dinding
dan lantai sehingga dia yakin—yakin!—tak ada celah bagi makhluk itu untuk kabur.
Bohlam
berkedip-kedip. Dia membeku. Tuhan, batinnya...makhluk itu di langit-langit!
Terbayang makhluk itu berada diatasnya seperti kadal pucat besar. Itulah cara
dia berpindah-pindah—pikirnya—itulah cara dia melepaskan diri saat dia terpojok
olehku, dia merangkak di dinding dan bersembunyi diatas kepalaku! James
membayangkan makhluk itu berayun di belakangnya seperti laba-laba. Jika aku
berbalik—batinnya—dia akan disana, tergantung dengan wajahnya tepat
disampingku. James menahan napas. Dia tak ingin berbalik, tapi dia tak punya
pilihan lain; makhluk itu berada diantara dirinya dan pintu keluar.
Dengan
isakan tertahan, dia mulai berbalik.
Namun,
dia sendirian. Tidak ada manusia di langit-langit; dia sudah memeriksanya
dua kali. Mungkin, makhluk itu merangkak keluar dan sedang menunggunya di ruang
tengah...namun saat dia meluncur kesana, tak ada siapapun. Seharusnya dia lega,
tapi tidak. Seharusnya dia berada disuatu tempat di rumah ini. Jika bukan di
langit-langit, pasti ada trik lain yang lebih aneh dan lebih cerdas...
Dia
melesat ke kamar Daniel. Dia tak pernah berhenti memeriksa Daniel tiap malam,
seperti biasa. Malam ini, entah kenapa, alih-alih membuka pintu, ia mencoba
mendengar lebih dulu, ditempelkannya telinga ke gurat-gurat kayu murah dan menahan
napasnya. Khawatir jika dia mendengar suara ngeri dari balik pintu ini. Apa
yang dia dengar bahkan lebih mengejutkan dari itu:
Daniel
sedang berbicara dengan seseorang.
James
terkejut, mengambil nafas, lalu menendang pintu kamar Daniel. Daniel sudah terjaga,
duduk di atas ranjang, tapi tak mengatakan apapun sekarang. Lampu menyala,
James berjalan ke tengah ruangan sebelum akhirnya berhenti, tiba-tiba bergumam:
apa yang lebih diinginkannya, menegaskan bahwa anaknya bisa bicara lagi atau
menemukan siapapun yang berbicara dengannya?
Derit
engsel pintu menganggunya. Segera dia lari menuju lemari dan membukanya: tak ada
apapun didalam, setidaknya, tidak ada apapun yang tak seharusnya ada disana. dDisibaknya helai-helai pakaian di gantungan, tapi tak ada apapun disana lalu dia
menarik kotak mainan dan mengeluarkan isinya ke lantai: tak ada apapun. Dia
menyisir dinding, lantai, dan tentunya langit-langit, memeriksa tempat sampah
dan kotak perhiasan sehingga dia yakin bahwa tak ada apapun yang bersembunyi.
Selama
itu Daniel mengamatinya.
Setelah
beberapa menit, James nampak berkeringat dan nafasnya terengah-engah. Lemari
Daniel kosong dan tak ada penyusup ataupun jawaban di dalamnya. Hal itu
membuatnya terlihat konyol, dia mulai tertawa pelan. Dia tendang mainan anaknya
saat dia berjalan menuju ranjang. Saat itu juga dia menjadi sadar—akan beberapa hal—pertama, dia tidak tidur selama berhari-hari dan itu yang membuatnya tak bisa berpikir jernih. Kedua, nyaris saja dia benar-benar
kehilangan kewarasannya.
Besok—dia
memutuskan—mereka berdua akan tidur sampai sore, dan saat bangun, dia dan
Daniel akan pergi dari rumah tua ini. Tidak lagi hidup terpenjara seperti
tahanan, tak ada lagi check-up, dan tidak ada lagi mimpi mengenai monster. Dia
bahkan akan membongkar papan penghalang dari jendela. Saatnya kembali hidup
seperti orang normal. Ini saatnya untuk—
James
melihatnya saat mengusap-usap rambut Daniel. Ditariknya tubuh Daniel (agak
kasar). Daniel tak berontak saat James mengelus sisi kepalanya, seakan berharap
yang dia lihat tidaklah nyata. Dipandangnya lagi dan lagi sampai tak berkedip,
tapi tak merubah apa yang ada di depan matanya:
Daniel
kehilangan sebelah telinganya.
Tidak,
bahkan dengan mual dia menyadari: Daniel kehilangan kedua telinganya. Tak ada
bekas luka, tak ada bekas irisan, tak ada bekas dimana telinga itu seharusnya
berada, halus, hanya daging yang kosong, sekosong kediaman Daniel.
James
menggendong Daniel dan berlari menuju ruang tengah. Tak yakin kemana harus
pergi atau apa yang harus dilakukan saat sampai disana, dia hanya tau tak ada
yang lebih penting daripada membawa anaknya keluar dari rumah itu. Namun
langkahnya terhenti: Si manusia telanjang duduk di lorong, membelakanginya. Bukan,
bukan manusia: James mengenali tungkainya yang panjang dan bahunya yang
bungkuk. Makhluk pucat itu berjongkok, membungkuk, seperti orang cacat. Nyaris
dengan posisi yang membuat ngilu. James memeluk anaknya lebih erat dan mundur ke
belakang. Lalu dia dengar suara Daniel: “A-yah.”
James
melihat Daniel, dan mendengar suara itu lagi.
“A-yah.”
Tapi
bibir Daniel tak bergerak.
James
melihat sosok bungkuk itu lagi. Kepalanya tersentak saat dia berbicara. Seperti
ayan:
“Hai,
A-yah.”
Mulut
James mendadak kering. Butuh beberapa saat sampai dia mampu bicara. “Jangan
panggil aku seperti itu.”
“Itu. Panggilanmu. Dari. Suara ini.”
“Pergi.
jangan ganggu keluarga kami.”
“Tapi
aku. keluargamu.”
Makin
lama makhluk itu bicara, makin samar terdengar. Rasa mual merambati perut
James. “Siapa kau?”
“Tamu.
Datang berkunjung.”
“Kenapa
kesini?”
“Kau.
Mengundangku.”
Jantung
James berdetak tak karuan di dalam dadanya. “Kenapa?”
“Aku
punya. Sesuatu yang kau inginkan.”
James
menjilat bibirnya yang kering. “Kau bohong. Kau tak punya apapun yang ku
inginkan. Aku ingin kau pergi. pergi, dan jangan pernah kembali.”
“Siapa.
Ibu. Daniel?”
James tersentak. “Apa?”
“Siapa.
Ibu. Daniel?”
“Pertanyaan
macam apa itu?”
James tersentak
sekali lagi. Suara makhluk itu menimbulkan nyeri di keningnya. “Berhenti menanyakan
hal itu.”
“Kapan.
Ulang tahun. Daniel?”
“...aku
tak tau.”
“Apa.
Nama tengah. Daniel?”
“Diam.”
“Apa.
Kata. Pertama. Daniel?”
“Diam,
kataku!” James ingin merobek tubuh makhluk itu dengan tangan kosong. Hanya
berat tubuh Daniel yang menyadarkan posisinya sekarang.
“Kau.
Kesepian. Kau ingin. Anak laki-laki. Jadi. Aku membuat satu. Untukmu.”
Tangan
James mulai gemetar. “Tidak masuk akal. Dibuat dari apa?”
“Dari.
Tubuhku.”
Perut
James mual lagi.
“Tapi
sekarang. Aku ingin bagian itu. Kembali.”
Daniel
menepuk bahu James untuk mendapatkan perhatiannya. Ada sesuatu yang aneh
mengenai wajah Daniel. “Danny? Buka matamu.”
Daniel
menutup matanya lebih rapat lagi.
“Buka
matamu. Danny? Danny. Buka matamu. Buka matamu!”
Daniel
menggeleng, mencoba menolak, tapi dia tak bisa menahan lebih lama lagi. segera
kelopak matanya terbuka dan James melihatnya.
Bola
mata Daniel hilang.
James
hampir menjatuhkan tubuh Daniel. Sejenak dia ingin melempar tubuh anaknya
hingga dia bisa berhenti melihat dua lubang di wajah anaknya. Daniel membuka
mulutnya, seolah ingin bicara, tapi tentu saja, dia tak punya suara.
“Dia
kembali. Jadi bagian diriku. Lagi.”
“Tidak.
Tidak, tidak, tidak, kembalikan dia padaku, kembalikan!”
“Aku.
Tak bisa. Terlalu lama. Aku memperingatkanmu. Hal ini. Akan terjadi.”
“Kau
bohong! Kau bohong, dasar kau pembohong sialan, kembalikan anakku padaku,
kembalikan!”
“Aku.
Tidak bohong. Aku. Memperingatkanmu. Dia tak bisa hidup selamanya. Tapi kau.
Tidak ingat. Kau. Hanya bisa ingat. Apa yang aku kehendaki. Kau lupa. Tiap
kali. Kita berbincang.”
Daniel
terasa seperti boneka, atau tas kosong. Rambutnya rontok berjatuhan, hilang
sebelum sempat menyentuh lantai. Tangannya hilang ke dalam lengan bajunya dan
kakinya tergulung ke dalam celananya. James mengayunkan makhluk kecil tak berbentuk
itu. Air mata mengalir di pipinya. Tak lama hanya ada pakaian kosong di gendongannya, dan kemudian hilang.
Dia
melihat sekitar; mainan menghilang, foto menghilang dari frame, sepatu kecil
Daniel tak lagi ada di samping pintu. James kembali menuju kamar Daniel dan berhadapan
dengan dinding dimana pintu kamar Daniel harusnya berada. Dia meraba dinding
kosong, ujung jarinya gemetar. Dia bentur-benturkan kepalanya ke dinding. Rasa
sakit ini seperti mimpi. “Kenapa kau lakukan ini?”
“Ini.
Yang kau ingin. Dan aku belajar. Banyak.”
“Tidak
mungkin. Orang-orang akan bertanya, orang-orang akan curiga: polisi, rumah
sakit, tetangga!”
“Mereka.
Sudah. Melupakannya. Mereka hanya. Ingat. Apa yang aku kehendaki. Sepertimu.”
James
meremas kepalanya yang pening, “Akankah, setidaknya, aku mengingatnya setelah
ini?”
“Kau.
Bisa mencoba. Tapi pikiranmu. Menggagalkanmu. Sekarang semua. Bagian dirinya.
Jadi bagian diriku. Lagi.”
James
duduk di lantai, mengamati permukaan dinding kosong dimana pintu Daniel sebelumnya berada. Di ujung mata, dia melihat makhluk
itu mendekatinya dan merasakan tangan berlendir itu menyentuh bahunya, namun
dia tak berpaling ke arahnya.
“Jika
aku tak mengingat apapun tentang hal ini.” Katanya. “Lalu kenapa kau
memberitauku?”
“Karena.
Seorang ayah. Harus tau”
Dan
lalu, James sendirian.
***
Kadang,
Abigail khawatir dengan keadaan James.
Saat
mereka bertemu setahun yang lalu, dia bilang dia tidak pernah menikah dan tak
pernah punya anak, namun ada semacam ekspresi terluka saat dia mengatakan
kalimat terakhir. Abigail tau ekspresi macam apa itu. Abigail, beberapa kali, pernah bertemu
orang tua yang kehilangan anaknya. Kau akan belajar mengenali ekspresi itu.
Dan
ada hal lain tentang James yang membuatnya khawatir, juga. Kadang dia memergoki
James memandangi bagian dinding tertentu, alisnya berkerut penuh konsentrasi, berusaha mencari sesuatu. Namun,
nampaknya James tak menyadari apa yang dia lakukan. Dan lagi, soal insomnia,
dan kebiasaan berjalan saat tidur juga. Ya, banyak hal yang dia khawatirkan.
Tapi, cintanya pada James tak pernah berubah.
James
masih saja berkata dia tak pernah punya anak, dan Abigail juga tidak pernah.
Abigail ingin, tapi tak mungkin, dan dia khawatir James tak akan mau hidup
bersama wanita yang tak bisa jadi ibu (walaupun James berkata dia tidak seperti
itu). Ada saat-saat—seringkali dan lebih sering lagi-dimana James tidur sambil
berjalan. Bahkan, saat Abigail berpikir
dia akan melakukan apapun—benar-benar apapun—agar dia bisa mempunyai anak
perempuan bagi dia dan James untuk dirawat, Abigail seolah-olah mendengar suara berisik dan aneh di dalam
rumah dan melihat sosok ganjil di sudut-sudut gelap ruangan.
Dan
saat itu, dia benar-benar ketakutan. Tapi tak pernah tau mengapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar