Sabtu, 03 Oktober 2015

[cerita terjemah] The Sandman



THE SANDMAN
(Manusia Pasir)
Credit : Tam Lin
Originally Translated by : RainiLa

“Those who dream by day are cognizant of many things that escape those who dream only at night.”
“Mereka yang bermimpi di siang hari menyadari banyak hal yang terlewatkan daripada mereka yang hanya bermimpi di malam hari.”
Edgar Allen Poe. “Eleanora”

***

“Pergi tidur dan tunggu si manusia pasir.”
Bahkan kalimat itu terdengar aneh baginya, dia sendiri tak yakin kenapa berkata demikian, namun toh berhasil membuat Daniel pergi tidur.
Esoknya, Daniel bertanya:
“Bagaimana wujud si manusia pasir?”
James membuat sarapan. Daniel duduk di kursi, kaki kecilnya berayun-ayun dibawahnya. “Tak ada, sungguh.” Jawab James. “Cuma sebuah ekspresi.”
“Maksudnya?”
“Itu yang orang-orang katakan.” Dia oper piring dengan telur diatasnya pada Daniel dan mencium kening bocah itu. Dia pikir, inilah akhir percakapan soal si manusia pasir.
Hanya sampai dia melihat sendiri wujud si manusia pasir.
Dia bersiap tidur dan berhenti di kamar Daniel untuk memeriksa sementara Daniel tertidur pulas, seperti yang sering dia lakukan. Sesaat kemudian, dia melihat sosok manusia telanjang dan pucat duduk di ujung ranjang Daniel, tubuhnya terayun-ayun, butuh beberapa saat bagi James untuk mencerna apa yang tengah dia lihat.
Dia bereaksi sebagaimana seorang Ayah pada umumnya: dia lari memasuki kamar Daniel, berteriak, sesaat terpikir untuk menyerang si penyusup, namun kemudian penyusup itu berbalik, itulah saat James menyadari bahwa yang dia hadapi bukanlah manusia: dia makhluk dengan tubuh pucat dan melata, tak berbulu dan bungkuk, sendinya tertekuk dengan arah yang salah dan  tubuhnya nampak ganjil. Saat ia bergerak, tubuhnya seperti boneka kayu gila yang menari di panggung.
James beku. Makhluk aneh itu melihatnya. James merasakan hangat dikakinya sampai dia menyadari telah kencing di celana. Diamatinya makhluk ganjil yang duduk satu kaki darinya, hanya karena ingat Daniel masih di ranjang, keberanian untuk bergerak tiba-tiba datang entah dari mana. dia angkat tubuh Daniel dan segera lari. Di ruang tengah, dia menoleh ke belakang, memeriksa kalau-kalau makhluk itu mengikutinya, namun ternyata tidak. Sejenak, makhluk itu melihat James dan Daniel lalu bergerak seperti mimpi buruk dalam gerakan lambat, dia merambat ke jendela dan melompat keluar, menyisakan ayunan tirai yang menandai kepergiannya.
James kesulitan berbicara pada Polisi. Dia melaporkan adanya penyusupan, tapi tak tau harus bilang apa saat diminta untuk mendeskripsikan sang penyusup. Bagaimana caranya menjelaskan soal makhluk yang dia lihat pada lelaki biasa berseragam biru yang tengah duduk di dapur sementara dua partner-nya memeriksa seantero rumah? Bahkan dia sendiri pun tak mengerti makhluk apa itu.
Lebih buruk lagi, ingatan Daniel berbeda dengan James; dia menggambarkan sesosok maling biasa. “Manusia bertopeng,” Katanya. James berpikir, apa makhluk itu bertopeng? Tidak, pastinya dia memakai full-kostum rumit, yang biasa dipakai untuk sebuah film. Dan hal itu tak menjelaskan caranya bergerak...
Namun pada akhirnya, dia menirukan kesaksian anaknya: “Manusia bertopeng,” Katanya. “Maling.” Kebohongan itu membuatnya tak nyaman, seperti kejadian barusan.
Dokter bilang Daniel tak terluka dan tak menunjukkan adanya bekas penganiayaan. James lega. Mereka tinggal di motel selama dua malam sampai mereka siap untuk pulang, lalu James memasang sistem keamanan lengkap dengan palang penghalang di jendela. Sebetulnya dia tak suka ide ini, namun setidaknya ini yang bisa dia lakukan.
James takut dengan malam pertamanya di rumah, namun anehnya, tidak demikian dengam Daniel. Saat ditanya apa dia akan baik-baik saja jika tidur sendirian, dia jawab ‘ya’. Kenyataannya, James lah yang takut tidur sendirian. Ia terjaga semalaman, mendengar suara apapun yang bergerak di dalam rumah. Meski menyakinkan diri sendiri bahwa ingatannya salah dan itu hanya manusia (walau sebenarnya sangat ganjil dan mengganggu) normal di dalam kamar anaknya, saat dia menutup mata sejenak, terbayang sosok berdarah dingin dengan wajah ganjil dan aneh. Dia bertanya-tanya, kenapa rumahku? Kenapa keluargaku? Tentu dia tau bahwa tak ada alasan tertentu, tapi tetap saja dia heran.
Dua minggu kemudian Daniel berhenti bicara. Awalnya James tak menyadari; kadang anak-anak mengalami masa-masa diam. Tapi segera dia mengajak Daniel bicara dan Daniel tidak mau. Jelas bukan tak mau, namun tak bisa.
Mereka kembali ke dokter. Tak ada yang salah dengan Daniel, di diagnosisnya. Apa ini semacam trauma? Tanya James. Bisa jadi, jawab mereka. Kadang masa itu datang terlambat, anak-anak bisa jadi misteri bahkan untuk mereka yang terdekat sekalipun. Mereka menyarankan James pergi ke psikolog anak, sesuatu yang tak bisa James usahakan. Apalagi biayanya.
Tampaknya tak ada yang bisa membantu. Kadang, Daniel menulis jawaban dari pertanyaan James, namun tak pernah lebih dari ‘ya’ dan ‘tidak’. Saat james bertanya apa ada yang salah atau mungkin dia mendengar atau melihat sesuatu yang mengerikan, Daniel hanya menatap diam. Dia sangat membingungkan dan misterius. James merindukan suara anaknya. Kadang dia sangat ingin mendengarnya. Namun nampaknya Daniel tak akan bicara sampai dia siap.
James punya hal lain untuk dikahwatirkan, juga. Dia yakin—entah bagaimana—bahwa si penyusup tidak benar-benar pergi. Walaupun alarm tak pernah mati ataupun kunci dan palang penghalang masih utuh, dia yakin mendengar sesuatu bergerak saat malam. Bukan gerakan biasa: seperti suara ular besar yang merayap di dalam rumah. Ketika mendengarnya, dia membayangkan hal mengerikan. Tak ada apapun di rumah saat di periksa, namun seringkali dia merasa ada sekelebat sosok di ujung matanya; sebuah kaki pucat atau bayangan ganjil yang menghilang segera saat dia menoleh.
Dia jarang tidur, dan saat dia tidur, dia mimpi buruk.
Segera dia sadar, dia sama sekali tak meninggalkan rumah selama seminggu, kecuali untuk pergi ke bank dan membeli keperluan dapur. Dia merasa terasing. Dengan Daniel yang diam, dia tak pernah benar-benar ngobrol dengan siapapun selama seminggu, jadi dia menelpon ibunya. Jaringan jelek dan suaranya terdengar samar, hampir tak terdengar. “Ku pikir aku baik-baik saja, Ma,” Katanya, diam sesaat menyeka keringat dari tangan dan memastikan dia bisa mendengar Daniel bermain di ruang sebelah. “Tapi agak sedikit buruk disini, rumah kami disusup.”
“Oh, buruk sekali!” Kata Mama. “Apa mereka mengambil sesuatu?”
“Nah. Langsung kabur. Ini aneh. Sejak saat itu aku tak pernah merasa tenang.”
“Apa kau masih kerja di rumah sakit?”
“Tidak, Ma. Aku mengundurkan diri tahun lalu, kau tau itu.”
“Oh, begitu. Bagaimana dengan wanita yang kau lihat taun lalu, yang bermain piano?”
Jack gusar. Dia selalu menanyakan hal yang sama. bukankah dia tau bagaimana rasanya jadi duda dengan satu anak? Bahwa dia tak punya waktu? Dia ingin berkata begitu  hingga sesuatu membuatnya diam.
“Ma, apa ada orang di saluran lain?”
“Sepertinya tidak.”
James yakin dia mendengar sesuatu;  suara hembusan napas pendek dari seseorang yang gagal menahan napasnya. Bulu kuduknya merinding. “Kau yakin tak ada yang menggunakan telponmu yang lain?”
“Sayang, tak ada telpon yang lain, aku pakai handphone, makanya jaringannya jelek.”
“Lalu siapa—“ James berhenti. Jika suara itu tak berasal dari ibunya, maka...
Dia menutup telpon dan melesat ke ruang tengah. Telponnya di saluran yang lain nampak masih utuh tak tersentuh. Jantungnya berdetak tak karuan. Dia lari ke garasi; telpon cadangan masih di atas meja. tak ada siapapun disana. Tapi dimana mereka? Mungkinkah seseorang disini seharian, mendengarkan panggilan telponnya, dan lalu menyelinap keluar? mungkinkah mereka ada disini sekarang?
Besoknya, dia mencabut telpon cadangan. Dia bahkan menambal colokan dengan semen karet. Daniel melihat apa yang dia lakukan, penasaran, tapi James tak memberi penjelasan.
Dia mulai memberi Daniel latihan fisik ringan tiap minggu. Peralatan CNA-nya berkarat setelah setahun tak digunakan, tapi kau tak bisa melupakannya begitu saja. Ini hal aneh untuk dilakukan; walaupun  memang ada penyebab fisik soal tingkah laku Daniel, dia tetap tak bisa menyembuhkan Daniel dengan cara ini. di tingkat tertentu dia sadar bahwa ini merupakan bentuk pemaksaan terhadap anak. Bagaimanapun juga dia merasa lebih baik.
Suatu pagi, James menempelkan stetoskop ke dada Daniel, tapi dia tak bisa menemukan letak jantungnya—juga detaknya. Dia pindah ke titik yang lain, nihil.  Lalu, untuk mengecek, dia periksa sendiri jantungnya; jelas dan mantap. Tapi saat dia mencoba ke dada Daniel lagi, dia tak mendengar apapun. Hal itu mengingatkannya pada Si Manusia Timah (Tin Man) di “The Wizad of Oz,” yang dadanya kosong seperti ceret.
Rasa mual menjalar di perutnya. Dia melempar stetoskop lalu mencengkeram bahu Daniel,dan melihat wajah anak itu. Daniel menatap balik dengan matanya yang jernih. Bahkan tersenyum kecil dengan ujung bibirnya. Air mata James mengalir. Dia rengkuh anaknya dan memeluknya, dan Daniel membalas pelukannya. Tak berapa lama, James melepaskan Daniel, dan menyuruhnya bermain. Soal stetoskop, dia yakin, sudah rusak, jadi dia membuangnya ke tempat sampah.
Keadaan bertambah buruk. Kengerian James mulai menggerogoti malam-malamnya. Sekarang, suara-suara gesekan mengerikan yang misterius dari beberapa sisi gelap rumah menghantui hari-harinya. Ukuran rumah yang sangat besar mulai membebaninya: ada banyak ruang yang jarang ia singgahi, begitu banyak tempat hingga seseorang—atau sesuatu—bisa saja berada disana. Dia membayangkan sosok aneh mendiami sisi rumah saat dia tak disana, melebur dengan dinding atau bersembunyi dalam bayangan kapanpun dia menyalakan lampu atau membuka pintu. Bagaimana dia tau bahwa mereka disana? bagaimana dia bisa tau?
Setelahnya, dia bahkan tak perlu keluar kamar untuk membayangkannya. Ketika dia menaiki tangga, terbayang sosok pucat tersembunyi diantara mereka. Saat dia turun ke ruang tengah, terbayang sosok melata merayap dibalik dinding, membayangi tiap langkahnya. Jika dia terlalu lama duduk di satu kursi, terbayang sosok itu berdiri tepat dibelakangnya. Dan dia tak pernah nyaman saat dia berbalik dan tak menemukan apapun disana, seolah dia hanya bisa menebak bahwa makhluk itu telah berpindah tempat diam-diam, dibelakangnya, lagi. Dimanapun titik yang tak dia lihat, terbayang mahkluk itu disana.
Kewarasannya hilang, dia tau itu. satu-satunya hal yang membantunya tetap sadar adalah kenyataan bahwa Daniel nampak baik-baik saja. Selain diamnya, dia normal. Dan kapanpun dia merasa Ayahnya tak baik-baik saja, dia akan memeluknya, atau menggenggam tangannya, bahkan tersenyum. Kadang, saat dia meninggalkan kamar, James menangis.
Suatu malam, James berkeliling rumah tanpa pencahayaan tepat jam 2 pagi. Jika si penyusup mengganggu aktivitasnya pada siang hari, maka dia harus membalas dendam; saat malam hari. Sejujurnya, malam tak terlalu menakutkan baginya, dibandingkan siang. sangat berkebalikan.
Dia bertelanjang kaki menuju ruang tengah, lalu ke lantai atas, keluar masuk ruang tak terpakai. Kadang dia berhenti untuk mendengar sesuatu, berharap menemukan makhluk itu dari suaranya; itu suara si makhluk misterius, dia tau itu, namun beberapa kali suaranya terdengar kikuk, dan makhluk itu tak selalu menimbulkan suara yang sama. Bunyi atau gerakan sekecil apapun akan membuatnya lari...
Ada satu ruangan—yang dia duga—ditempati makhluk itu: kamar tambahan. Bukan benar-benar kamar, lebih seperti lemari dinding yang cukup lebar untuk ditempati satu ranjang, jika ditempatkan miring. Lemari itu tak di cat, tidak ada karpet dan berdebu; dia bermaksud memperbaikinya. Dia jarang kesini karena keadannya yang kosong dan tak terpakai, mengingatkannya akan ruang bedah mayat.
Bagaimanapun juga, dia masuk. Jika makhluk itu membuat sarang di suatu tempat di rumah ini; pasti disini tempatnya. Namun, tak ada apapun disana sekarang... tapi bukan berarti benar-benar tak ada apapun disana.
Dia mengutuk, mengacak-acak rambutnya yang berkeringat. Apa yang salah? bagaimana makhluk itu bersembunyi darinya? Apa rahasia makhluk itu? dia amati semua titik kosong ruangan satu persatu, mendekatkan wajahnya beberapa inci dari dinding dan lantai sehingga dia yakin—yakin!—tak ada celah bagi makhluk itu untuk kabur.
Bohlam berkedip-kedip. Dia membeku. Tuhan, batinnya...makhluk itu di langit-langit! Terbayang makhluk itu berada diatasnya seperti kadal pucat besar. Itulah cara dia berpindah-pindah—pikirnya—itulah cara dia melepaskan diri saat dia terpojok olehku, dia merangkak di dinding dan bersembunyi diatas kepalaku! James membayangkan makhluk itu berayun di belakangnya seperti laba-laba. Jika aku berbalik—batinnya—dia akan disana, tergantung dengan wajahnya tepat disampingku. James menahan napas. Dia tak ingin berbalik, tapi dia tak punya pilihan lain; makhluk itu berada diantara dirinya dan pintu keluar.
Dengan isakan tertahan, dia mulai berbalik.
Namun, dia sendirian. Tidak ada manusia di langit-langit; dia sudah memeriksanya dua kali. Mungkin, makhluk itu merangkak keluar dan sedang menunggunya di ruang tengah...namun saat dia meluncur kesana, tak ada siapapun. Seharusnya dia lega, tapi tidak. Seharusnya dia berada disuatu tempat di rumah ini. Jika bukan di langit-langit, pasti ada trik lain yang lebih aneh dan lebih cerdas...
Dia melesat ke kamar Daniel. Dia tak pernah berhenti memeriksa Daniel tiap malam, seperti biasa. Malam ini, entah kenapa, alih-alih membuka pintu, ia mencoba mendengar lebih dulu, ditempelkannya telinga ke gurat-gurat kayu murah dan menahan napasnya. Khawatir jika dia mendengar suara ngeri dari balik pintu ini. Apa yang dia dengar bahkan lebih mengejutkan dari itu:
Daniel sedang berbicara dengan seseorang.
James terkejut, mengambil nafas, lalu menendang pintu kamar Daniel. Daniel sudah terjaga, duduk di atas ranjang, tapi tak mengatakan apapun sekarang. Lampu menyala, James berjalan ke tengah ruangan sebelum akhirnya berhenti, tiba-tiba bergumam: apa yang lebih diinginkannya, menegaskan bahwa anaknya bisa bicara lagi atau menemukan siapapun yang berbicara dengannya?
Derit engsel pintu menganggunya. Segera dia lari menuju lemari dan membukanya: tak ada apapun didalam, setidaknya, tidak ada apapun yang tak seharusnya ada disana. dDisibaknya helai-helai pakaian di gantungan, tapi tak ada apapun disana lalu dia menarik kotak mainan dan mengeluarkan isinya ke lantai: tak ada apapun. Dia menyisir dinding, lantai, dan tentunya langit-langit, memeriksa tempat sampah dan kotak perhiasan sehingga dia yakin bahwa tak ada apapun yang bersembunyi.
Selama itu Daniel mengamatinya.
Setelah beberapa menit, James nampak berkeringat dan nafasnya terengah-engah. Lemari Daniel kosong dan tak ada penyusup ataupun jawaban di dalamnya. Hal itu membuatnya terlihat konyol, dia mulai tertawa pelan. Dia tendang mainan anaknya saat dia berjalan menuju ranjang. Saat itu juga dia menjadi sadar—akan beberapa hal—pertama, dia tidak tidur selama berhari-hari dan itu yang membuatnya tak bisa berpikir jernih. Kedua, nyaris saja dia benar-benar kehilangan kewarasannya.
Besok—dia memutuskan—mereka berdua akan tidur sampai sore, dan saat bangun, dia dan Daniel akan pergi dari rumah tua ini. Tidak lagi hidup terpenjara seperti tahanan, tak ada lagi check-up, dan tidak ada lagi mimpi mengenai monster. Dia bahkan akan membongkar papan penghalang dari jendela. Saatnya kembali hidup seperti orang normal. Ini saatnya untuk—
James melihatnya saat mengusap-usap rambut Daniel. Ditariknya tubuh Daniel (agak kasar). Daniel tak berontak saat James mengelus sisi kepalanya, seakan berharap yang dia lihat tidaklah nyata. Dipandangnya lagi dan lagi sampai tak berkedip, tapi tak merubah apa yang ada di depan matanya:
Daniel kehilangan sebelah telinganya.
Tidak, bahkan dengan mual dia menyadari: Daniel kehilangan kedua telinganya. Tak ada bekas luka, tak ada bekas irisan, tak ada bekas dimana telinga itu seharusnya berada, halus, hanya daging yang kosong, sekosong kediaman Daniel.
James menggendong Daniel dan berlari menuju ruang tengah. Tak yakin kemana harus pergi atau apa yang harus dilakukan saat sampai disana, dia hanya tau tak ada yang lebih penting daripada membawa anaknya keluar dari rumah itu. Namun langkahnya terhenti: Si manusia telanjang duduk di lorong, membelakanginya. Bukan, bukan manusia: James mengenali tungkainya yang panjang dan bahunya yang bungkuk. Makhluk pucat itu berjongkok, membungkuk, seperti orang cacat. Nyaris dengan posisi yang membuat ngilu. James memeluk anaknya lebih erat dan mundur ke belakang. Lalu dia dengar suara Daniel: “A-yah.”
James melihat Daniel, dan mendengar suara itu lagi.
“A-yah.”
Tapi bibir Daniel tak bergerak.
James melihat sosok bungkuk itu lagi. Kepalanya tersentak saat dia berbicara. Seperti ayan:
“Hai, A-yah.”
Mulut James mendadak kering. Butuh beberapa saat sampai dia mampu bicara. “Jangan panggil aku seperti itu.”
“Itu. Panggilanmu. Dari. Suara ini.”
“Pergi. jangan ganggu keluarga kami.”
“Tapi aku. keluargamu.”
Makin lama makhluk itu bicara, makin samar terdengar. Rasa mual merambati perut James. “Siapa kau?”
“Tamu. Datang berkunjung.”
“Kenapa kesini?”
“Kau. Mengundangku.”
Jantung James berdetak tak karuan di dalam dadanya. “Kenapa?”
“Aku punya. Sesuatu yang kau inginkan.”
James menjilat bibirnya yang kering. “Kau bohong. Kau tak punya apapun yang ku inginkan. Aku ingin kau pergi. pergi, dan jangan pernah kembali.”
“Siapa. Ibu. Daniel?”
James tersentak. “Apa?”
“Siapa. Ibu. Daniel?”
“Pertanyaan macam apa itu?”
James tersentak sekali lagi. Suara makhluk itu menimbulkan nyeri di keningnya. “Berhenti menanyakan hal itu.”
“Kapan. Ulang tahun. Daniel?”
“...aku tak tau.”
“Apa. Nama tengah. Daniel?”
“Diam.”
“Apa. Kata. Pertama. Daniel?”
“Diam, kataku!” James ingin merobek tubuh makhluk itu dengan tangan kosong. Hanya berat tubuh Daniel yang menyadarkan posisinya sekarang.
“Kau. Kesepian. Kau ingin. Anak laki-laki. Jadi. Aku membuat satu. Untukmu.”
Tangan James mulai gemetar. “Tidak masuk akal. Dibuat dari apa?”
“Dari. Tubuhku.”
Perut James mual lagi.
“Tapi sekarang. Aku ingin bagian itu. Kembali.”
Daniel menepuk bahu James untuk mendapatkan perhatiannya. Ada sesuatu yang aneh mengenai wajah Daniel. “Danny? Buka matamu.”
Daniel menutup matanya lebih rapat lagi.
“Buka matamu. Danny? Danny. Buka matamu. Buka matamu!”
Daniel menggeleng, mencoba menolak, tapi dia tak bisa menahan lebih lama lagi. segera kelopak matanya terbuka dan James melihatnya.
Bola mata Daniel hilang.
James hampir menjatuhkan tubuh Daniel. Sejenak dia ingin melempar tubuh anaknya hingga dia bisa berhenti melihat dua lubang di wajah anaknya. Daniel membuka mulutnya, seolah ingin bicara, tapi tentu saja, dia tak punya suara.
“Dia kembali. Jadi bagian diriku. Lagi.”
“Tidak. Tidak, tidak, tidak, kembalikan dia padaku, kembalikan!”
“Aku. Tak bisa. Terlalu lama. Aku memperingatkanmu. Hal ini. Akan terjadi.”
“Kau bohong! Kau bohong, dasar kau pembohong sialan, kembalikan anakku padaku, kembalikan!”
“Aku. Tidak bohong. Aku. Memperingatkanmu. Dia tak bisa hidup selamanya. Tapi kau. Tidak ingat. Kau. Hanya bisa ingat. Apa yang aku kehendaki. Kau lupa. Tiap kali. Kita berbincang.”
Daniel terasa seperti boneka, atau tas kosong. Rambutnya rontok berjatuhan, hilang sebelum sempat menyentuh lantai. Tangannya hilang ke dalam lengan bajunya dan kakinya tergulung ke dalam celananya. James mengayunkan makhluk kecil tak berbentuk itu. Air mata mengalir di pipinya. Tak lama hanya ada pakaian kosong di gendongannya, dan kemudian hilang.
Dia melihat sekitar; mainan menghilang, foto menghilang dari frame, sepatu kecil Daniel tak lagi ada di samping pintu. James kembali menuju kamar Daniel dan berhadapan dengan dinding dimana pintu kamar Daniel harusnya berada. Dia meraba dinding kosong, ujung jarinya gemetar. Dia bentur-benturkan kepalanya ke dinding. Rasa sakit ini seperti mimpi. “Kenapa kau lakukan ini?”
“Ini. Yang kau ingin. Dan aku belajar. Banyak.”
“Tidak mungkin. Orang-orang akan bertanya, orang-orang akan curiga: polisi, rumah sakit, tetangga!”
“Mereka. Sudah. Melupakannya. Mereka hanya. Ingat. Apa yang aku kehendaki. Sepertimu.”
James meremas kepalanya yang pening, “Akankah, setidaknya, aku mengingatnya setelah ini?”
“Kau. Bisa mencoba. Tapi pikiranmu. Menggagalkanmu. Sekarang semua. Bagian dirinya. Jadi bagian diriku. Lagi.”
James duduk di lantai, mengamati permukaan dinding kosong dimana pintu Daniel sebelumnya berada. Di ujung mata, dia melihat makhluk itu mendekatinya dan merasakan tangan berlendir itu menyentuh bahunya, namun dia tak berpaling ke arahnya.
“Jika aku tak mengingat apapun tentang hal ini.” Katanya. “Lalu kenapa kau memberitauku?”
“Karena. Seorang ayah. Harus tau”
Dan lalu, James sendirian.

***

Kadang, Abigail khawatir dengan keadaan James.
Saat mereka bertemu setahun yang lalu, dia bilang dia tidak pernah menikah dan tak pernah punya anak, namun ada semacam ekspresi terluka saat dia mengatakan kalimat terakhir. Abigail tau ekspresi macam apa itu. Abigail, beberapa kali, pernah bertemu orang tua yang kehilangan anaknya. Kau akan belajar mengenali ekspresi itu.
Dan ada hal lain tentang James yang membuatnya khawatir, juga. Kadang dia memergoki James memandangi bagian dinding tertentu, alisnya berkerut penuh konsentrasi, berusaha mencari sesuatu. Namun, nampaknya James tak menyadari apa yang dia lakukan. Dan lagi, soal insomnia, dan kebiasaan berjalan saat tidur juga. Ya, banyak hal yang dia khawatirkan. Tapi, cintanya pada James tak pernah berubah.
James masih saja berkata dia tak pernah punya anak, dan Abigail juga tidak pernah. Abigail ingin, tapi tak mungkin, dan dia khawatir James tak akan mau hidup bersama wanita yang tak bisa jadi ibu (walaupun James berkata dia tidak seperti itu). Ada saat-saat—seringkali dan lebih sering lagi-dimana James tidur sambil berjalan. Bahkan, saat Abigail berpikir dia akan melakukan apapun—benar-benar apapun—agar dia bisa mempunyai anak perempuan bagi dia dan James untuk dirawat, Abigail seolah-olah mendengar suara berisik dan aneh di dalam rumah dan melihat sosok ganjil di sudut-sudut gelap ruangan.
Dan saat itu, dia benar-benar ketakutan. Tapi tak pernah tau mengapa.

Tidak ada komentar: